12 Bab 11

"Kau tidak istirahat?" sapa Grasia tepat setelah Rachel menutup pintu kamarnya.

Rachel merangkul Grasia dan membawa wanita itu untuk duduk di ruang keluarga. Renatta disana. Rachel menjauhkan tangannya dari Grasia setelah wanita itu merasa nyaman dengan posisi duduknya, lalu ia berjalan untuk mengambil posisi tepat disisi Renatta.

"Kukira kau sudah tidur," ujar Renatta.

Rachel melirik sekilas ke arah Grasia lalu kembali fokus pada Renatta. "Kukira kau akan menanyakan Lorne."

Senyum tipis membubung tepat disudut bibir Renatta. Ia tahu kemana arah lidahnya ingin terbang. "Lorne sudah tidur?"

Rachel terdiam. Ia 'tak berniat menjawab pertanyaan sepele wanita itu. Rachel kehilangan akal ketika mengulang beberapa kejadian di sore tadi. Banyak, mengumbar tanya dalam hati Rachel. Tentu ia tidak akan diam mendapati situasi 'tak enak ini.

"Kau 'tak banyak bicara padanya."

Rachel mampu melihat betapa statementnya merubah rasa tenang dalam diri Renatta. Namun wanita itu masih bisa menggantung senyum. Rachel tahu pertanyaan yang ia ajukan sangat mengusik wanita itu. Mata Renatta mendadak sayu, gelisah dan tidak begitu minat untuk membicarakan Lorne dengan Rachel.

"Sepertinya ia menghindariku," kata Renatta tiba-tiba.

Rachel bingung, namun ia tahu jika ia baik-baik saja dengan sikap bungkamnya. Ia membiarkan tatapan Renatta menghujat dirinya. Rachel terima, ia baik-baik saja. Renatta meminum kopinya dengan tatapan lurus ke depan. Rachel 'tak sopan baginya. Untuk apa ingin ikut campur dengan urusannya juga Lorne. Mengulik beberapa sikap Lorne yang mendadak jadi dingin.

"Ia memang menghindarimu," gumam Rachel. Rachel masih saja penasaran ada apa dengan Renatta. Apa yang membuat wanita ini harus menerima sikap pedih dari Lorne? "Kau ingin aku berbicara padanya?"

"Sikapnya dingin sekali," gumam Renatta. Ia terus melamun. Pusing dengan Lorne.

"Aku tahu."

Renatta memandangi Rachel sekarang. Ia tertarik dengan jawaban Rachel. Rachel berhasil menggoda telinganya. Tatapan Renatta sedikit jahil. Ia ingin mendengarkan jawaban lain dari Rachel, yang bisa membuat dirinya memiliki harapan lain akan hubungan dan situasi ini.

"Apa sikapnya padamu juga begitu?"

Kini Rachel yang tergoda. Ia menatap balik mata Renatta. Tatapan yang terkesan menantang, setengah penuh paksa agar ia menjawab. "Tidak," jujur Rachel.

Renatta mengernyitkan dahinya. Kecewa? Iya. Penasaran? Oh, Renatta lebih jauh lagi dari kata itu. Renatta mengatur posisi duduknya. Ia berusaha menghadap ke arah Rachel agar bisa menemukan titik bohong dari wanita itu.

"Kau benar-benar istri Lorne?"

Rachel pasti tersedak jika ia tengah memakan atau meminum sesuatu. Rachel memiringkan kepalanya. Ia tahu ia 'tak punya jawaban yang tepat atas pertanyaan itu. Lorne memintanya untuk berbohong, agar lelaki itu tidak tidur di sofa. Grasia akan tega menempatkan Lorne tidur di sofa ruang keluarga jika Lorne dan Rachel tidak memiliki status sebagai suami-istri. Lagipula ia juga tidak mengerti bagaimana cara menjelaskan hubungannya dengan keluarga Weinston. Rachel tahu satu kebohongan akan menciptakan kebohongan lain. Ia boleh saja tidak berbohong. Namun ia juga tidak menjelaskan kekeliruan ini. Grasia yang memulai sebuah kesimpulan.

