16 Bab 15

"Kau menjadi orang paling menyedihkan di dunia ini, Shane!" teriak Karla dari depan pintu kamar Shane.

Rena baru saja sampai di rumah kediaman Weinston ketika telinganya menangkap pekikan Karla yang begitu menggebu. Ia mengitari ruang tamu, menaiki beberapa anak tangga hanya untuk mencapai kamar Shane. Ia menemukan Karla berdiri sambil menggedor pintu kamar Shane dengan tidak sabar. 'Tak tahu apa yang sedang terjadi, Rena melakukan hal serupa dengan apa yang sedang dikerjakan oleh Karla.

"Apa yang kau lakukan?" tanya Karla sesaat setelah menyadari Rena tengah bergabung dengannya.

"Apa yang kau lakukan?" balas Rena.

Karla menyandarkan tubuhnya pada pintu kamar Shane. Kedua telapak tangannya menutupi wajahnya yang terlihat frustasi melihat kelakuan putra bungsunya. Karla membiarkan masalah mengaliri kepalanya, sebelum ia menjawab sesuatu yang bersifat sangat sensitif. Ia sendiri tidak tahu jika ia harus dihadapkan pada situasi semenegangkan ini. Melantur pada Rena untuk putranya? Putranya yang sama sekali tidak bersifat logis.

"Shane belum keluar dari kamar semenjak 4 hari yang lalu."

"Astaga." Desahan Rena tampak lebih seperti gurauan bagi Karla. Itu sebabnya Karla menatapnya dengan rasa kesal. "Maaf. Biar aku yang membujuknya untuk keluar."

"Aku mamanya, dan aku tidak mampu melakukan apapun untuk membuat dirinya keluar dari kamar itu. Bagaimana kau bisa?"

"Kau yakin aku tidak bisa?" tantang Rena. Karla menyerah. Ia tahu Rena lebih pandai untuk membujuk kedua putranya, dibandingkan dirinya sendiri. "Aku yang telah membuat Shane patah hati. Jika aku meminta maaf, aku yakin Shane bisa terbuai."

"Rachel tidak mencintainya, Rena. Kita bisa apa?"

"Kau terlihat seperti sedang mendukung Lorne daripada Shane," ujar Rena penasaran.

Karla mengangguk menyetujui. Ia tahu ia lebih mendukung Lorne dengan usaha mendapatkan Rachel. Rena menepuk pundak Karla dengan senyuman. Rena tahu ia 'takkan pernah menyetujui hubungan diantara Lorne dengan Rachel atau Shane dengan Rachel. Hubungan keluarga, biarlah seperti itu. Jika harus disatukan dalam istilah cinta, Rachel masih terlalu muda.

"Kau percayalah padaku. Shane pasti akan makan."

Karla mengangguk berusaha memahami usaha Rena akan berhasil.

"Shane?" panggil Rena dengan nadanya yang sabar. "Kau sudah bangun?" Tidak ada jawaban. "Tante boleh masuk?" Masih hening. "Shane? Tante lelah berdiri disini." Shane tidak juga berniat untuk membalas ucapan Rena. Rena mengedikkan sebelah bahunya pada Karla, lalu berpikir sebentar sebelum akhirnya berusaha membujuk Shane sekali lagi. "Kau boleh memanggil tante dengan sebutan 'mama'."

'Tak lebih dari dua detik, pintu itu terbuka. Dengan Karla dan juga Rena dihadapan Shane. Wajahnya pucat, mungkin sedikit mengurus. Shane belum makan apapun semenjak Lorne dan Rachel menghilang. Shane masih bisa memaksakan senyuman jahilnya keluar dengan sangat sukses ketika ia menatap Rena dengan penuh harapan.

"Jadi? Aku bisa menikahi Rachel?"

Rena menggeleng keras sehingga Shane dapat melihat gelengan itu dengan jelas. Ia menerobos kamar Shane, duduk di atas ranjang Shane yang tampak sangat berantakan. Menepuk ranjang Shane dengan lembut, menyuruh lelaki itu menghampiri dirinya dan berjumpa sapa tentang Lorne juga Rachel.

"Makan? Mama suapi?" tawar Rena.

Shane menggeleng. Ia menyandarkan kepalanya pada bahu Rena yang jauh lebih pendek dari dirinya. "Aku tidak tahu jika jatuh cinta bisa membuatku seluka ini."

"Itu karena kau jatuh cinta pada anak mama," sahut Rena masih dengan penuh kesabaran.

Karla berdeham selagi memasuki kamar Shane. Ia mengambil posisi duduk tepat di hadapan Shane agar ia bisa menatap ekspresi wajah Shane dan bebas menamparnya tanpa jeda jika putranya berani berkata kasar lagi.

