1 Prolog

"Sebenarnya, aku pernah mencintaimu," ungkap Candara penuh hati-hati. Ia merasakan denyut jantungnya berhenti. Tangannya sibuk memegangi sela dadanya guna mencari kemana perginya denyutan-denyutan yang sebelumnya terasa cepat. "Dan masih."

Candara menyelesaikan kalimatnya yang sempat terhenti. Ia menyerah sampai disana. Ia berhenti dalam pejaman matanya. Detakan jantungnya masih belum bisa ia temukan. Ia kelimpungan menahan gejolak yang sebentar lagi akan membuatnya jatuh ke tanah lalu mati. Napasnya memburu, matanya terpejam mereka-reka apa reaksi yang akan ditunjukkan oleh lelaki yang berada tepat dihadapannya.

Lorne Weinston menebalkan pupilnya sesaat setelah sepatah kalimat menyerang gendang telinganya. Rasanya ia mual. Ingin ia pergi dari tempat itu sekarang juga. Napasnya juga memburu. Amat deras, menahan amarah, hingga membuat Candara merasakan deruan itu tepat pada pelipisnya. Lorne mengamati wajah tipis Candara. Mata gadis itu terlalu cekung untuk batasan cantik Lorne. Bibirnya terlalu pinky. Pipinya terlalu tirus. Hidungnya terlalu mancung. Candara tidak sesempurna apa yang sedang ia tatap saat ini.

"Katakan sesuatu," gumam Candara.

Lorne merasakan gejolak yang berlebihan tiap mendengar suara renyah milik gadis itu. Tapi 'tak cukup mendasari jika ia diharuskan mengatakan menyukai Candara. Detak jantungnya memburu. Semakin cepat. Lebih cepat. Seakan sesak napas menyerangnya secara tiba-tiba.

"Can, aku buru-buru."

avataravatar
Next chapter