"Sepertinya kau tidak menerima undangan kami," ujar Rachel penuh percaya diri. Renatta menangguk. Namun mulutnya ia kunci rapat-rapat. Tidak ingin berucap sesuatu. Ia menanti. Menanti Rachel mengucapkan kata yang memungkinkan hatinya mendapat celah. "Kau boleh percaya."

Rachel tersenyum dengan tulus. Ia menepuk punggung tangan Renatta dengan lembut. Rachel menyukai wanita cantik. Apalagi yang melebihi kecantikannya sendiri. Rachel menyukai Renatta. Renatta terlihat seperti wanita yang sangat baik. Mungkin keadaan, yang membuat Renatta terlihat tidak seramah yang seharusnya.

"Renatta..."

"Nata, please," sela Renatta.

"Aku 'tak suka Lorne bersikap sedingin itu padamu. Mungkin kau juga tidak suka. Boleh aku tahu ada apa diantara kalian?" tanya Rachel.

"Nope," desah Renatta keras-keras. "Hanya Tuhan dan Lorne yang tahu mengapa sikapnya menjadi sedingin itu. Mungkin aku harus berterima kasih kepadamu yang telah mensukseskan sikap Lorne."

Renatta menarik tangannya dari genggaman Rachel. Rachel 'tak tahu apa sebabnya, namun ia merasa 'tak masalah dengan sikap Renatta. Mata Rachel menangkap Grasia keluar dari dapur. Sejak kapan Grasia tidak bersama dengannya di ruang keluarga?

"Berapa usiamu, Nak?" tanya Grasia sambil melangkah menuju kamar Rachel dan Lorne.

"20," jawab Rachel dengan jujur.

Grasia sedikit terkejut. Ia urung ketika hendak membuka pintu kamar Lorne. Renatta juga terlihat terkejut. "Ada apa dengan Shane?"

"Maaf?" Rachel sedikit tidak mengerti kemana arah Shane akan dibawa dalam masalah usianya.

"Ada apa dengan Shane? Bukankan Shane sesuai denganmu? Usia yang tidak berjarak terlalu jauh. 3 tahun? Angka yang normal sepertinya," kata Renatta penasaran. "Dan kau... kau salah satu tipe Shane."

Rachel tersenyum kecil mendengar kalimat Renatta. Pintar, batin Rachel. Namun ia justru menggeleng dan sedikit puas akan jawaban yang akan ia ungkap. Ia memiliki kesempatan ini. Kesempatan dimana ada orang lain yang bisa memahami posisi Rachel selain Shane. "Cinta 'tak bisa kita kendalikan, bukan?"

"'Tak apa, lupakan Shane," ujar Grasia tiba-tiba. "Berapa kali kau makan hari ini?"

Rachel menunjukkan kedua jarinya sambil tersenyum manis. Grasia merasa miris melihat kebahagiaan Rachel yang tampaknya akan selalu begitu sampai kapanpun. Grasia menekuk wajahnya lalu mengambil posisi duduk dihadapan Rachel, ia ragu untuk menyampaikan hal paling memalukan yang sering terjadi di rumahnya ketika kedatangan tamu.

"Aku tidak menemukan sesuatu untuk kau makan."

Rachel tertawa renyah lalu berdiri dengan cepat. "Biar aku membuatkan Lorne sesuatu."

Rachel menghilang dari balik pintu dapur. Ia mencari-cari bahan yang mungkin bisa ia olah menjadi sesuatu yang mengenyangkan perut Lorne. 'Tak masalah dengan perutnya. Yang paling penting adalah Lorne. Pasti ia akan tersiksa dan tidur dengan tidak nyenyak jika perutnya kosong. Tepung terigu dan pisang. Sejauh ia mencari, hanya itu yang ia miliki. Rachel 'tak bisa memikirkan apa yang harus ia lakukan dengan kedua bahan tersebut. Ia hanya meninting pisang yang ia temukan beserta tepung terigunya lalu membawanya ke hadapan Grasia.

