9 Bab 8

"Jadi, kau hanya ingin bekerja?" tanya Shane lembut.

"Ya, Tuan," jawab Candara sama lembutnya.

Shane tertawa ringan sambil memerhatikan wanita yang sedang duduk manis dihadapannya. Sesekali Candara membalas tatap, namun ia lebih sering membuang muka. Ia takut salah mengambil tindakan dan diusir sekali lagi.

"Kau kuterima," kata Shane cepat.

"Apa?!"

"Mengapa kau terkejut?" tanya Shane setengah menahan tawa.

Candara salah tingkah, ia memang terkejut, tapi ia juga susah untuk menjelaskan perasaannya saat ini. "Lorne tidak menyukaiku."

Shane tertawa renyah. "Memangnya kapan Lorne menyukaimu?"

"Dulu dia sahabatku. Tiba-tiba dia membenciku," desah Candara.

Lorne membanting pintu keras-keras, menarik perhatian Candara dan juga Shane. Shane berdiri perlahan, merentangkan kedua tangannya, menunjukkan rasa bahagia mendapati kehadiran Lorne setelah beberapa hari membebankan banyak masalah pada dirinya.

Lorne menangkap Candara sangat terkejut akan ulahnya barusan. Ia melangkah sedikit mendekati Candara lalu berkata dengan sangat cepat, "Keluarlah."

Candara mengambil tas ranselnya lalu berjalan menuju pintu. Tangan Lorne menggenggam lengan Candara terlalu keras, menahannya, membuat Candara meringis kesakitan. "Kau sudah bukan sahabatku lagi."

Sekali lagi mata Candara berair. Candara menggelengkan kepalanya beberapa kali lalu melangkah meninggalkan ruangan itu. Hatinya merutuki Lorne. Ia kesal setengah mati. Hanya keinginan kecil, untuk kembali menjalin persahabatan. Setidaknya hanya itu. Namun entah mengapa Lorne sebegitu benci padanya sehingga lelaki itu terus mengusirnya.

"Ada apa, Lorne? Kau kehilangan jas setiamu?" tanya Shane.

Shane menatap Lorne yang masih mengamati langkah Candara. Shane tidak mengerti pasti penyebab lelaki itu datang dengan marah-marah. Ia hanya bisa terdiam, memperkirakan reaksi-reaksi yang mungkin saja terjadi. Lorne membalikkan badan; kini menatap Shane dengan tajam. Titik pikirnya adalah menghajar Shane sekeras mungkin, tapi ia urung.

"Katakan," kata Lorne sesaat setelah ia duduk dikursi kebanggaannya.

"Katakan apa?" sahut Shane malas.

Hanya sebuah tatapan killer yang setia menghantui Shane. Tatapan yang tidak dipalingkan sedikitpun. Ia meletakkan siku pada penyangga kursi, menanti jawaban yang tidak pasti. Hatinya sakit, luka. Tapi otaknya juga tidak berjalan dengan ritme yang baik. Lorne gemas mendapati reaksi Shane yang kelewat santai.

"Apa maumu dengan Candara?" tanya Lorne setengah mendesis.

"Tidak ada. Aku hanya memberinya pekerjaan," sahut Shane sambil memainkan ponselnya.

"Ada masalah apa kau dengan Ferdy?"

"Dia bukan orang yang bisa mengembangkan perusahaan kita ini. Kau dan aku tahu jika ia 'tak banyak berkembang. Lalu untuk apa mempertahankan kerikil dalam perusahaan ini?" jelas Shane malas-malasan. "Kau mungkin bisa untuk tidak menyukai Candara. Tapi aku sudah melihat hasil kerjanya. Cukup menjanjikan."

"Ferdy..."

"Ferdy tidak pernah kau orbitkan," potong Shane.

"Aku memang tidak berniat mengorbitkan penulis lagi. Apalagi jika orang itu adalah Candara. Aku melarang keras dirimu, Shane!" tegas Lorne.

Lorne berdiri dengan angkuhnya, berjalan menuju pintu dengan rasa emosi yang 'tak mampu ia tahan. Shane berdiri sama gesitnya. Ia meraih lengan Lorne kasar, membuat Lorne menatap matanya. Menilik keseriusan hati Shane dalam meraih Candara untuk duduk pada suatu posisi penting bagi perusahaan. Namun bukan itu niatnya. Hati Shane menyelipkan sesuatu yang sangat penting. Sesuatu yang tidak mungkin bisa dimaafkan. Baik Lorne, Candara maupun Rachel.

"Candara ada disini bukan untuk diorbitkan. Ia disini untuk membantuku," ujar Shane penuh percaya diri.

"Membantumu?"

"Aku akan merebut Rachel dari dirimu, Lorne. Bersiaplah untuk kehilangan sekali lagi."

Shane menepuk dada Lorne pelan lalu duduk kembali pada posisinya yang semula. Lorne terkesiap. Lorne yakin, langkah Shane kali ini akan membuat dirinya jauh lebih tersiksa dari apa yang pernah Candara lakukan.

"Benarkah? Menurutku Tuan Lorne tidak semenakutkan itu, Nad."

