6 Bab 5

Lorne merapikan kaos biru donker ketatnya. Ia tidak ingin terlihat tidak nyaman mengenakan kaos pemberian Rachel. Ia memperhatikan sisi kiri kanan tubuhnya yang terkesan terlalu ditonjolkan.

Tak apa hanya sekali, Lorne, batinnya.

Lorne menghela napas panjang. Musik klasik yang berputar semenjak pukul lima sore, mengalun tenang dalam pikiran Lorne. Malam ini ia siap menjalani kisah baru seperti yang ia katakan kepada mamanya. Ia siap menempuh sesuatu yang lebih berarti dengan mengusir segala pikiran tentang Candara.

Ups, nama itu berputar cepat dalam memorinya sekarang. Menemukan beberapa luka yang baru saja terbentuk. Benar-benar membosankan. "Sudah 10 tahun," desahnya. Bertahun-tahun tragedi valentine day berputar nyaring setiap hari. Lalu setelah semuanya pergi, wanita itu kembali dalam kehidupannya. Untuk apa? "Menambah beban," gerutunya.

Pintu kamarnya diketuk lembut. Lorne menoleh dan menemukan Rachel berdiri diambang pintu. Senyumnya kelewat manis dalam sudut mata Lorne. Rachel gadis biasa dengan senyum yang manis. Hanya itu. Tidak ada yang spesial dari diri Rachel. Rachel 'tak kurus 'tak juga gendut. Sepertinya kata yang tepat adalah 'proposional'. Rachel lembut, terkadang bijaksana dan juga perhatian. Sudah lama ia ingin menikahi gadis itu tapi hatinya selalu mengarah pada Candara. Lagi-lagi Candara. Lorne mendengus kasar.

"Masuklah," bisik Lorne setelah ia menghadap kembali pada cermin full bodynya.

Rachel melangkah ringan, hati-hati dan begitu anggun. Senyumnya merekah dengan sempurna. Wanita itu memeluk Lorne dari belakang. Mengaitkan tangan kanan dan kirinya tepat dibawah ketiak Lorne. Lorne menggenggam kedua tangan Rachel dengan lembut.

"Bicaramu pelan sekali. Seakan kau sedang bersembunyi," kata Rachel dengan nada yang begitu lirih.

"Aku memang sedang bersembunyi," balas Lorne. Nadanya masih sama. Penuh dengan bisikan.

"Dari siapa?"

"Darimu."

Rachel memasang raut kesal sambil menarik kedua tangannya kuat-kuat. Namun Lorne 'tak kalah kuat menahan tangan-tangan mungil itu. Tawa Lorne merekah dengan sangat seksi. Membuat Rachel menempelkan kepalanya pada punggung Lorne. Lelaki itu mengecup tangan kanan Rachel sambil tersenyum lembut. Senyumannya kali ini tulus. Tidak dipaksakan. Rachel memang selalu berhasil menjadi moodbooster lelaki itu.

"Hei, wanita dewasa."

"Berhenti memanggilku begitu, Lorne," ucapnya lirih.

Rachel sangat menikmati suasana ini. Lorne yang memegang tangannya, tubuhnya yang terkunci pada kehangatan punggung lelaki itu, hingga rautnya yang berubah merona.

"Katakan bagaimana penampilanku," kata Lorne sama lirihnya.

Rachel mendongakkan kepalanya. Ia mengaitkan dagu pada pundak Lorne, berusaha menilik ketampanan pria itu. "Menurutmu bagaimana?"

"Menurutku jelek."

Rachel melotot mendengarkan pernyataan Lorne barusan. Itu baju pemberiannya. Ia tidak terima kalimat ejekan keluar dari mulut seorang Lorne. Ia berusaha menarik kedua tangannya kembali. Kali ini Lorne sengaja melepasnya. Rachel bertambah kesal, ia ingin mengomel tapi 'tak sanggup.

Lorne membiarkan Rachel berjalan keluar dari kamarnya. Tatapannya mendadak bahagia berhasil membuat mood seorang Rachel jelek kembali. Ia menunggu wanita itu membalikkan badan. Tapi ternyata apa yang ia nantikan tidak segera terjadi. Rachel melenggang pergi dan membanting pintu kamar Lorne. Selesai dengung bantingan pintu itu menguap di seluruh ruangan kamarnya, tawa Lorne meledak. Reaksi Rachel dengan mudahnya ditebak. Walau mengaku ia sudah dewasa, Rachel tetap bertindak layaknya anak kecil.