"Bi, boleh aku menggunakannya?" tanyanya ragu.

"Itu kesukaan bibi. Tidak, kau tidak bisa," ujar Renatta sinis.

"Pakai saja," kata Grasia lirih. Renatta mendelik mendengar jawaban itu. "Asal aku mendapatkan bagianku."

"Bi, kau selalu melarangku..."

"Rachel membutuhkan suaminya untuk makan. Biarkan saja," tegas Grasia.

Rachel melontarkan kata terima kasih lalu berjalan cepat ke dalam dapur. Ia membuat dua adonan. Satu untuk kulit, satunya untuk isian dari apa yang ia bisa pikirkan. Rachel menggumamkan beberapa lagu selagi mengisi kekosongan dalam ruangan itu. Sesekali pikirannya melayang pada sikap dingin Lorne kepada Renatta. Ia ingin tahu, walau pasti ada letak salah jika ia memaksa untuk membenarkan situasi ini. Setidaknya harus ada kejelasan. Mengingat siapa dirinya di mata Grasia.

**

Lorne mengetuk pintu dapur dengan varian kejahilannya. Rachel hanya memiringkan kepala tanda mengerti lelaki itu bosan. Kakaknya ini selalu membuat hatinya merasa dimainkan dengan sesuatu yang tidak benar-benar terjadi. Lorne hanya melakukan sesuatu yang dia inginkan, tanpa memandang itu benar atau salah. Ya, Rachel memang jatuh di dalamnya.

"Sedang apa kau?" Lorne memecah keheningan setelah cukup memandangi Rachel.

"Mengenyangkan perutmu," sahut Rachel dengan kebanggannya. "Tenang aku 'tak akan menghancurkan dapur bibi Grasia."

Lorne tersenyum sinis. "Aku 'tak mengkhawatirkannya."

"Aku berbicara dengan Renatta."

Lorne menegakkan badannya dan melangkahkan kakinya menuju Rachel. "Ada apa dengannya?"

"Ia 'tak sebaik yang kupikirkan," ujar Rachel mendramatisir suaranya sendiri.

"Benarkah?" tanya Lorne sambil mengaduk adonan yang ditinggalkan oleh Rachel. "Bagaimana sikapnya?"

"Tidak menyenangkan," gumam Rachel.

Lorne menghentikan aktivitas mengaduk adonan, menggantinya dengan mengambil beberapa brown banana yang telah diangkat Rachel dari atas penggorengan. Lorne mengamatinya sejenak lalu meletakkannya kembali. Rachel terlalu sibuk memperhatikan tingkah Lorne. Ia sama sekali tidak mengamati lelaki itu. "Jadi maksudmu, Nata bukan tipe wanita berhati baik."

Nada datar Lorne menyesakkan dada Rachel. Lorne tidak peduli pada bahasan yang sedang ia angkat. "Begitulah. Kau mengenalnya, bagaimana dia di matamu?"

"Kau sudah selesai dengan ini?" Lorne mengangkat wadah kosong yang tadinya digunakan untuk adonan isi dari camilan yang dipersiapkan Rachel.

Rachel mengangguk. Lorne dengan segera mencuci wadah yang ia pegang tadi. Rachel mengangkat brown banana terakhirnya, meniriskan minyak yang melekat lalu meletakkannya pada piring yang sama.

"Renatta Sheany," Lorne angkat bicara. "Nama yang cantik, bukan?"

Rachel mengamati tatapan Lorne. Tatapan yang sangat sulit untuk dimengerti. "Yap."

Lorne menuangkan minyak bekas yang digunakan Rachel ke dalam bank minyak Grasia. Lorne asal melakukannya. Ia mencuci penggorengan yang masih panas lalu menggantungkannya di tempat yang seharusnya, begitupun dengan peralatan yang digunakan Rachel lainnya.

"Aku bisa melakukannya, Lorne," bisik Rachel sambil memeluk Lorne dari belakang.

"Aku tahu, jadi sebaiknya kau urus tanganku yang terbakar karena mencuci penggorengan itu," keluh Lorne melihat tangannya memerah.

