20 Bab 19

Rachel membantu Karla untuk menjamu kedua tamu. Tidak terlalu spesial, hanya dua orang yang terlihat saling mencintai. Um, biar Rachel tarik. Lelaki yang terlalu berlebihan dalam mencintai kekasihnya. Rachel tidak melihat tamunya itu menatap orang lain selama ia menatap wanita disampingnya. Rachel tidak keberatan. Ia juga tidak butuh.

"Silakan," ujar Rachel santai sembari meletakkan dua mangkuk puding yang sudah diiris sama rata, kemudian duduk disisi Karla.

"Jadi, inikah istrimu?" tanya tamu wanitanya sambil mengulurkan tangan pada Rachel. "Vilove."

"Rachel. Halo," sapa Rachel sambil membalas uluran tangan dari kedua tamunya. "Yovan."

"Sebenarnya hubungan kami tidak seperti itu," kata Lorne melihat wajah bingung mamanya.

"Sayang, aku yakin kau bilang Lorne sudah menikah dengan gadis yang teramat cantik. Bukankah ini gadisnya?" tanya Vilove pada Yovan.

"Aku juga yakin begitu, Sayang," jawab Yovan sama bingungnya.

"Aku yakin aku tidak menyebutkan kalau Rachel istriku. Aku hanya mengatakan jika aku bersama dengannya sekarang, um, maksudku waktu itu," jelas Lorne.

"Waktu itu?" tanya Yovan memastikan. "Di Australia?"

Lorne dan Rachel mengangguk serempak. Yovan menatap keganjalan atas sikap Karla yang tampak diam mendengarkan dan seperti tidak tahu apapun. Rachel juga tampak tegang seperti halnya Lorne.

"Ya, bersama bukan berarti benar-benar dalam konteks itu, 'kan? Aku yakin maksud Lorne adalah ia membawaku untuk menemaninya selama berada di Australia. Untuk urusan bisnis," tambah Rachel untuk membenarkan pemahaman Yovan.

"Aku yakin bukan bisnis namanya. Mengusir pekerjanya dengan cara memindahkan adalah ide yang sangat buruk. Apalagi membujukku sekeras itu. Kau tidak tahu 'kan cara Lorne membujukku agar aku setuju?" tanya Yovan menantang Rachel.

"Ya, mungkin aku 'tak tahu."

"Kalian tidak menikah secara diam-diam, 'kan?" tanya Yovan penuh kecurigaan.

Karla mendadak panik dalam diam mendengar kalimat itu meluncur dari mulut Yovan, sahabat putranya. Selain dirinya secara pribadi sebagai orang tua Lorne, Yovan adalah yang paling mengerti Lorne. Jika hal-hal tidak baik karena Yovan yang mengucapkannya, Karla 'tak memiliki alasan untuk tidak mempercayainya.

"Well, katakan mengapa kau ingin membatalkan proses pemindahan Candara," lanjut Yovan mengabaikan pertanyaan jebakannya.

Yovan meletakkan minumannya dengan gaya maskulin. Membuat ia tampak lebih berwibawa dibandingkan Lorne. Senyumannya juga tidak begitu mengintimidasi jadi wanita yang bersamanya, pasti jauh lebih aman daripada saat bersama dengan Lorne.

Lirikan mata Lorne jatuh pada Rachel yang asyik memainkan jemarinya pada gelas yang ia genggam. Raut Rachel tampak tegang entah apa sebabnya. Pertanyaan pertama, atau yang kedua? Atau keduanya?

"Aku 'tak tahu," sahut Lorne walau matanya masih terpaku pada Rachel yang kian menegang. "Rachel memintaku untuk membatalkannya. Aku melihat tidak punya pilihan."

"Um, aku bilang pada Shane," sanggah Rachel. "jika dia boleh membatalkannya. Aku tidak menyuruhmu untuk benar-benar melakukannya."

Yovan mengangguk setuju. "Aku juga tidak melihat hal itu sebagai alasan. Aku terkejut kala kau mengatakan untuk membatalkan usahamu yang begitu keras dan tanggung dalam upaya memindahkan Candara pada penerbitanku. Tunggu, kau bilang antara hidup dan mati?" Sekalipun Yovan tidak pernah memberi kesempatan bagi Lorne untuk menyangkal kenyataan yang telah jelas.

"Oke, kau bisa diam sekarang," kata Lorne sambil melemparkan biskuit ke arah Yovan. Yovan tertawa karena ia berhasil menghindari lemparan Lorne.

"Lorne, aku serius. Pada pertanyaan pertama dan keduaku," kata Yovan setengah menahan tawanya agar tidak pecah. "Ada apa denganmu? Kau tidak biasanya begini. Apa Rachel penyebabnya?"

"Kukira begitu," jawab Lorne 'tak yakin. Ia menatap Rachel yang seakan meminta jawaban kepadanya. "Kukira permasalahan hidup dan mati itu sudah tidak berlaku lagi. Aku dan Rachel sudah baik-baik saja. Benar, Rachel?"