"Apa yang salah denganku, Ma?" tanya Shane kepada Rena. "Apa aku kurang tampan?"

Rena tersenyum. Shane sempurna. Entahlah apa yang 'tak Rachel lihat dari diri Shane. "Tanyakan padanya."

"Bersikaplah sedikit dewasa," ujar Karla. "mungkin Rachel akan mencoba untuk mencintaimu."

"Aku kekanak-kanakan."

Rena dan Karla mengangguk secara bersamaan.

"Aku tidak dewasa."

Lagi, Rena dan Karla mengangguk menyetujui ucapan Shane.

"Aku tidak bijaksana?" tanyanya ragu.

Rena dan Karla dengan senang hati mengangguk sekali lagi.

"Tapi aku mencintainya."

"Mungkin dia akan kembali kalau kau makan," bujuk Karla ketika melihat kemungkinan itu bisa diterima oleh Shane.

Shane berpikir sejenak. Shane benar-benar akan mengiyakan tawaran Karla. Tapi ia harus berpikir secara dewasa, bukan? Orang dewasa tidak akan terpengaruh pada bujukan 'tak masuk akal yang sedang dilontarkan oleh mamanya itu. Shane menggeleng. Ia menolak lagi. Karla mendesah menyerah, 'tak tahu sampai kapan putranya akan murung 'tak jelas seperti ini.

"Shane, mungkin kau tahu mengapa Lorne tiba-tiba membawa Rachel pergi dari London?" tanya Rena yang tiba-tiba teringat akan pertanyaan yang hendak ia ajukan 4 hari lalu.

"Aku 'tak tahu."

"Pandai sekali kau berbohong, Nak," ujar Rena dengan nada sakartisnya. "Tentu saja kau tahu. Kau tengah bertengkar dengannya, 'kan?"

Shane mengangguk mengiyakan pernyataan Rena.

Karla menyipitkan kedua matanya, mengamati tatapan Shane dengan seksama. Ada yang aneh dari tatapan itu. Karla selalu tahu. Kali ini? Ia seperti sedang dibodohi secara terang-terangan.

"Selain Rachel. Apa yang membuatmu dan kakakmu bertengkar sampai ia meninggalkan London?"

"Candara," desah Shane putus asa.

"Candara?" tanya Karla dan Rena serempak.

"Candara ditengah-tengah ini semua?" tanya Karla.

"Siapa Candara?" tanya Rena 'tak mampu menemukan siapa Candara.

"Aku mengancam Lorne," ujar Shane 'tak menjawab satupun pertanyaan yang sedang diajukan.

"Kau mengancam apa?" Karla memaksakan lidahnya untuk mengatakan sesuatu sebelum Rena.

"Aku mengancam akan merebut Rachel dari Lorne."

"Kau mengancam... apa?!" tanya Rena 'tak bisa mencatat hal benar di kepalanya.

"Aku mempergunakan Candara. Lorne setengah mati mencintai Candara," jelas Shane. "Walau itu dulu, tapi ia masih mencintai Candara. Aku tahu itu. Ketika Candara kembali, aku memiliki kesempatan untuk menjauhkan hati Lorne dari Rachel. Mereka semakin dekat. Aku tidak suka."

Keheningan menguasai ruangan itu. Shane tidak bisa membayangkan hal lain selain dimana Rachel sekarang. Apa ia sudah makan atau belum. Apakah ia baik-baik saja atau sedang dalam masalah. Apakah ia sedang tersenyum bahagia atau sedang menangis. Shane tidak tahu. Ia menderita sekali. Ia menginginkan Rachel kembali. Tapi wanita itu belum juga kembali hingga detik ini.

"Aku menjanjikan kepedihan paling menyakitkan bagi Lorne," lanjut Shane. "Aku cukup untuk menjadi bajingan, 'kan, Ma?"

"Shane mencintai Rachel," sahut Rena tiba-tiba. Matanya sudah 'tak fokus lagi. Perhatiannya teralihkan. Pikirannya teralihkan. Ada apa dengan anak perempuannya? "Lorne jauh lebih mencintai Rachel."

"Maksudnya?" tanya Shane bingung dengan pernyataan Rena. Ia mengangkat kepalanya agar dapat melihat kejelasan dari Karla dan Rena. "Jelas-jelas Lorne tidak pernah mencintai Rachel sedikit pun. Aku yang mencintainya. Dari dulu, hingga sekarang. Lorne tidak pernah."

"Lorne takut kehilangan Rachel," lirih Karla.

"Anak-anak kita sudah dewasa," sahut Rena.

Karla menanggapi dengan anggukan. Rena melanjutkan pemahamannya dengan kalimat yang sangat sulit untuk dipahami. "Waktu tidak bisa menyatukan mereka. Harus ada insiden yang membuat mereka akhirnya bersatu."

avataravatar
Next chapter