Rachel memegang kedua telapak tangan Lorne lalu mencium keduanya. Rachel tersenyum, membuat Lorne sangat tergoda pada Rachel. Kulitnya menegang, tubuhnya meronta untuk memojokkan Rachel. Tapi ia tahu itu 'tak benar. Lorne tersenyum membalas Rachel. Ia menutup jarak diantaranya dengan Rachel. Membuatnya dengan mudah mengecup kening adik kesayangannya itu. Ia terbuai dengan satu kecupan.

"Biasanya tidak pernah seperti ini," gumam Lorne tiba-tiba.

"Maksudnya?" tanya Rachel bingung mendengar gumaman Lorne.

Lorne menggeleng cepat-cepat lalu menunjukkan kedua telapak tangannya sekali lagi. "Apa?" tanya Rachel masih bingung.

"Obati."

Rachel memiringkan senyumnya, ia sangat bahagia melihat puppy face Lorne kali ini untuk dilihat olehnya. Rachel mengecup kedua telapak tangan itu sekali lagi, lalu menggenggamnya dengan erat. "Dua kecupan dariku cukup untuk mengobati tanganmu yang terbakar."

"Kau ini," keluh Lorne sambil memalingkan wajahnya. "Aku lapar."

Rachel mengambil satu brown banana lalu menyuapkannya pada Lorne. "Enak?"

"Aku sempat berpikir akan keracunan saat mencoba makanan buatanmu," goda Lorne.

Rachel membiarkan Lorne menggigit lagi, tanpa menunjukkan ekspresi tersinggung atas ucapan Lorne. Yang ia ketahui ialah, Lorne menikmati makanan buatannya. "Jika kau bisa menikmati selai jahe buatan Nona Sheany, mungkin kau bisa mulai untuk menghargai mahakaryaku."

Lorne menghabiskan satu brown banana dengan wajahnya yang masih belum dalam kadar kenyang. Lorne hendak mengambil satu lagi namun Rachel buru-buru meraih piringnya dan membawanya ke ruang keluarga. "Aku membuatnya 'tak hanya untukmu. Bibi Grasia juga akan menikmatinya."

"Bibi Grasia?" Lorne menghadang langkah Rachel dengan cepat. "Bibi tidak makan di malam seperti ini. Dia takut gemuk." Suara Lorne direndahkan.

"Oh, ayolah. Ini hanyalah makanan pengganjal lapar. Aku juga bisa menghabiskannya kalau bibi tidak mau."

Rachel kembali melangkah ke ruang keluarga. Renatta tampak dengan wajah murungnya. Bibi Grasia tampak sedang mendebat Renatta. Rachel berjalan dengan girang, meletakkan mahakaryanya lalu terduduk disisi Grasia. Lorne memilih untuk duduk disisi Renatta. Rachel bingung Lorne mendadak mau duduk disisi wanita itu.

"Jadi, bagaimana istirahatmu?" tanya Grasia kepada Lorne.

"Ah, sangat kesepian. Betapa aku sendiri, sedangkan Rachel asyik berbincang dengan kalian," keluh Lorne.

"Makanlah," ujar Rachel menengahi. 'Tak ingin pembicaraan itu semakin menjurus pada hal yang tidak-tidak. "Kau harus segera istirahat. Besok pagi-pagi sekali kita harus kembali ke London."

"Secepat itukah?" tanya Renatta.

Lorne mengangguk dengan tenang. "Menghilang terlalu lama dari mama bukan ide yang baik."

"Kau disini..."

"Hanya menumpang makan. Ya, dan tidur pastinya," sahut Lorne. Ia menambahkan senyum singkat. Renatta cukup dengan itu.

"Besok kita bisa jalan-jalan lebih dahulu jika kau mau. Rachel tentunya perlu untuk melihat Berlin di pagi hari," tawar Renatta.

Lorne menatap mata Renatta. Cukup lama sebelum akhirnya tersenyum. "Lain kali will be fine. Ada banyak hal yang harus kuselesaikan besok pagi."

"Kau ingin ikut bersama kami ke London?" tawar Rachel.

