18 Bab 17

"Kau benar-benar bisa pergi dari sini sekarang juga."

"Shane yang menerimaku bekerja disini. Kau tidak bisa memecatku."

"Dan kau tidak bisa membantahku. Selamat, Shane hanyalah bosmu. Aku adalah bosnya. Silakan kau pergi," pinta Lorne dengan lembut.

Rachel tidak bisa mencerna permasalahan diantara mereka. Hanya namanya yang dibawa-bawa dengan kasar. Ia bisa apa selain menerima? Rachel terus berusaha memperhatikan selagi hatinya masih kuat dan selagi Candara tidak menyebutkannya sebagai ungkapan yang sangat kasar.

"Aku tidak akan pergi," kata Candara lirih.

"Apa kau tahu apa yang sedang Shane rencanakan?" tanya Lorne.

"Apa aku harus tahu?"

"Apa aku perlu memberitahumu?"

"Yes, please," desah Candara. Dia tidak tahu bagaimana cara membantah perkataan Lorne.

"Kurasa tidak akan membantu, pergilah."

"Jika aku 'tak mau?" tantang Candara. "Dengar, Lorne. Aku tidak tahu tentang bagaimana 7 tahun yang kau jalani."

"10," koreksi Lorne.

"Aku juga 'tak ingin percaya jika Rachel bisa merubahmu menjadi seperti ini kepadaku. Juga Renatta. Percayalah, 7 tahun berlalu, semua perasaanku kembali padamu," lanjut Candara.

"Renatta?" Rachel menggantungkan tanyanya untuk pertama kalinya. Lorne juga terlihat bingung. 'Tak bisa menemukan letak Renatta dipermasalahan ini.

"Ya, Renatta. Ia 'tak pernah menyebutkan namaku, Lorne?" Candara menunggu reaksi Lorne. Yakin lelaki itu 'tak akan menjawabnya, ia menambahkan, "Picik sekali dia. Dia sahabatku. Yang kau temui 3 tahun setelah aku pergi. Percayalah sekali ini kepadaku. Aku yang memintanya untuk tidak memberitahukan apapun tentang bagaimana aku bisa menjadi bagian dari ceritanya."

"Can, kau baru saja menyebutnya picik."

"Apa aku 'tak boleh? Jika aku ingin menamai sahabatku sebagai orang munafik, apa aku juga tidak boleh, Lorne? Ya, kau munafik. Kau ingin menunjukkan kepada dunia jika kau telah berubah."

Lorne mendesah dengan sangat pelan. "Kau tidak tahu apa yang terjadi."

"Ya, aku tidak tahu. Sampai kemarin Nata berusaha menghubungiku, membenarkan kekeliruanku terhadapmu. Lorne, kau bisa saja memiliki hubungan baru. Kehidupan baru. Tapi sejauh keinginanmu, aku 'takkan bisa menghilang dari memorimu. Karena aku sahabatmu, dan akan selamanya begitu."

"Kau 'tak bisa menentukannya," tegas Lorne.

"Ya, aku bisa. Rachel boleh istrimu. Tapi aku sahabatmu."

"Kau bukan sahabatku, Can," bantah Lorne. Lorne mengerutkan dahinya. Lorne tidak tahu bagaimana cara menjelaskan kesalahpahaman yang diderita Candara. "Nata menyebutkan Rachel istriku?"

"Mmmhm. Oh, ya? Bagaimana 10 tahun lalu?"

"Kau juga bukan sahabatku 10 tahun yang lalu. Sekarang dan 10 tahun yang lalu, aku tidak pernah memilikimu sebagai seorang sahabat. Kata 'sahabat' hanyalah kedok yang aku gunakan," jelas Lorne.

"Untuk apa?"

"Untukmu."

"Maaf?" Candara tidak bisa menemukan arah pembicaraan Lorne.

"Kau mencintainya?" tanya Rachel pada Lorne.

Candara bisa mendengar kegetaran dari kalimat Rachel. Luka, yang 'tak pernah diduga oleh Rachel sendiri. Kekecewaan yang selalu ia rasakan. Luka yang selalu terbuka disetiap saat. Candara bahagia menatap Rachel penuh dengan ekspresinya saat ini. Ekspresi penuh tanya, ragu dan jawaban. Candara puas. Puas jika Rachel sama menderita dengannya. Dengan begitu, Candara 'tak memiliki ragu sedikit pun untuk mengumbar senyumnya. Senyum penuh kemenangan.