₻₻₻

"Halo, Tante," sapa Lorne.

Lorne mengambil posisi duduk disebelah Rachel yang tampaknya masih sangat marah dengan dirinya. Rachel memiringkan posisi duduknya, menghadap ke arah Karla dan Rena, mama Rachel.

"Oh, Tante. Dimana Om John?" tanya Lorne basa-basi. Nadanya masih lembut.

"Australia," sahut Rachel cepat sebelum mamanya sempat menjawab.

Tatapan mata Rachel mengarah pada Karla, senyumnya tetap tersungging walau nada ucapannya jelas ingin mengingatkan Lorne bahwa ia masih kesal. Lorne berdeham dengan kepalan tangan kiri andalannya. Oh, Lorne sungguh terlihat luar biasa berwibawa saat melakukan arogancy timenya itu. Sebenarnya hanya satu yang menyebabkan ia melakukan hal itu. Menahan godaan untuk tertawa terbahak-bahak.

"Tante, apakah tante membawakan beberapa pesananku?" tanya Lorne sekali lagi.

"Tidak," sahut Rachel cepat.

"Tidak? Oh, aku kecewa," goda Lorne.

Tawa Lorne menyulut tawa Rena disusul Karla. Ketiganya menertawakan tingkah kekanak-kanakan ala Rachel. Lorne menghentikan tawanya secepat hentakan yang segera membuat kakinya terasa nyeri. Raut Rachel bertambah kusut, ia merasa disepelekan oleh ketiga manusia dihadapannya. Termasuk mamanya sendiri melecehkan dirinya.

"Jadi, Tan," tutur Lorne usai tawa menghilang dari rumah itu. "ada urusan apa Om John melarikan diri dari tante sampai harus ke Australia?"

Rena tertawa kecil sebelum akhirnya membuka mulut. "Bisnis, Sayang. Bagaimana pekerjaanmu? Kudengar kau semakin pandai mengatur bisnismu sendiri."

"Lumayan," jawab Lorne seadanya. Senyumnya ia ukir semeyakinkan mungkin agar ia tidak perlu kerepotan menjawab setiap pertanyaan dari Rena.

"Sayang, apakah kau tidak ingin mencoba dapur kami?" tanya Kayla pada Rachel.

Lorne terkejut mendengar ucapan mamanya. Dapur? Oh, tidak. "Hei, Ma. Biar aku saja yang menyediakan suguhan kali ini."

Lorne berdiri bersiap menuju dapur ketika tiba-tiba Rachel menyusul. "Aku ikut," katanya. Lorne membelalak kaget. Sungguh itu tidak sopan, tapi Lorne tidak peduli. Keterkejutannya melebihi rasa sopan yang ia agung-agungkan.

"Kau duduk manis saja," perintah Lorne.

Rachel yang sudah terlanjur berdiri mendahului langkah Lorne. Namun langkahnya tertahan oleh uluran tangan Lorne. Ia membalik badan paksa. Tatapannya langsung jatuh pada sorot mata lelaki dihadapannya. Ia menggelayut manja ditatap seperti itu. Tapi Lorne hanya tersenyum tipis. Pikiran jahatnya benar-benar menggoda. Ingin sekali ia mendorong lembut wanita itu agar terjatuh pada sofa yang berada tepat dibelakangnya. Senyum jahil itu tersungging rapi hingga menyebabkan Rachel menghentakkan kepalanya untuk menanyakan apa mau Lorne sebenarnya.

"Kau duduk saja," perintah Lorne sekali lagi.

"Tidak, aku mau ikut. Lepas," sahut Rachel. Ia menarik diri dari Lorne namun gagal.

Lorne masih mencengkeram tangan Rachel dengan kuat walau sama sekali tidak menyakiti Rachel. Genggaman itu sama sekali tidak melukai siapapun. "Sssst, aku takut kau menghancurkan dapurku."