Lorne melotot mendengar tawaran Rachel. Rachel hanya tersenyum jahil. Beberapa kali Rachel menangkap sudut bibir Lorne mengatakan hal-hal 'tak jelas yang sepertinya mengarah pada penolakan atas ajakan tersebut. Gelengan Lorne juga terlihat sangat jelas. Grasia dan Rachel, keduanya bisa melihat semua itu. Hanya Renatta yang tidak mengetahuinya. Rachel melihat Renatta menghamburkan senyuman yang sangat manis. Tidak seperti senyuman-senyumannya yang sebelumnya.

"Shane akan menyambutku dengan senang hati," ujar Renatta.

"Lalu mengapa kau menolak?" Rachel menangkap maksud lain dari perkataan Renatta. Seolah wanita itu tidak sepenuhnya ingin menyetujui untuk ikut ke London.

"Aku 'tak mendengar nada senang dari suamimu," sindir Renatta. Ia melirik Lorne yang tengah asyik memakan brown banana Rachel.

"Bi, kau 'tak makan?" tanya Rachel sambil menawarkan piring. Grasia mengambil satu.

Lorne terkejut. Renatta juga begitu. Grasia tersenyum kepada Rachel dan Lorne pada saat yang bersamaan. Ia menikmati kelezatan yang mengalir pada lidahnya. "Ini enak sekali. Syukurlah Lorne mendapatkan dirimu."

Hening menyusul setelahnya. Rachel hanya menebarkan senyum guna menanggapi. Suasana 'tak menyenangkan berasal dari Renatta. Namun semuanya 'tak seberapa buruk. Lorne yang telah selesai dengan makanannya mencuci kedua tangannya, Rachel disana untuk melakukan hal yang sama. Lorne memercikkan air yang melekat pada tangannya, membuat basah wajah polos Rachel. Lorne beberapa kali memercikkan air itu dan hanya mendapatkan balasan gerutu dari Rachel. Itu cukup untuk membuat Lorne tertawa dengan nyaring. Rachel sama bahagianya ketika berhasil membalas untuk membuat wajah Lorne sama basahnya dengan dirinya.

Renatta. Ya, Renatta yang terlupakan. Ia menatap kebahagiaan itu. Ketulusan. Cinta Lorne 'tak pernah ia beri kesempatan dan sekarang ketika ia hadir untuk menyesal, segalanya telah berubah.

"Kau bisa ikut kami ke London," ulang Rachel.

Renatta menangkap basah kedua tangan Lorne berada di pundak Rachel. Menciptakan gerakan seolah mendorong tubuh itu dengan paksa. Padahal tidak demikian. Renatta membuang tatapannya. Ia tidak merespon. Ia juga tidak berniat menerima kebaikan hati Rachel, yang justru akan membuat hatinya makin panas dan merasa berantakan.

"Sepertinya wanita keras kepala itu tidak menyukai tawaranmu," bisik Lorne dengan nada yang bisa didengarkan oleh semua orang.

"Benarkah? Ada apa memangnya," goda Rachel.

"Hei, Renatta," panggil Lorne mendadak. Renatta terkejut namanya disebut dengan semerdu itu. Ia mendongak tanpa paksaan, hanya keterkejutan yang menjadi salah satu pendorong. "Bukankah kau sudah lama merindukan Shane? Mengapa tidak bergabung dengan kami untuk menemui Shane?"

Renatta bingung akan perkataan Lorne barusan. Lorne seolah mengabaikan apa yang pernah terjadi 7 tahun lalu. Ia mengaduh dalam hatinya. Menggerutu kesal. Mengumpat sebaik mungkin. Memaki Lorne tanpa ampun. Ia tahu, 7 tahun waktu yang lama. Untuk memperbaikinya? Ia rasa 'tak akan semudah itu.

"Tapi," lanjut Lorne. Renatta kembali memerhatikan rahang Lorne yang mulai menabur senyum. "kupastikan kau akan bosan melihatku bersama dengan Rachel disepanjang perjalanan."

avataravatar
Next chapter