28 Bab 27

"Baiklah, jika semua sudah beres langsung saja terbitkan. Aku menyerahkan semuanya ke tanganmu. Kau bisa dipercaya 'kan, Nadine? Baiklah. Hubungi aku setelah proses penerbitan selesai."

Shane memutuskan sambungan teleponnya dan melangkah menuju meja makan. Ia sudah sangat lapar dan kebetulan mamanya sedang berbaik hati menyediakan beberapa makanan kesukaannya.

Shane sedang menuruni beberapa anak tangga ketika Rachel menghambur masuk ke dalam rumahnya untuk menemui mamanya. Shane hampir tersedak melihat wanita itu datang ke rumahnya, mengingat tidak pernah wanita itu lakukan semenjak putusnya hubungan dengan Lorne juga dirinya. Lalu sekarang wanita itu berani datang?

"Apa kabarmu, Rachel?" ujar Karla sambil membalas pelukan Rachel.

"Baik, Tante."

"Kau ingin menemui Shane?"

"Begitulah."

"Lalu mengapa kau menemuiku?"

"Aku membutuhkan beberapa saran sebelum memberanikan diri untuk meminta maaf padanya. Tante bisa membantu?" tanya Rachel ragu.

"Tentu saja."

Rachel tidak menoleh pada Shane. Menghiraukan keberadaan Shane yang 'tak jauh dari dirinya. Membuat Shane merasa malas berada di meja makan lebih lama lagi. Shane melenggangkan kakinya kembali ke kamar sesaat setelah ia merasa kenyang secara mendadak.

Karla yang mendapati situasi antara Shane dan Rachel tidak berkomentar. Justru ia hanya diam dan siap mendengarkan pertanyaan-pertanyaan dari Rachel.

"Jadi?" tanya Karla karena Rachel diam saja dan tidak bersuara sama sekali. "Apa yang ingin kau tanyakan?"

"Jadi, sekitar satu bulan yang lalu aku bertengkar dengan Shane," tutur Rachel memulai.

"Bertengkar hebat?"

"Seperti biasa. Shane susah mengendalikan emosinya sendiri. Sedangkan aku merasa tidak terima diperlakukan kasar. Setidaknya Lorne tidak pernah begitu dalam memperlakukan aku."

"Aku tahu Shane. Jenis kekasaran apa, Sayang?"

"Ia menghantamkan tubuhku pada dinding parkiran kantornya, Tan," jujur Rachel.

Karla kali ini menyembunyikan keterkejutannya dan berusaha menahan diri untuk tidak membuat keadaan diantara keduanya semakin runyam. "Jadi perihal apa?"

"Perihal Lorne."

"Lorne?"

"Iya. Lorne."

"Mengapa?"

Rachel menarik napas panjang sebelum berusaha menjelaskan apa yang menyulut emosi Shane. Walau ia berpikir Shane tidak perlu emosi seperti itu, tetap menjadi kesalahan Rachel karena Lorne berada pada pembicaraan itu. Jika ia tidak memulai...

"Rachel?"

Sentuhan Karla cukup menyadarkan Rachel dari lamunannya. Begitulah Rachel memulai untuk menceritakan apa yang terjadi ditengah pertengkaran mereka. Kekasaran Shane dan penolakan dari Rachel. Kemarahan Rachel dan ucapan yang 'tak masuk akal darinya, untuk Shane.

"Menurut tante, bukan kamu yang seharusnya meminta maaf, Sayang," ujar Rachel berusaha memberi pendapatnya. "Dia yang bersikap kasar."

"Dan jika aku tidak memulai menyuarakan isi hatiku..."

"Sudah seharusnya seorang kekasih mendengarkan isi hati pasangannya. Walau terkadang itu menyakitkan."

"Tapi, Tante..."

"Apakah Lorne juga bersikap kasar ketika kau bercerita tentang segala kepedulianmu terhadap Shane? Apakah ia marah padamu untuk hal sekecil itu?"

Rachel menggeleng cepat namun berusaha memberikan pengertian kepada Karla dengan sikap tegas. "Tidak, tapi aku mengisyaratkan aku akan kembali pada Lorne. Dan aku mengatakannya kepada kekasihku."

"Kau benar-benar menginginkan Lorne sampai akhir, Rachel?"

"Tentu saja. Aku mencintainya lebih dari aku mencintai siapapun."

"Siapapun?"

Rachel kehabisan kata-kata. Ia tahu jika bukan Lorne satu-satunya yang pernah ia cintai sebegitu kuat hingga berpisah serasa hukuman terberat dalam hidup. Ia tahu jika hal yang sama terjadi kepada lelaki itu sewaktu dulu, pasti tidak akan ada Lorne dalam kisah hidupnya.

"Pernah. Waktu itu, ada seorang lelaki. Hyefvray. Dia baik. Ia juga salah seorang dari teman baik Shane."

"Aku mengenal lelaki itu. Kau mencintainya sebesar saat mencintai Lorne?"

"Mungkin..." Rachel menghela napas panjang sebelum berusaha mengatakan kejujuran lainnya. "untuk Hyefvray lebih besar. Aku mencintainya bahkan saat aku jatuh cinta kepada Lorne aku masih mencintai lelaki itu."

"Apa yang akan terjadi jika lelaki itu kembali ke dalam kehidupanmu?" tanya Karla sebatas rasa penasaran.

"Aku juga tidak tahu. Mungkin aku akan gila setengah mati, Tan. Aku tidak bisa mencintai keduanya, 'kan?"