Rena yang mendengar percakapan muda-mudi tersebut sontak tertawa. Kayla pun ikut tertawa, begitupun Lorne. Sekali lagi kesal merambat hati Rachel. Ia memberengut manja dan mendecak keras-keras agar ketiga orang itu diam saja. Terlebih Lorne. Ia merasa lebih baik Lorne terdiam daripada mengejeknya terus menerus.

Langkah Rachel tergesa. Membuka pintu dapur mewah itu dengan hati yang terus menggerutu. Rachel mencari beberapa biskuit dan beberapa buah segar untuk dijadikan minuman. Ia mengomel dalam hati, Lorne terus mengejeknya dan mamanya justru selalu menjadi orang pertama yang tertawa. Lelah sekali hatinya hari ini. Rachel menemukan beberapa jeruk segar di dalam kulkas.

Lorne bersandar pada pintu dapur yang telah menyatu dengan dinding. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana panjangnya. Lorne mengawasi gerak-gerik Rachel. Sesekali ia tersenyum, sesekali senyumnya berubah menjadi seringaian. Lorne bersyukur memiliki moodbooster dadakan. Rachel itu periang, pemarah juga bukan. Rachel tidak dapat digambarkan dalam kata 'cantik'. Rasanya kategori 'manis' pun ia tidak. Lorne masih memikirkan apa yang tepat bagi wanita itu.

"Hei," ujar Lorne sambil berjalan mendekati Rachel yang sibuk memeras jeruk manis. "Cemberutmu itu, membuatku bahagia."

"Diam kau."

Rachel memelototi Lorne. 'Tak ada kata 'pengampunan' sedikit pun. Lorne menghentikan langkahnya dan sesegera mungkin mengambil pisau yang berjarak 'tak jauh dari tempatnya berdiri. Lorne mengambil tiga langkah sebelum akhirnya benar-benar berhenti. Rachel bergeming. Ia memang kesal, tapi Rachel pun tahu hatinya sudah lunak sedari tadi. Kesalnya karena diganggu bukanlah suatu hal yang begitu besar.

"Untuk apa pisau itu?" tanya Rachel ringan.

Lorne mengayun-ayunkan pisau yang berada dalam genggamannya. Mengarahkannya tepat pada hidung Rachel. "Membuatmu 'tak berani macam-macam denganku. Kau 'kan tidak mungkin sebodoh itu membiarkan hidung mungilmu terluka akibat dengusan yang akan kau semburkan padaku."

Rachel memalingkan wajahnya cepat-cepat. Ia kembali fokus pada pekerjaannya membuat jus jeruk yang sekali lagi ala Rachel. Dengan gesit tangannya bergerak kesana kemari, sesekali ia melahap biskuit yang berada disampingnya. Ia hanya menggunakan peralatan seperlunya. Lorne cukup senang Rachel tidak ceroboh dalam menggunakan peralatan yang ada. Semua rapi dan sama sekali tidak mengkhawatirkan.

Lorne meraih semua peralatan yang telah selesai digunakan oleh Rachel. Ia mencucinya di wastafel terdekat. Sejenak Rachel memandangi gerakan-gerakan Lorne. Ia tersenyum simpul lalu berpaling pada pekerjaannya sebelum Lorne menangkap basah dirinya memandangi lelaki menyebalkan itu.

Rachel selesai dengan membawa nampan berisi tiga gelas jus jeruk jumbo dan dua toples biskuit. Gelasnya memang besar sekali. Dengan diam-diam Rachel meninggalkan Lorne sendirian. Langkahnya memang lembut. Rachel memang lembut. Sangat.

Lorne meletakkan cucian terakhirnya pada tempat yang sudah tersedia. Pandangannya mengedar dan mendapati Rachel sudah pergi. Lorneingin sekali memarahi wanita itu, namun lebih memilih tersenyum kecil. Iaberjalan ringan menuju ruang tamu. Tangannya yang masih basah sengaja ia usapkan pada kaos pemberian Rachel. Ia sengaja ingin menggoda Rachel lagi, ketika Rachel sudah duduk manis menikmati beberapa biskuit yang terlihat sangat lezat ketika ia sampai di tujuan.

"Lorne? Kaosmu basah. Mengapa?" tanya Kayla bingung.

