3 Bab 2

Tatapan Lorne lurus ke depan. Ia memandangi laptopnya yang hanya menampakkan foto-foto liburan terakhirnya bersama dengan keluarga terdekat. Pikirannya berkecambuk tentang kalimat-kalimat Candara 34 hari yang lalu hingga maksud wanita itu duduk manis di ruangan privasinya. Ia cukup dibuat kesal karena wanita itu. Ini sudah setengah jam dan Candara tetap diam begitupun Lorne. Seakan Lorne sungguh tidak peduli dengan kehadiran Candara sebab matanya terfokus pada kilatan gambar yang membosankan.

"Kukira kau datang bukan untuk diam," celetuk Lorne beberapa saat kemudian.

Candara tetap diam sambil sesekali melirik ke arah Lorne. Matanya 'tak tahan memandangi ketampanan wajah Lorne. Degupnya 'tak karuan. Berantakan seperti saat terakhir mereka bertemu. Entah bagaimana, ia dan Lorne bertemu kembali secara tidak disengaja. Candara menunduk sambil memejamkan mata sejenak, mengatur detakan yang 'tak kunjung mereda itu.

Pintu ruangan itu akhirnya terbuka. Deby membawa beberapa file yang dirasa tidak terlalu penting. Ia menjabarkan file tersebut dengan sangat urut dan rapi hingga menarik perhatian Lorne maupun Candara. Candara mengambil posisi duduk lebih tegak memperhatikan lembaran kertas itu ditata serapi mungkin dihadapan Lorne. Matanya 'tak bisa tidak menatap wajah Lorne.

"Panggil Shane," kata Lorne.

Deby mengambil langkah mundur lalu menuju meja sekretarisnya. Sementara mata Lorne kini langsung menyapu mata cekung Candara. Ia ingin mendengar gadis itu mengangkat suara, namun tidak ada hasil. Lorne menimbang-nimbang sebentar lalu mendesah pelan. Ia menegakkan posisinya lalu sedikit merapikan kertas-kertas dihadapannya. Lebih tepatnya, menumpuk kertas itu menjadi satu. Candara tertegun dengan tingkah laku Lorne barusan tapi ia tidak mengerti arti gerakan itu. Ia tidak pintar membaca gerakan.

Lorne berdeham kecil lalu mengangkat bicara, "Kami mencari karyawan yang bisa berkomunikasi bukan yang hanya bisa membisu."

Candara terhenyak dari kursinya, sedikit. Ia terkejut akan kalimat yang dilontarkan Lorne barusan. Mau 'tak mau Candara harus mengucapkan sesuatu. Ia salah tingkah memalingkan pandangan matanya kesana kemari hanya untuk mencari satu atau dua kata yang bisa ia ucapkan. Namun tidak ia temukan sama sekali.

"Pergilah, kau sudah selesai," sambung Lorne yang tampak sedang asyik dengan ponselnya.

Candara sedikit patah hati kala mendengar kalimat pengusiran yang keluar dari mulut Lorne baru saja. Ia ingin memastikan lelaki itu sedang bergurau. Namun ia salah. Memang lelaki itu serius dengan ucapannya. Seolah-olah lelaki itu sudah lupa dengan siapa ia berhadapan. Candara. Ini Candara. Yang 34 hari lalu mengucapkan hal yang begitu bodoh. Menyerah pada rasa kagum dan dihadapan rasa tinggi diri. Candara tentu tersinggung. Kejadian lalu sudah cukup menyakitkan ketika lelaki itu tiba-tiba permisi meninggalkan. Sekarang ia yang diusir? Dengan begitu dingin?

Candara tersenyum pedih. "Permisi," katanya sambil melintasi ruangan menuju pintu keluar yang tersedia. Tiba-tiba ia menabrak sosok lelaki bertubuh tinggi besar yang dengan sigap menopang tubuh mungil Candara yang hendak jatuh terhantam tubuh itu.

Lelaki itu hanya tersenyum sopan lalu membantu Candara berdiri dengan tegak. "Maaf." Itu adalah sepatah kata yang terucap dari seseorang yang bahkan tidak bertanggung jawab atas tabrakan tersebut.

Lorne menatap dengan jelas kejadian tersebut. Berusaha biasa saja namun sebenarnya ia ikut terganggu. Lorne berdeham cukup keras seolah bosan dengan drama dihadapannya. Tangan Lorne menopang dagunya dengan gelisah 'tak sabar menanti Shane mendekati dirinya. Namun justru Shane asyik menatap Candara. Ini menggelisahkan. Lebih menggelisahkan dibandingkan kalimat pendek Candara 34 hari lalu yang terus mengiang di telinganya. Tidak ada yang salah. Hanya terasa 'janggal'.

Candara melangkah pergi sedangkan Shane hanya menatap punggung Candara yang setengah berlari menuju lift. Tepat setelah pintu lift menutup, Shane melangkah girang menuju lemari penyimpanan makanan pribadi milik Lorne.

"Apa?" tanya Shane bingung mendapatkan tatapan aneh dari lelaki dibelakangnya itu.

