1 Prolog

Di antara kedua saudari beda ibunya, Btari menyadari sejak kecil jika dia lebih unggul. Entah itu kecerdasaan, penampilan, mau pun kasih sayang sang ayah. Apa pun yang Btari kecil pinta tak pernah ditolak.

Orang-orang tahu, harta Paduka Bhattra i yang paling berharga adalah putri bungsunya. Sangat benar dikatakan bahwa Bhre akan melakukan apa pun untuknya.

Saat itu umur Btari masih 8 tahun, masih terlalu dini bagi anak seusianya untuk mengetahui perbuatan jahat seseorang padanya bahkan berniat membalasnya.

Di tengah kegiatannya menatap taman di sore hari, salah satu saudari perempuannya mendekati dengan dayang pribadi. Tentu Btari mengabaikan karena baginya langit senja lebih berarti.

Mustika Nala Kusuma—putri pertama Paduka Bhattra i—yang telah berusia 11 tahun masih berusaha untuk tersenyum di depan adiknya, walau tak dapat dipungkiri hatinya tengah geram.

"Diajeng, lihat apa yang saya bawakan untuk menemani sore ini," ujarnya dengan suara riang dan senyum yang dia paksa menjadi setulus mungkin.

Hatinya semakin menjerit jengkel saat Btari hanya membalas dengan gumaman, tak berniat memberi salam pada yang lebih tua. Sikapnya benar-benar kasar.

"Apakah itu seenak makanan pemberian Bhre yang baru saja saya makan?" Btari menatap dengan sedikit mendongak pada Mustika, bibirnya menyungingkan senyum penuh ejekan.

"Ah, lihat ini, Bhre juga memberikan saya kalung dari pedagang Cina!" Tangannya mengelus kalung perak dengan permata yang terlihat cantik. Memamerkan dengan penuh kebanggaan.

Mustika menangkap pemandangan itu dengan iri dan kesal.  "Mengapa Bhre selalu memberi yang terbaik untuk Btari, sedang tidak bagiku dan Sekar?"

"Diajeng, tidak baik menyombongkan apa yang kita punya."

"Nah nikmatilah kue ini! Mbiyung membuatkannya khusus untukmu."

Setelah kepergian Mustika, Btari hanya memandang kue itu dengan datar. "Tidak baik menjadi angkuh. Namun mbakyu, bagaimana bisa kamu begitu percaya diri saat mengatakannya? Padahal saya melihat dengan jelas bagaimana anda mengangkat tangan dan memamerkan gelang pemberian ayah. Benar-benar tidak memiliki wajah."

Waktu dengan cepat berlalu, Btari tumbuh dengan cepat. Menjadi wanita yang diperbincangkan karena keelokan rupa pun keangkuhannya. Namun siapa yang peduli? Selama kau memiliki kekuasaan, harta, dan rupa, apakah perlu mendengarkan kedengkian?

"Mbakyu, saya mendengar hari ini diajeng Btari akan pergi keluar," ujar Sekar Sasri Kusuma—anak tengah Bhre dari istri sah keduanya—yang baru saja masuk ke dalam kamar Mustika dengan langkah menghentak kesal.

"Astaga Diajeng, di mana sopan satunmu? Jangan bertingkah layaknya anak kecil, jika kamu ingin keluar maka ikutlah dengan Btari." Mustika berkata dengan tenang, tangannya sibuk membaca lontar yang baru saja sampai dari kawan lama.

"Mbakyu, mengapa kamu bersikap seperti itu? Btari itu si pencari perhatian, dia merebut semua perhatian rakyat dan Bhre."

Mustika menaruh daun lontarnya, menghela napas sebelum menimpali perkataan saudarinya yang tengah iri hati. "Diajeng, kamu berkata Btari pencari perhatian, itu tidak benar. Pada kenyataannya dia memang menjadi pusat perhatian. Selalu di nomor satukan oleh Bhre. Selalu jadi perbincangan. Meski begitu bukankah sebaiknya tidak iri dan membentuk penyakit hati?"

