5 Bab 4

Candara mendekati Lorne yang masih bersandar pada pintunya. Ia meraih tangan kiri Lorne. Matanya menembus pemikiran-pemikiran Lorne yang sangat kacau. Rasanya Candara butuh untuk tertawa. Tapi mendadak pikirannya runyam melihat mata Lorne yang mendadak basah. Candara meyakinkan diri jika Lorne tidak menangis. Pasti lelaki itu habis menguap, menimbulkan matanya dibanjiri air. 'Tak mungkin lelaki kuat itu menangis.

"Setidaknya sahabat tidak seharusnya bersikap terlalu manis," kata Candara setenang mungkin. Ia menimbang-nimbang jawaban apa yang sekirany diberikan oleh lelaki itu. Sayangnya Candara bukanlah orang yang sabar. "Nanti aku bisa terhanyut."

Candara membalikkan badannya secara mendadak. Wajahnya merona sebelum Lorne sempat melihat. Gadis itu menghadap kaca kecil yang tergantung disamping lemari pakaiannya. Ia menata ulang rambutnya yang telah rapi. Dalam hati ia mendecak kesal. Betapa bodoh ia berucap seperti itu. Bisa saja Lorne tiba-tiba menyadari maksud ucapannya.

"Lagipula aku 'tak paham kau bisa menjadi romantis. Kukira kau hanya lelaki kaku tanpa perasaan. Yang lebih suka diam daripada mengangkat bicara," tambahnya.

Lorne mendengus kesal mendengar jawaban Candara yang terdengar sedang mengejek dirinya. Sungguh Lorne ingin memaki gadis dihadapannya itu. Ia ingin menjeritkan betapa ia terluka akan setiap kalimat yang telah diucapkan Candara. Namun mulutnya bungkam. Bukan karena ia terima tidak dihargai. Ia hanya tidak mengerti sejauh mana ia dapat mengendalikan ucapan. Jangan sampai ketika ia memaki, hati Candara ikut lobang.

Lorne menggerakkan kakinya untuk mencapai tempat tidur Candara. Ia membaringkan kepedihannya. "Aku masih bisa tahan sakitnya," batin Lorne. Ia memejamkan mata sejenak, lalu membukanya. Wajah Candara yang begitu manis menyentuh tatapan mata coklat milik Lorne. Dengan segera gadis itu duduk di tepi ranjang. Membuat Lorne menggeliat mundur memberikan space bagi Candara.

Candara menepuk pahanya yang tidak sempat ia tutupi celana panjang. Hanya celana pendek hitam ketat yang selalu ia pakai ketika berada di rumah. Ia memandangi kedua pahanya sejenak, menghela napas panjang lalu memalingkan pandangannya untuk menemui Lorne. Lorne menopang kepalanya dengan tangan kanan. Posisi tidurnya kini lebih terlihat seperti sedang memeluk cara duduk Candara. Lorne meringkuk seakan sedang melindungi gadisnya. Matanya tidak lagi berair. Ia menatap Candara dengan ekspresi yang sulit untuk dijelaskan.

Lorne sangat ingin meluapkan emosinya. Ia marah, ia kecewa, ia jengkel. Tapi ini Candara. Gadis yang sejak dulu ia cintai. Persahabatan hanyalah kedok. Gadis ini mendapat lebih. Ia berharap hal yang sama dirasakan oleh Candara. Tapi rupanya ia salah. Ia hanya membawa seluruh emosi itu dalam seribu macam tatap. Lorne tidak bisa mengungkiri bahwa tatapan yang kelewat lunak dan lembut itu didominasi oleh cinta.

"Sampai kapan kau akan mengejekku?" tanya Lorne masih saja lembut.

"Sampai kau berhasil menemukan seorang kekasih," sahut Candara.

Lorne tahu nada gadis itu bergetar. Entah apa maksudnya. Ia menghela napas sejenak. Memejamkan mata lalu menjatuhkan kepalanya pada bantal yang berada tepat dibelakangnya. Ia mendesah sekeras mungkin, membuat Candara bergeser ke kanan sedikit lalu memiringkan wajah demi mendekatkan pandangan keduanya. Entah apa yang Candara pikirkan saat itu.

"Bagaimana jika kukatakan aku sudah?" tanya Lorne sambil menatap langit-langit kamar Candara. Warna biru muda dengan gradasi putih itu begitu menginspirasi rupanya. Lorne tidak tahu kalimat apa yang akan keluar setelah Candara membalas pernyataannya barusan.

"Mmmh," desah Candara ringan. Candara memperlihatkan senyuman terbaiknya. "Kalau begitu selamat."

"Sepertinya aku terlalu lama disini. Aku pulang," ujar Lorne cepat tanpa menatap mata Candara, sedikit pun, tidak.