"Ya, Lorne. Jawab dia," pinta Candara. "Kau bisu?"

Lorne menatap mata Rachel sebisanya. Ia ingin menemukan tempat untuk berpijak. Perasaan 10 tahun yang lalu, jika dibahas sekarang, apakah belum kadaluarsa? Lorne punya batasan untuk mencintai seseorang. Candara, Renatta...

"Kau juga mencintai Renatta?" tanya Rachel.

Lorne menaikkan kedua alisnya, terkejut akan kesimpulan Rachel. Kesimpulan paling tepat. Atas dua pribadi yang berhasil merebut hatinya. Sekarang dimana ia akan berpijak jika Rachel pun turut menyudutkannya?

"Ya," jujur Lorne.

Lorne memejamkan mata, selama yang ia kira. "Ya, aku mencintai Renatta."

Rachel menarik napas panjang mendengarkan jawaban Lorne. Hatinya terluka, memang. Ini sebabnya Lorne tidak pernah membahas masa lalunya dengan Renatta? Rachel berusaha menenangkan perasaannya sendiri. Ia benar-benar menyangka Renatta sebegitu penting bagi Lorne.

"Lalu mengapa sikapmu sedingin itu pada Renatta?"

Kali ini Lorne menatapkan matanya lebih serius pada Rachel. Mencari kata-kata yang tepat bukan waktunya. Menjawab dengan kebohongan juga bukan waktu yang tepat. Candara perlu tahu mengapa sikap dingin itu keluar. Bukan karena Rachel. Bukan. Semua itu karena Candara sendiri. Karena Renatta sendiri. Tidak ada sangkut pautnya dengan Rachel sama sekali.

"Rachel, aku..." Kata-kata Lorne terhenti tepat ditenggorokannya. Mengungkapkan suatu kejujuran, mengapa berat jika ini harus dikatakan kepada Rachel? Apa peran Rachel disini? Ya, apa peran Rachel? Mengapa 'tak enak hati saat mengatakan kau masih mencintai mereka? "Aku... a-aku takut jatuh hati lagi pada mereka. Aku menjaga sikap, Rachel. Agar aku tahu kepada siapa nantinya hatiku akan bertahan."

"Dan kepada siapa itu tepatnya?" tanya Rachel. 'Tak apa jika sekali lagi terluka. Obatnya sudah diberikan sebelum noda merah muncul. "Lorne?"

"Aku 'tak tahu. Bukan kepada wanita ini yang pasti," jawab Lorne seyakin mungkin, sambil menunjuk ke arah Candara.

Yang merasa ditunjuk kembali terluka, Rachel 'tak kalah beda. Rachel menatap Candara, melihat betapa sama lukanya mereka lalu dengan lembut ia melangkah mundur meninggalkan ruangan Candara. Meninggalkan semua sakit hatinya di ruangan itu. Sebersit pikiran Lorne memilih dirinya, kini telah dihancurkan dengan dua kalimat yang begitu jelas bagi telinga Rachel. Bukan Candara. Bukan juga dirinya.

**

"Rachel?!"

Lorne memenuhi seluruh rumah dengan suaranya. Ia mencari Rachel kemana-mana, kantor, rumah Rachel, sekarang rumahnya sendiri. Ia Rachel. Membuat hatinya gelisah.

"Rachel?!" panggilnya sekali lagi. Nadanya masih tinggi. "Rachel?!"

"Lorne? Kau sudah pulang?" tanya Karla bingung melihat putranya teriak-teriak di dalam rumah.

"Mama lihat Rachel?" tanyanya tanpa basa-basi.

"Rachel? Dia..."

"Mama lihat atau tidak?" Lorne meninggikan suaranya.

"Lorne..."

"Oke, maaf. Aku tahu. Sorry," potong Lorne sebelum mamanya sempat untuk marah.

"Kemana saja kau seminggu ini? Tidak ada kabar?" tanya Karla.

"Ma, aku 'tak punya waktu untuk itu. Dimana Rachel? Mama lihat atau tidak?"

Karla menghembuskan napasnya. Karla memegang pundak Lorne dengan gerakan memerintah, agar putranya lebih tenang. Reaksi Lorne terlalu berlebihan, batin Karla.

"Pertama, ada urusan apa kau sampai meninggalkan London?"