Karla menyetujui. Senyumnya ia kembangkan dengan sangat lembut. Berusaha memahami perasaan keponakan satu-satunya ini. Rachel sangat polos berhadapan dengan urusan perasaan dan mungkin sudah saatnya Karla ikut campur untuk meluruskan semuanya. Atau mungkin ini tugas Rena yang harus ditangani oleh Karla secara langsung.

"Kau harus memilih salah satu dari ketiganya, Rachel. Untuk urusan maaf, kau bisa meminta maaf kepada Shane dengan syarat kau harus yakin pada diri sendiri jika kau tidak salah dalam usaha menyuarakan isi hatimu. Ketahuilah. Lorne, Shane atau Hyefvray pasti memiliki masa lalu. Aku tahu setiap masa lalu mereka. Shane yang bersikap demikian, mungkin hanyalah sebuah cermin dimana masa lalunya sedikit terulang kembali."

"Mungkin...."

"Tapi Shane begitu, Rachel, adalah kau sebagai penyebabnya," tambah Karla.

Rachel kembali menatap Karla dan berusaha menemukan solusi. Namun yang ia dapatkan adalah sebuah fakta?

"Shane sudah lelah menyembunyikan hatinya terhadapmu demi Lorne. Shane ingin bersaing secara sehat namun dirinya tetap kalah. Kau akan terus memilih Lorne, bukan begitu? Sesekali ia ingin berada di posisi dimana kau lebih memilihnya diatas segala hal. Tapi jangan bohongi perasaanmu sendiri, Rachel. Kau harus memilih pria yang kau cinta dan mencintai kamu dengan tulus. Kau bisa?"

**

"Hai, Shane," sapa Rachel setelah Shane menatapnya dengan tatapan yang... mematikan. "Maafkan aku..."

Langkah Shane yang semakin lama semakin mendekat dengan Rachel membuat Rachel terbisu secara mendadak. Shane begitu menggoda. Entah mengapa, hari ini Shane terlihat berbeda. Shane terlihat semakin tampan dan sangat seksi. Rachel mengagumi Shane dibalik kaos dan kerahnya. Tapi entah mengapa melihat Shane tanpa busana membuat jantungnya mendadak berhenti dan terserang sesak napas secara dadakan.

Shane menghentikan langkahnya tepat di depan Rachel. Membuat Rachel mau tidak mau merasakan kehangatan Shane. Membuat Rachel 'tak bisa melemparkan pandangan ke arah lain selain pada tubuh Shane yang sangat meyakinkan untuk dinikmati.

"Kau ingin berbicara?" tanya Shane.

"Iya," sahut Rachel masih dengan tatapan pada tubuh Shane.

Shane mengangkat dagu Rachel agar tatapan wanita itu dapat bertemu dengan tatapannya. Rachel setengah bergidik ketika berada pada jarak yang amat—sangat—dekat dengan Shane. Rachel berusaha menarik wajahnya menjauh dari Shane namun lelaki itu menahannya.

"Kau bisa memakai pakaianmu, 'kan?" tanya Rachel berusaha mengalihkan pikirannya sendiri.

"Apakah mengganggu? Aku merasa panas disini," sahut Shane sambil membalikkan badannya. "Ada apa kau menemuiku?"

Rachel menelan air liurnya sendiri berusaha tidak terus memikirkan Shane yang sepertinya sengaja menjebak dirinya. "Kau sengaja, Shane?"

"Sengaja untuk apa?"

"Kau melihatku datang. Tadi kau berpakaian lengkap dan sekarang kau bertelanjang dada. Maaf, tapi aku melihatnya sebagai sebuah kesengajaan. Bagaimana menurutmu?"

"Sudah kukatakan," gumam Shane tapi Rachel masih bisa mendengarnya. "aku merasa panas. Kalau kau tidak suka kau bisa keluar."

"Kau masih marah padaku?" tebak Rachel sambil melangkah mengambil kaos untuk Shane.

"Apa seharusnya kau yang marah?" balas Shane sambil menangkap kaos yang dilemparkan Rachel padanya.

"Menurut mamamu begitu."

"Kau memang anak kecil," gumam Shane lagi.

"Apa maksudmu?" tanya Rachel sambil menyipitkan matanya.

"Untuk apa kau berbicara pada mama?"

"Untuk menerima masukan. Aku percaya aku yang salah atas perdebatan kita kemarin. Tapi menurut mamamu ternyata kau yang salah. Seharusnya kau menerima dengan lapang dada apa yang ada dalam lubuk hati kekasihmu ini. Dan aku tetap kemari, Shane. Untuk meminta maaf padamu. Kau kira aku yang anak kecil?"

Shane membaringkan tubuhnya setelah memakai kaos yang dipilihkan oleh Rachel. Ia merasa kepalanya mulai memanas. Tidak berpikir ia salah, tentu saja. Tidak berpikir Rachel salah juga karena mamanya sendiri menganggap ia yang bersalah dalam pertengkaran kemarin. Mungkin dia yang kekanak-kanakan.

"Maaf," kata Shane lirih.

"Apa kau bilang?" tanya Rachel memastikan.

"Aku tidak akan mengulangi."

Rachel duduk di sisi Shane untuk melihat lelaki itu dengan lebih jelas dalam keadaan normal. Tanpa sisi godaan dari Shane, tentu saja.

"Maafmu itu, Shane. Susah sekali?" kata Rachel 'tak habis pikir. "Aku juga minta maaf."

Shane memiringkan tubuhnya agar dapat menemukan tatapan Rachel. "Jadi setelah semua ini, kau masih milikku, 'kan?"

Rachel menyunggingkan senyum terbaiknya. Setidaknya ada satu yang masih menjadi miliknya ditengah segala kekacauan ini. "Tentu saja."

avataravatar