Sekar menatap Mustika dengan tajam. "Bagimana kamu bisa berkata seperti itu saat bahkan tidak ada satupun lamaran yang datang untukmu?"

Sekar bisa melihat luka dimata kakaknya, membuatnya ingin menyulut lebih dalam lagi.

"Di usia yang ke lima belas, Mbakyu belum mendapat lamaran, karena siapa? Karena Btari, para pria itu menginginkannya. Apa Mbakyu akan terus diam dan menerima semua? Mbakyu pasti tahu apa yang rakyat katakan. Di mata Mbakyu, saya mungkin memang terlihat seperti gadis penuh dengan kedengkian, namun saya peduli pada Mbakyu."

"Diajeng ... "

"Saya tahu Mbakyu menyukai kawan lama itu, namun apa Mbakyu yakin dia juga menyukaimu bukan Btari?"

"Diajeng, Andaka bukan pria seperti itu."

"Pria itu pulang hari ini, kan?"

***

Sore hari Btari keluar. Pergi ke pelabuhan bersama dengan dayang dan pelayannya dengan menaiki kereta kuda. Menyambangi Paduka Bhattra i yang kebetulan tengah meninjau sekaligus menunggu utusan sang raja.

Perjalanan dari kediaman Bhre ke pelabuhan tidak memerlukan waktu lama.

Pelabuhan lumayan ramai, saat kain jendela kereta sedikit ia singkap. "Penuh dengan kuli panggul dan kasar seperti biasa," gumamnya dengan nada membosankan.

"Ah, lihat para saudagar kaya yang tengah menanti barangnya diturunkan. Apa mereka pedagang dari Cina?" Nadanya membawa sedikit keantusiasan.

"Ndara Ayu?"

Btari berdeham saat pintu kereta dibuka, terlihat dayangnya tengah berdiri di samping kereta dengan payung dan pelayan yang telah selesai memasang pijakan.

Dengan cepat Btari turun dan berdiri di payungi, meski biasanya ia lebih menyukai memegang payung sendiri, kali ini dia akan biarkan.

"Utari, apakah itu para pedagang kita yang baru saja kembali?" Tanyanya pada dayang yang tengah memayunginya.

"Inggih Ndara. Mereka saudagar keluarga Chandika, cukup terkemuka di antara saudagar ..."

"Ayo temui Bhe, jika tetap di sini saya bisa saja mencolok mata mereka satu-satu." Btari memotong perkataan Utari dengan tidak sabar.

Btari menyadari atensi yang di dapatnya sejak kereta memasuki wilayah pelabuhan. Dia tidak terlalu menyukai. Btari selalu ingat dia bukan gadis penghibur yang bisa dinikmati setiap orang.

Btari berlalu dari sana bersama dengan pelayan dan dayangnya. Namun langkah kaki cepat terdengar mengejar, tak berapa lama berhenti di depan.

Btari tak merasa perlu untuk tersenyum atau bertanya bingung saat melihat senyum lebar dari seorang pemuda yang membuatnya menghentikan langkah. Karena baginya itu tak penting.

Maka yang dilakukan Btari hanya bergeser dan kembali melangkah, namun pemuda itu kembali menghalangi. Terus seperti itu. Benar-benar pembuat masalah.

"Saya tidak mengenal dan tidak menyukaimu, jadi pergilah!"

Senyum pemuda itu sedikit lenyap. Ternyata rumor yang mengatakan bahwa putri bungsu Paduka Bhattra i yang jelita sangat angkuh itu benar adanya.

"Ah maafkan saya, Ndara Ayu. Nama saya Andaka ... "

"Tidak penting. Mengnggagu saja."

Andaka memandang pungung yang berjalan menjauh itu dengan tangan menggepal. "Apakah saya kurang tampan di matanya?"