Karla terlupakan. Menyimak. Duduk disana menerka-nerka apa yang sedang terjadi. Candaan Yovan yang semula serius kini menjadi candaan yang sangat sulit dipecahkan oleh Karla.

"Tante senang akhirnya kalian bisa bertemu lagi. Apalagi dengan menciptakan suasana semeriah ini," ujar Karla membentuk ketegangan lain. "Setelah segala yang berat, Yovan?"

Yovan menatap Vilove dengan ragu. Tapi ia tidak menemukan sesuatu yang lain dari tatapan Vilove selain cinta, kejujuran dan kerelaan atas segala yang pernah terjadi dalam hidup mereka. "Iya, Tante." Yovan menggenggam tangan Vilove dengan erat. "Semua baik-baik saja sekarang."

Karla mengulum senyum lalu berdiri. "Bolehkah tante menculik istrimu dan Rachel? Tante bosan mendengarkan kalian. Tante juga yakin mereka sama bosannya."

"Tentu, Ma," jawab Lorne sebelum Yovan. Ia siap menghajar Yovan sesaat setelah para wanita meninggalkan dirinya berdua dengan sahabat karibnya, berdua saja.

**

Karla berusaha menyesuaikan diri dengan Vilove, hal yang tampak aneh bagi Rachel. Rachel tidur dalam posisi tengkurap memperhatikan pembicaraan yang diangkat oleh Karla karena semakin lama semakin menarik perhatiannya.

"Yovan baik-baik saja dengan keluarga kecil kami. Aku juga tidak menginginkan lebih," jawab Vilove santai, lembut dan penuh kepercayaan diri.

"Tentu saja begitu. Kau merindukan sahabatmu?"

"Dia yang terbaik. Merindukannya adalah sebuah kewajiban. Kami sering berkunjung padanya."

Vilove sabar sekali, batin Rachel. Vilove memang tampak sangat merindukan sahabatnya yang sedang dibicarakan ini. Pasti sahabatnya adalah orang yang sangat baik dan sangat beruntung pernah memiliki Vilove sebagai bagian dalam hidupnya.

"Yovan beruntung," gumam Karla dan Vilove tersenyum lebar. "Bagaimana Vilove kecil?"

Ah, ada dua Vilove. Kecil dan besar?

"Vee sangat bahagia dengan kami."

"Sudah siap memberikannya adik?"

"Tante, kami baru saja..."

"Apakah itu terlihat salah? Tante yakin tidak begitu. Kalian harus segera membicarakannya."

Vilove mendesah lembut. Dengan sopan ia menunjukkan sikap pedih. Pertama kalinya Rachel melihat kerapuhan pada hati Vilove. "Vee baru saja mendapatkan kasih sayang sebuah keluarga yang utuh. Ini semua tidak akan terlihat benar baginya."

"Sayang, ini sudah 5 tahun. Vilove mungil itu pasti akan memahami keputusanmu dengan Yovan."

"Semoga tante benar," sahut Vilove dengan senyuman terbaiknya.

"Jangan katakan kalau kau...." Karla menggantung kalimatnya, ingin menguji kejujuran Vilove.

"Ya, Tante. Kami tidak bersungguh dalam merencanakan hal ini. Tapi memang keadaannya begini."

Oh, waw. Hal baru di hari yang baru.

"Berapa bulan?"

"6 minggu, Tante." Senyuman Vilove terasa nyata. Kebahagiaan yang tidak sedang ditutupi. Walau diselanya terdapat banyak pedihan. "Semua terasa cepat, 'kan?"

"Benar begitu. Lorne dan Shane juga 'tak terasa begitu cepat beranjak dewasa. Tapi tante merasa keduanya sangat terlambat untuk merasakan pengalaman mencintai seseorang. Benar begitu, Rachel?"

Rachel mendongakkan kepalanya merasa terpanggil. Ia sulit mencerna apa yang baru saja dikatakan oleh Karla, namun ia tetap tersenyum dan samar-samar mengangguk. "Tante, aku ke dapur sebentar."

Karla memegang pergelangan tangan Rachel, memaksa Rachel untuk tinggal. "Tante sudah selesai dengan Vilove. Sekarang mari bahas yang sedikit serius mengenaimu dan Lorne."

"Hah?" Rachel tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Ia mengerjap beberapa kali namun semua tetap sama. Dua pasang mata mengarah padanya dan mengharapkan jawaban yang serius dari Rachel.

"Apa yang sedang kau sembunyikan dari tante?" tanya Karla memulai.

"Menyembunyikan apa? Tidak ada," elak Rachel.

"Rachel, tante mengenalmu dari kecil. Berbohong tidak akan membantu," tegas Karla. "Jadi, kalian benar menikah secara diam-diam?"

Rachel mengambil posisi duduk dan memeluk Karla dari belakang. "Aku tidak akan setega itu pada tante dan mama."

Vilove terkekeh mendengar pertanyaan rancu dari Karla. "Tante tahu Yovan memang usil. Yovan tidak akan berhenti menggoda Lorne. Ia justru akan menambah parah bahan pembicaraannya jika berada di depan tante. Mengapa menganggap serius?"