Senyuman Rachel terpapar begitu nyata. Kata-kata yang meluncur dari mulut Deby dan Nadine sungguh membuatnya semakin mengenal Lorne juga Shane. Lorne punya kesan yang sangat buruk di mata Nadine. Namun entah mengapa, Deby selalu melihat sosok baik di dalam diri Lorne walau Shane memiliki posisi lebih di matanya. Rachel mengulum ribuan kebahagiaan. Candaan di tempat itu serasa suasana baru yang bisa melenyapkan beragam tanya dalam hati Rachel.

"Nona, kau tidak menyusul Tuan Lorne?" tanya Nadine membuyarkan lamunan singkat Rachel. "Kau tadi hendak kesana, 'kan?"

"Ah, iya. Kulihat Lorne membutuhkan ruang untuk berbicara empat mata dengan adik kesayangannya itu," jawab Rachel.

"Apakah kau tidak ingin berpikir bahwa apa yang mereka bicarakan menyangkutmu, Nona?"

"Berhentilah memanggilku dengan sebutan itu, Nadine," ucap Rachel setengah menghela napas. "Tidak. Kurasa tidak ada kaitannya denganku."

"Oh, mungkin soal wanita bernama Candara itu," celetuk Deby. Deby membekap mulutnya sendiri lalu berdecak kesal.

Rachel mengernyitkan dahinya dengan sukses. Ribuan tanya diukir kembali. Sikap Lorne jelas menjadi sedikit berlebihan ketika ia mempertanyakan siapa Candara. Mengenal, Rachel berpikir tidak mungkin sebatas mengenal jika nama itu berhasil membuat Lorne pergi ke kantor tanpa menggunakan atribut komplit.

"Apa yang kau tahu soal Candara?"

"Oh, Candara itu melamar pekerjaan disini. Tapi sikap Tuan Lorne sama sekali tidak menyenangkan," sahut Deby.

"Sepertinya hanssie bossy kita tidak tertarik pada gadis itu," balas Nadine.

"Tapi seharusnya sikap Tuan Lorne tidak perlu seperti itu. Kau lihat sendiri Candara menangis selepas keluar dari ruangan Tuan Lorne."

"Ah, ya. Aku lihat. Atau mungkin Tuan Lorne terlalu sadis dalam memilih kalimat."

"Dan wanita itu memasukkannya ke dalam hati?"

"Oh, ayolah kau tahu itu benar."

Deby meraup wajahnya sendiri. Nadine seolah-olah selalu menang dalam beradu pendapat. "Terserah kau saja."

"Deby, kau lihat ekspresinya tadi selepas keluar dari ruangan itu?"

Deby menggeleng kuat-kuat. Matanya berkelebat memandang luar ruangan Nadine. Berusaha mendapati Candara, namun gagal. Rachel melakukan hal yang sama. Mengikuti gerakan Deby, mencari-cari orang yang bahkan ia 'tak tahu rupanya.

"Jangan mencarinya sekarang. Kurasa ia sudah pulang."

"Memang kali ini raut apa yang ia tunjukkan?" tanya Rachel.

Nadine memandang Rachel sejenak. Mencari kalimat yang pas. Nadine menggumam sejenak. Sementara mata Rachel 'tak lepas dari Nadine. Deby menemukan situasi aneh yang 'tak mengenakkan suasana hatinya. Deby menyenggol lengan Nadine, membuat wanita disebelahnya ikut terkaget.

"Wajahnya penuh sedih," ujar Nadine lirih.

"Mungkin Tuan Lorne mengusirnya," celetuk Deby.

"Atau mungkin Tuan Shane."

"Ah, tidak mungkin bossy kita yang satu itu mengusir Candara."

"Mungkin Candara tidak mendapatkan posisinya, jadi ia terlihat sedih."

"Menurutmu mengapa Ferdy dipecat?"

"Dipecat?" tanya Rachel tiba-tiba.

Nadine mengangguk cepat. Deby memalingkan wajahnya dari tatapan Rachel. Ia sibuk mencari hal-hal yang bisa mengalihkan pikirannya.

"Shane bersungguh-sungguh?" gumam Rachel. Namun tidak ada yang memperhatikan gumaman Rachel.

"Ferdy dipecat, menurutku sudah pasti Candara mendapatkan posisinya."

"Mungkin Lorne hanya tidak menyukai wanita itu," lirih Rachel.

"Hei, Nona Groots," ujar Deby mendadak. Rachel mengarahkan pandangannya pada Deby. Menemukan kegelisahan pada nada gadis itu. "Mengapa kau begitu menyimak pembicaraan tentang Candara ini?"

Rachel terkesiap mendengar pertanyaan sederhana dari Deby. Ia tertangkap. Ia tahu ia memang gelisah. Rachel memijat ujung pelipisnya, memejamkan mata; menghempaskan beberapa tarikan napas. Rachel mengerucutkan bibirnya, menyadari 'tak bisa menghindar dari kejahilan dua wanita yang sangat dekat dengan Lorne juga Shane.