"Rachel memaksaku mencuci peralatan yang ia gunakan," adu Lorne dengan nadanya yang manja.

Rachel tersedak. Ia segera meminum jus jeruk hasil buatannya. Lorne mengamatinya dengan setengah mati menahan tawa.

"Mana mungkin aku menyuruhmu mencuci peralatan itu. Kau sendiri yang sok pahlawan. Kau sendiri yang menyambar peralatan-peralatan itu lalu membersihkannya. Jangan bawa-bawa namaku atas kecerobohanmu atas baju itu. Ganti sana," ujar Rachel panjang kali lebar.

Lorne menunujukkan seringaiannya lalu mengambil posisi duduk disebelah Rachel, tepat seperti sebelumnya. "Mana jusku?"

"Buat sendiri," tutur Rachel asal.

Lorne mendecak. Ia memalingkan wajahnya dengan tatapan yang dibuat-buat menjadi sedikit lebih serius. "Kasihan suamimu nanti."

"Mengapa harus dikasihani kalau suamiku kelewat menyebalkan sepertimu."

"Oh, begitu. Semoga beruntung mendapatkan suami yang rela disiksa oleh istri seperti dirimu," ujar Lorne asal.

Lorne menyambar jus jeruk yang masih melekat pada tangan Rachel.

"Hei," seru Rachel terkejut.

Lorne hanya mencicipi sedikit lalu menjauhkan gelas itu dari bibirnya. Dahinya berkerut sebaik mungkin lalu berdecak beberapa kali. "Kau ingin meracuniku ya? Asam sekali."

"Kalau aku berpikir meracunimu, aku tidak mungkin meminumnya terlebih dahulu," gerutu Rachel. "Sini kembalikan!"

Nada suara Rachel meninggi sangking kesalnya. Rachel merebut kembali jus kesukaannya itu. Ia meminumnya cepat-cepat. Berpikir jus itu cukup menghilangkan penatnya akibat gangguan dari Lorne.

"Semoga istrimu juga betah memiliki suami yang tidak pernah menghargai kerja kerasnya," celetuk Rachel.

Rena dan Karla cukup menanggapi pertengkaran dihadapan mereka dengan senyum kecil-kecilan. Rachel dan Lorne lebih cocok menjadi anak berusia 5 tahun dengan bahasan kelewat dewasa. Rena dan Karla, keduanya sesekali bertatapan mendapati kalimat-kalimat aneh yang sesekali terucap dari salah satu anak kecil itu.

"Hei," ujar Lorne lirih. Hanya Rachel yang bisa mendengarnya. "By the way, thanks."

"Buat apa?" balas bisik Rachel.

"Tidak merusak kenyamanan dapurku."

**

Rachel meraih tas tangannya yang sempat ia tinggalkan di kamar Lorne. Sambil membenarkan posisi hatinya, ia terduduk pada ranjang Lorne. Kenyamanan kasur itu, "Pantas saja lelaki itu betah berada di kamar," gerutunya.

Rachel hendak berdiri ketika Lorne sudah berada di dalam kamar. Ia ikut duduk disamping Rachel. Ia melingkarkan tangan kanannya, membawa Rachel dalam dekapannya. Rachel tetap menurut. Lorne menyingkirkan rambut yang mendadak jatuh di depan muka Rachel. Degupan itu, Lorne merasakannya. Rasa itu kembali setelah 10 tahun berlalu. Detik ini, rasanya Lorne ingin terbang setinggi mungkin.

"Maafkan aku," desah Lorne. "Belakangan ini masalahku seakan berada di puncak paling kelam. Tersenyum saja rasanya aku 'tak sanggup."

"Jadi kini kau bisa tertawa saat bersamaku?" tanya Rachel menyimpulkan.

Lorne mengangguk. Ia mengecup puncak kepala Rachel.

"Kumohon setelah malam ini," tutur Lorne. Ia menarik napas sepanjang mungkin. Seorang Lorne ragu untuk yang kedua kalinya. Ia ragu akan jawaban dari seseorang yang menurutnya cukup berarti. Ia bimbang sejenak. Namun rupanya Rachel menunggu lanjutan kalimat Lorne. "jangan tinggalkan aku."

avataravatar
Next chapter