"Yang kau tanyakan tadi, Vilove..."

Vilove tertawa lebih keras. Membuat Karla tidak jadi melanjutkan kalimatnya. Vilove berusaha mengatur napas dan mencoba untuk bertindak lebih sopan. "Aku dan Yovan sudah merencanakan percakapan singkat itu."

Rachel ikut tertawa. Ia merasa lega jika itu hanyalah sebuah candaan. "Tidak ada pernikahan, Tante. Apalagi secara diam-diam."

"Tapi kau mencintai Lorne?" tanya Karla membuat segalanya kembali menjadi serius. Rachel mengangguk. "Aku memang mencintainya. Shane sudah mengatakannya, bukan?" Karla balas mengangguk.

"Apakah Lorne juga mencintaimu?"

Rachel mencium pipi Karla dan berdiri secepat mungkin. "Tanyakan sendiri. Aku mau dia yang menjawab, bukan aku."

"Kau mau kemana?" tanya Karla melihat Rachel pergi meninggalkan kamarnya.

Rachel 'tak menjawab ia hanya melangkah menjauh dari Karla, sebelum mama Lorne itu menanyainya yang tidak-tidak. Rachel kembali ke dapur dan membuatkan soy milk hangat untuk Karla dan Vilove. Pamit kepada mereka tidak banyak membantu, langsung mengambil tindakan adalah langkah paling tepat.

₻₻₻

Yovan mengecup bibir istrinya singkat lalu merangkul tubuh Vilove dengan gerakan posesif. Begitu kuat seakan tidak ingin dipisahkan lagi. Mata Yovan cokelat keemasan yang tampak biasa saja, namun cara ia memandang kepada orang yang sangat ia cintai membuat daya tarik terhadapnya makin tinggi. Rachel sadar itu. Yovan sangat menarik ketika menunjukkan beberapa gerakan yang menurut Rachel sangat karismatik.

"Aku siap untuk pulang," ujar Yovan. "Tante terima kasih telah menjamu kami. Terima kasih untukmu, Rachel, telah menjaga istriku dengan baik dan ramah."

Yovan berpura-pura melupakan sahabatnya. Namun Lorne tahu kejahilan dari Yovan sehingga ia hanya melirik sinis kepada sahabatnya itu. "Lorne, kurasa perjanjian kita berakhir. Tidak ada Candara, tidak ada pemindahan. Semoga kau tetap baik-baik saja dengan 'antara hidup dan mati'."

Lorne menepuk pundak Yovan dengan sikap dinginnya dan menghantarkan Yovan juga Vilove ke mobil mereka. Lorne merendahkan suaranya dan setelah berada agak jauh dari Karla. "Semua akan baik-baik saja."

"Candara?" tebak Yovan.

Lorne menggeleng puas karena tebakan Yovan meleset. "Rachel. Pergilah, jangan kembali lagi."

Yovan membukakan pintu untuk Vilove lalu masuk ke dalam mobil. Yivan mengenal semua seluk beluk maksud ucapan Lorne; tentu ia tidak tersinggung. Persahabatan memiliki titik lengkung yang berbeda. Yovan dan Lorne, mereka seperti sebuah majas. Keduanya tidak benar-benar memaksudkan apa yang sedang mereka bicarakan.

"Should I?" tawar Rachel sambil memeluk Lorne.

"Aku akan membantumu," jawab Lorne lembut.

"Tidak usah," cegah Rachel sambil melepaskan pelukannya. "Kau bermesra saja dengan mamamu. Aku tidak keberatan."

"Kau ini..."

"Lorne?"

Lorne menoleh begitu mendengar namanya dipanggil. Ia melepaskan Rachel dari genggamannya dan berusaha mencari posisi berdiri yang sempurna. Karla mendekatkan diri ke arah putranya sambil mengulum tanya. Lorne jauh berbeda dari Lorne terakhir yang ia temukan. Yang patah hati karena Candara. Yang menangis karena Candara. Lorne yang malang, yang terdiam karena hatinya terlalu hancur untuk disatukan kembali.

"Mama ingin berbicara empat mata denganmu."

"Selagi Rachel disini, mama bisa mengatakannya. Aku yakin Rachel juga terlibat di dalamnya," jawab Lorne penuh percaya diri.

Karla tidak menemukan kesalahan dalam ucapan Lorne. Dugaan Lorne memang benar. Rachel lah yang menyebabkan perasaannya sekacau ini. "Apa kau mencintai Rachel?"

"Cinta?" tanya Lorne sambil mengerutkan dahinya. "Aku tidak mencintainya."

Rachel tidak menunjukkan ekspresi yang berlebihan. Ia juga tidak ingin dirinya terlalu berharap pada Lorne. Rachel berusaha biasa saja. Membuat Karla merasa kasihan. Cinta Rachel yang 'tak terbalaskan. Dipaparkan sejujur mungkin dihadapannya, secara langsung. Semua kekacauan ini, sampai kapan?

avataravatar
Next chapter