Langkah Lorne diseret tegas keluar dari kamar pujaan hatinya. Tangannya terulur untuk membuka kenop pintu, tepat ketika Candara memanggil namanya dengan lirih. Ia menoleh. 'Tak bersuara. Ia terdiam. Menanti lanjutan kalimat Candara. Ia masih diam. Candara 'tak ingin kalah. Ia juga tertunduk lesu. Kedua pipinya memerah. Sorot matanya menajam. Candara juga 'tak tahu harus memulai darimana. Ia takut. Sesuatu terjadi setelahnya.

"Aku akan pergi ke Jepang. Dua jam lagi."

Lorne mendesis. Ia menahan gejolak lain yang tiba-tiba mendesak keluar. Candara menggigit bibir bawahnya, yang perlahan menjadi titik pandang Lorne. Candara seperti hendak menangis. Namun cintanya 'tak cukup kuat untuk mengarahkan langkahnya kembali menuju gadis itu kemudian memeluk atau mengucapkan kata lain seperti 'aku akan mengantarmu ke bandara'. Tapi Lorne bergeming. Ia diam seribu bahasa. Bahasa tubuh pun mati.

"Selamat tinggal."

**

Candara terbangun dalam posisi duduk. Ia melihat jam pada ponselnya. Masih pukul enam sore. Tidur siang memang bisa membawa mimpi buruk. Ia menghela napas sepanjang mungkin lalu menghantamkan tubuhnya pada kasur dengan sangat kasar. Terbangun oleh kenangan yang benar-benar membuatnya gelisah selama 10 tahun benar-benar tidak menyenangkan. Selimut dengan berbagai pernak-pernik laut itu ditarik sampai puncak kepalanya.

"Dasar lelaki. Membaca sinyal dariku saja 'tak mampu. Bagaimana mendapatkan pasangan hidup. Menyebalkan!" gerutunya dari balik selimut.

Ia memejamkan mata, berusaha menenangkan pikirannya dan membuatnya terlelap kembali. Sayangnya ketiga langkah tersebut gagal total. Ia mulai menengkurapkan kegelisahannya. Napasnya tersendat 'tak dapat menghirup oksigen. Ia sesak.

"Buruk sekali rasa sakitnya," gerutunya masih dengan kepala menghadap bantal. "Andai bukan dia lelaki yang kutemui. Andai aku lebih beruntung."

Candara kembali menatap langit-langit kamarnya yang masih belum berubah. Gradasi warna yang sangat sempurna. Hempasan napas yang dipaksakan langsung merobek rongga saluran kecil itu. Ia terduduk dengan terengah-engah. Tangannya memegang dada. Candara mengatur napasnya dengan sabar. Menarik napas lalu menghempaskannya dengan lembut adalah jalan keluar bagi masalahnya kali ini. Setelah Candara berhasil bernapas seperti biasa, ia mengangkat tubuhnya mengarah pada meja kerja.

Candara meraba-raba meja dalam keremangan hanya demi menemukan selembar kertas dan sebuah pena andalannya. Candara malas sekali harus membuat kedua matanya menyambut terang yang tidak bersahabat. Ia nyaris menyerah sebelum benar-benar menemukan apa yang ia butuhkan. Tangannya bergerak naik dan turun dengan frustasi. Sebenarnya ia memulai dengan gerakan yang sangat lembut yang disusul dengan gerakan penuh tekanan hingga merobek kertas tersebut.

Ia meraba meja dihadapannya itu. Tidak merasakan goresan apapun. Candara memang teliti dalam hal ini. Ia selalu tahu jika ia bukan orang dengan temperamental yang stabil. Ia sering marah dalam kesendirian. Entahlah, menangis atau melakukan hal serupa dengan yang baru saja ia lakukan. Hanya sebatas jaga-jaga. Candara selalu melapisi meja kerjanya dengan lapisan yang anti gores. Ia membelinya dengan harga mahal mengingat ia tidak benar-benar memegang uang hasil kerja kerasnya sendiri.

Candara membuka pintu balkonnya. Menghirup udara malam yang menyesakkan kulitnya. Begitu menyengat. Candara paham ia bisa lebih cepat sakit jika terus melakukan hal ini. Ia sangat paham. Karena bukan sembarang orang yang mengatakannya dengan nada datar.

Kau mau aku berlari sambil menggendong tubuh beratmu dari rumah hingga rumah sakit yang jaraknya tiga jam jika dikendarai dengan mobil?! Kau biasa sakit 2 bulan sekali. Tapi jika kau terus berada disini tanpa mengenakan penghangat tubuh, kau bisa sakit dalam jarak jam!

Yah, begitulah mengingat masa lalu memang memilukan. Senyum tersungging pada bibir Candara. Ia bahagia mengingat setiap kata yang terlontar dari bibir mungil Lorne. Tapi ingatannya terlalu sempurna untuk mengingat setiap detail kekecewaan atas harapan terhadap Lorne. Ia menyesal telah berharap. Dengan bodohnya kali ini ia mengharapkan hal yang sama.

Cinta seorang Lorne Weinston.

avataravatar
Next chapter