Rachel mengangkat sebelah bahunya. Menggigit bibir bawahnya sambil melemparkan sedikit senyuman. Tangan kirinya menyangga sebelah pipinya. "Begitu kubahas nama itu, Lorne langsung memacu mobilnya dengan kecepatan penuh. Mungkin aku sekadar tertarik mengenai gadis itu."

"Rachel?"

Pintu ruangan Nadine terbuka, Lorne muncul setelahnya. Rachel menoleh ke belakang menemukan lelaki idamannya. Ia menyunggingkan sebelah senyumnya, melentikkan jarinya tanda 'halo'-nya yang singkat.

Lorne melewati batas diantaranya dan Rachel. Mencapai kediaman gadis itu dengan penuh wibawa. Senyumnya terlewat batas, menghabiskan kadar kekecewaan Rachel. Lorne memeluk sederhana tubuh mungil Rachel; mengecup pipi kanan lalu menggenggam tangan wanita itu.

Deby menebar kagumnya sama seperti lamunan Nadine. Keduanya hanya menatap tanpa kata. Pertukaran senyum dan bahagia antara Rachel juga Lorne, menyesakkan dada Deby. Rasanya sesuatu terenggut darinya. Sedangkan Nadine, ingin sekali ia memiliki pasangan seromantis Lorne. Oh, ya. Memang benar. Detik ketika perlakuan Lorne mendadak lembut membuat pandangan buruk akan Lorne menghilang. Hatinya serasa menemukan seseorang yang cocok mendampinginya.

"Aku mencarimu kemana-mana, kau justru disini," ujar Lorne lembut sambil mencium punggung tangan Rachel. "Ayo pulang."

Rachel mengangguk cepat. Ia berdiri menyamakan posisi dengan Lorne. Senyumnya masih setia tergantung disana. Deby berdiri diikuti Nadine, melepas kepergian best couple mereka.

Rachel menggait lengan Lorne dengan begitu manja, menggenggam lengan itu seakan terikat oleh lem yang begitu kuat. Sesekali Rachel mendongak, memerhatikan Lorne. Ia ragu untuk mengucapkan satu dua patah kata. Takut nanti ia salah bicara lagi.

"Kita pulang?" tanya Rachel setelah tekatnya penuh.

Lorne mengangguk kecil sambil melempar senyum terbaiknya. "Kau mau kemana?"

"Ah, kau baik sekali." Rachel mengeratkan pelukannya, menarik minat pandang para karyawan. Lorne hanya menepuk pipi Rachel dengan lembut, membiarkan senyum Rachel semakin tebal dan penuh warna.

"Demi adik kesayangku, apa yang tidak?"

Lorne membuka pintu kaca menuju parkiran. Lidahnya mendecak kesal. Bibirnya menggumam kesal. Sedangkan Rachel terus tersenyum akan tingkah Lorne. Seolah-olah apapun yang Lorne lakukan 'tak lepas dari sebuah keunikan. Rachel memejamkan mata secara cepat, mengeluarkan Lorne dan segala Lorne berhasil mengontaminasi pikirannya. Semua yang ada, hati dan pikiran, entah mengapa semua milik Lorne. Seandainya perasaannya dapat dikendalikan, mungkin Shane akan mendapatkan bagiannya.

Lorne membukakan pintu bagi Rachel. Rachel cukup dalam merenung seharian ini. Berpikir melukai, menerima pengakuan cinta, menanggapi reaksi berlebihan, curhatan hati Deby dan Nadine, perlukan manis Lorne, semua terasa menyesakkan untuk ukuran pagi hingga siang.

"Kau 'tak apa?" tanya Rachel sembari memegangi punggung tangan Lorne.

Lorne menyalakan mesin mobilnya, mengelus lembut ujung jari Rachel yang masih bertengger pada punggung tangannya. Senyuman Lorne cukup menenangkan. Memberi sedikit kepastian bagi Rachel. Menandakan Lorne baik-baik saja setelah semua yang terjadi. Rachel juga baik-baik saja. Rachel tahu siapa pemilik hatinya. Rachel tahu keyakinannya 'tak semudah itu untuk digoyahkan. Rachel tahu, hatinya akan tetap sama apapun perjuangan baru yang akan dilakukan Shane untuk merusak segala yang telah benar.

"Bagaimana kalau aku membawamu ke Denmark untuk lunch?" tawar Lorne.

"Denmark?" tanya Rachel bingung. "Untuk sebatas, lunch?"

Rachel memiringkan kepalanya. Ia 'tak habis pikir dengan Lorne. Hatinya ingin tertawa, tapi benaknya terus bekerja untuk mencerna. Lorne 'tak becanda mengenai perkatannya. Dengan senang hati Lorne memacu mobilnya menuju Bandara. Sontak tangan Rachel membentur lengan Lorne. Wanita itu terperanjat dari kursi nyamannya.

"Lorne, kau becanda?"

Lorne tertawa begitu renyah, menganggap remeh reaksi Rachel. "Bagaimana aku bisa becanda?"

"Kau sudah gila."

"Memang."

avataravatar
Next chapter