***

"Ah, Ndara Ayu Mustika, lama tak jumpa, bagaimana kabar anda? Saya melihat anda tumbuh dengan baik"

Andaka dan Mustika tengah duduk di salah satu sisi danau. Bersandar pada batang pohon.

Tak dapat dipungkiri Mustika merasa pipinya memanas saat mendapat pujian dari pemuda yang disukainya. "Seperti yang kamu lihat, saya baik Andaka. Bagaimana denganmu? Apa perjalan kali ini mendapat hasil yang baik?"

Andaka menatap gadis itu dengan senyum lebar. "Kami mendapat untung besar kali ini."

Mereka mengahbiskan waktu untuk saling bercerita. Sampai salah satu dayangnya mengampiri, mengajaknya kembali ke kediaman Bhre saat dirasa malam hampir mencapai puncak.

"Andaka, saya harus kembali atau akan mendapat masalah jika Bhre mengetahui hal ini."

Andaka sedikit terkekeh. "Ndara Ayu, anda merupakan seorang gadis, tolong jangan menyelinap keluar untuk menemui saya apalagi pria lain."

Mustika hanya mengangguk dan berlalu, namun percakapannya dengan Sekar membuatnya berbalik bersama dengan panggilan pria itu kembali menahannya. "Ndara Ayu, ada yang ingin saya katakan."

Dengan jarinya, Mustika memberi isyarat agar dayangnya pergi lebih dulu. "Saya juga memiliki hal yang harus disampaikan."

"Ada apa Andaka?"

Andaka tersenyum dengan mata berbinar. "Anda dapat mengatakannya terlebih dahulu. Saya selalu mengutamakan keinginan seorang gadis."

Andaka dan Mustika sedikit terkekeh. Gadis itu berdehem. Menyelipan anak rambut yang tertiup angin dengan pelan. Rona malu-malu diwajahnnya terlihat samar di bawah rembulan.

"Andaka, kita telah menjadi kawan begitu lama, kan? Kamu yang selalu memberi saya apa yang saya inginkan. Menjadi pendengar yang baik, dan selalu membuat saya tersenyum." Andaka masih mempertahankan senyumnya walau kebingungan menyapa.

"Dulu saya tidak mengerti apa artinya. Tapi semenjak kamu pergi ke kerajaan lain untuk berdagang dalam waktu lama. Saya merindukanmu. Membaca setiap surat yang kamu kirim berulang, berharap kamu juga memikirkan hal yang sama."

Andakq mengerjap. "Ndara Ayu, apa yang sebenarnya coba anda katakan?" Ada antisipasi dalam nada bicaranya. Dia tidak berharap pemikirannya menjadi kenyataan.

"S-saya ... saya menyukaimu, mencintaimu, Andaka. Bisakah saya menjadi kekasihmu?"

Mustika bisa melihat senyum pemuda itu yang menghilang dan sorot mata penuh rasa bersalah. Apa yang dikatakan Sekar sekarang terjadi? Pada akhirnya dia tidak bisa menggapai?

"Terima kasih Ndara Ayu sudah memberi saya rasa." Andaka sedikit memberi jeda, sedikit tak tega untuk melanjutkan, melihat binar penuh harapan Mustika. "Namun, saya mencintai Btari sejak lama, walau selama ini saya tak berani menyapa. Maaf saya tidak tahu bahwa ternyata anda menyimpan perasaan lebih untuk saya."

Mustika menghapus air matanya, berusaha tetap bersikap tegar walau hatinya telah remuk. "Tak mengapa Andaka, saya hanya menyampaikan apa yang saya rasakan. Ini sangat melegakan. Jika begitu, saya akan kembali. Kamu juga, kembalilah ke rumah Andaka, malam semakin larut!"

Dengan begitu Mustika kembali bersama luka barunya.

***

[18 Agustus 2021]

hehehhehe

Biru

avataravatar
Next chapter