"Bisnis?" jawab Lorne asal.

"Kedua, mengapa kalau ini tentang bisnis kau harus dan perlu membawa Rachel bersama denganmu?"

"Harus dan perlu, rasanya terlalu berlebihan, Ma. Sekarang dimana Rachel?"

Karla menghembuskan napasnya dengan penuh kesabaran. Lorne banyak berubah belakangan ini. Ia juga berbicara cukup panjang. Bukan hanya satu dua patah kata. Perubahan yang bagus. Ya, Karla berusaha mengatur kekuatan kesabaran sementara mata Lorne berusaha mencari Rachel dimana-mana.

"Jawab dulu," desak Karla.

"Oke. Aku ke Berlin. Hanya untuk makan siang, tidur dan besoknya ke Australia. Berlin-Australia, jangan tanya betapa Rachel merasakan jet-lag."

"Dan kau tidak?"

"Bukankah yang terpenting Rachel?"

Karla sedikit terkejut mendengar jawaban polos Lorne. Tidak takut untuk menerobos jawaban itu. Bagaimana pun, itu Lorne. Ia harus menjelaskan setiap keputusan yang ia ambil apalagi jika itu diambil secara mendadak. "Ada urusan apa kau di Australia?"

"Candara. Apa itu cukup? Mama bisa bilang dimana Rachel sekarang. Please?"

Lagi, Karla menghembuskan napasnya. Lorne merasa terganggu sekarang. Lorne menatap mamanya dengan hati yang 'tak beraturan. Namun mamanya terlihat tenang, jadi pasti Rachel sedang baik-baik saja. Karla hanya mengulur waktu. Untuk apa?

Prang!

Lorne berdiri dan segera berlari menuju sumber suara. Lorne membelalakkan matanya ketika melihat Rachel berdiri ketakutan di sudut lemari Shane. Ia menghambur menghampiri Rachel, memeluknya dan membiarkan Rachel menangis di pelukannya. Mata Lorne menangkap rahang Shane yang mengeras, menampakkan betapa jengkel lelaki itu padanya. Shane yang berbeda. Shane yang tidak pernah ia tatap sebelumnya.

"Jauh-jauh kau dari Rachel!" ujar Shane sambil menarik Rachel menjauh dari Lorne.

"Apa-apaan ini, Shane?!" bentak Karla ketika melihat piring pecah menyebar kemana-mana. Apalagi ketika matanya menangkap gerakan kasar Shane yang sedang menarik tubuh Rachel menjauh dari pelukan Lorne. "Apa yang kau lakukan?"

"Mama diam saja," bentak Shane. "Biar aku yang selesaikan masalah diantaraku dan Lorne."

"Hei, kau tidak berhak membentak mama seperti itu," tukas Lorne dengan kasar.

"Atas hak apa kau berani menyentuh Rachel?"

Lorne kembali membelalakkan kedua matanya. "Apa kau bilang?!"

Sebuah tinju melayang tepat pada pipi Shane. Rachel hanya ketakutan melihat perilaku kakak-beradik Weinston. Mereka terus beradu hantam, menjatuhkan tubuh satu sama lain ke lantai. Bercak darah dimana-mana dan yang bisa Rachel lakukan adalah menangis. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan untuk menghentikan pertengkaran konyol antara Lorne dan Shane.

"Kalau kau mau bermain curang, baiklah aku terima!" sentak Shane.

"Oh? Aku bermain curang? Kalau mau merebut Rachel dariku, kau juga tidak perlu melibatkan Candara!" balas Lorne.

Shane membanting tubuh Lorne di lantai, membiarkan kakaknya kehabisan darah. Ia tidak peduli. Ia benci kakaknya sendiri.

"Candara masih berarti buatmu?"

"Nama itu bahkan sudah kubakar habis."

"Lalu mengapa kau masih kesal karena aku melibatkan Candara?"

Lorne 'tak mampu menjawab. Lidahnya dibabat habis akibat pertanyaan dadakan itu. Shane benar-benar membuatnya kesal kali ini. Lorne memaksakan tubuhnya untuk dapat berdiri dengan tegap, menghantam Shane—itu harapannya—namun Shane lebih dulu menjatuhkan tubuh Lorne.

"Gentleman tidak akan melibatkan seorang gadis dalam permainan kotornya!"

"Gentleman tidak akan membawa kabur gadis baik-baik!"

avataravatar
Next chapter