Dengan sigapnya, Shane meraih dan membuka beberapa toples biskuit kesukaannya. Varian rasa mengambang lezat pada lidah Shane. Namun rupanya nikmat yang tengah ia rasakan 'tak cukup menarik garis merengut di wajah Lorne. Ia bingung dengan sikap lelaki itu. Perasaannya mendadak menjadi serba salah.

"Ada apa denganmu?" tanya Shane masih dalam nada bingung. Kini dia sudah duduk tepat di hadapan Lorne.

"Kau yang kutanya mengapa," ujar Lorne datar.

Shane mengerutkan dahinya. Ia makin 'tak sabar mendapati reaksi berlebihan Lorne yang tidak beralasan. Shane masih menahan diri untuk 'tak salah tingkah dengan terus memakan biskuit-biskuit yang berada dipangkuannya. Sedangkan mata Lorne masih menatapi gerak-gerik Shane. Ia merasa 'tak nyaman dengan Shane. Entah mengapa perasaan itu muncul secara mendadak semenjak kejadian—yang baru saja terjadi—yang terus diputar ulang dalam memorinya.

Shane meletakkan toples biskuit itu di atas meja Lorne dengan kasar. Napasnya ditarik kuat-kuat agar Lorne dengan jelas menatap kegelisahannya. Ia menatap mata Lorne balik, dengan kuat. Tetap bungkam, itulah yang selalu dilakukan Lorne setiap harinya. Sedikit berbicara.

"Kau kenapa tadi? Senyummu itu membuatku buta," ujar Lorne kemudian.

Shane terpaham akan yang Lorne maksudkan. "Brotha, wanita tadi menangis. Kau apakan?"

Candara menangis?

Lorne membelalak kaget mendengar perkataan adik lelakinya itu. Ia 'tak menyangka jika beberapa kalimat dapat membuat seorang wanita menangis. Biasanya juga tidak seperti itu. Candara menangis? Kalimat itu terngiang lagi di otaknya. Kepalanya kembali memanas mengingat beberapa hari ini memang 'tak pernah menjadi dingin. Lorne bergidik miris lalu tertawa kecil seolah perkataan Shane hanya lelucon. Adiknya itu justru memandangi Lorne dengan lekat. Seolah hendak meledak pada detik berikutnya.

"Aku hanya mengusirnya," sahut Lorne dengan nada yang ia buat sedatar mungkin.

"Kau mengusirnya," ulang Shane dengan nada yang sama datarnya.

Shane meraih toples biskuitnya lalu memasukkan dua potong cheese rone ke dalam mulutnya. Kunyahan demi kunyahan sama sekali tidak mengesankan rasa lezat sama sekali; Shane tetap menikmatinya. Lorne berdiri sambil melepaskan kancing jas hitamnya, meraih paksa toples biskuit yang berada di pangkuan Shane.

"Hei," seru Shane. Lorne diam saja 'tak memberi reaksi apapun.

"Kau gantikan aku hari ini. Aku suntuk sekali."

Lorne meletakkan toples yang tadi ia genggam di atas mejanya, membenarkan posisi jasnya lalu melangkah pergi tanpa lagi mengeluarkan suara. Shane menatap kakaknya tersebut dengan tatapan kosong, tapi ia juga tidak begitu peduli. Shane mengikuti langkah Lorne keluar dari ruangan, hanya saja langkahnya terhenti di depan meja Deby. Melihat Lorne menghilang di balik pintu lift, ia memandangi mata Deby dengan lekat-lekat. Melihat Deby salah tingkah membuat moodnya naik drastis. Matanya ia kedipkan beberapa kali dengan begitu lembut dan begitu menjatuhkan hati.

"Maaf, Tuan. Anda kelilipan?" tanya Deby ditengah keadaannya yang sedang salah tingkah.

Shane terkejut setengah mati mendengar kalimat lugu yang meluncur begitu saja dari mulut Deby. Masih sempat saja wanita itu becanda ketika dia sedang tersipu malu menahan gejolak asmara yang ditimbulkan Shane. Shane membenarkan posisi tubuhnya menjadi lebih tegap dan lebih berwibawa. Ia berdeham sekali lalu menebarkan flirty smile khasnya. Kembali lagi seperti tadi. Shane menepuk dahi keras-keras lalu berdeham lagi.

"Deby," panggilnya lembut.

"Ya, Tuan?"

"Kirimkan email kepada wanita yang menemui Lorne tadi. Suruh dia mengirimkan 3 bab awal dari novel yang ia telah buat. Minta dia untuk mengirimnya malam ini," ujarnya tegas. Nadanya yang tadi lembut diubahnya mendadak menjadi lebih gentle layaknya bos yang asli.

"Baik, Tuan," jawab Deby masih tersipu malu.

Shane membalikkan badan, berjalan tiga langkah namun buru-buru mengembalikan posisinya ke posisi semula. "Kirimkan hasil kerjanya padaku. Jangan pada Lorne."

Deby mengangguk kecil dan membiarkan Shane kembali ke ruangannya. Deby menepuk dahinya dengan pelan. Ia membenarkan ritme napas yang sedari tadi mengencang. Setelah semua beres, ia melaksanakan tugas yang diberikan Shane. Menelepon Nadine untuk mengerjakan sisanya. Cukup rumit bekerja pada dua saudara dengan watak yang luar biasa berbeda.

Shane, memang yang terbaik.

avataravatar
Next chapter