6 Enam

Daneil terkejut saat baru saja membuka ruang kerjanya. Ia sudah disuguhi pemandangan seorang wanita yang duduk bersandar di sofa ruangannya. Wanita itu adalah Alexa, mungkin dapat dibilang wanita penghiburnya.

Melihat Daneil, Alexa tentu langaung bangkit berdiri menghampiri lelaki itu. Ia langsung memeluk tubuh tegap milik Daneil. "Kenapa kemarin tidak datang? Kamu tahukan aku sangat merindukanmu?" Ujarnya mengelus dada bidang Daneil.

Daneil hanya diam, tak menolak sama sekali. Bahkan saat tubuhnya digiring menuju sofapun Ia hanya menurut. Walaupun Ia tahu apa yang akan terjadi setelah ini.

"Apa Istrimu membuatmu lupa padaku?" tanya Alexa pelan tepat di telinga Daneil.

Daneil mendesis, saat sapuan lidah terasa di telinganya. Menggeram rendah Ia langsung menarik lengan Alexa untuk duduk dipangkuannya. Langsung saja Ia lumat habis bibir merah milik wanita itu.

Setelahnya yang terjadi adalah suhu ruangan yang mendadak menjadi panas. Pakaian yang berserakan di lantai dan juga suara desahan yang bersahut-sahutan.

Disela-sela cumbuan Daneil, Alexa tersenyum miring. Sedari awal Daneil miliknya, dan akan terus menjadi miliknya. Tak peduli jika lelaki itu kini sudah beristri karena Alexa yakin pernikahan itu tak akan bertahan lama. Alexa terlalu mengenal Daneil, luar maupun dalam. Apa yang laki-laki itu suka dan tak suka. Dan Daneil tak suka berkomitmen, lelaki itu tak menyukai pernikahan.

🌹🌹🌹

"Terima kasih ya Pak," ujar Amara setelah menandatangani bukti terima.

"Iya Bu, sama-sama. Kalau ada apa-apa bisa hubungi nomor kami," ujar Lelaki paru baya yang mengantarkan bunga-bunga pesanan Amara.

"Iya," Amara mengangguk. Gadis itu menatap kepergian bapak-bapak si pengirim bunganya.

Setelah tak terlihat, Amara memandang tersenyum pada jejeran bunga yang kemarin Ia pesan untuk melengkapi taman bunga yang Ia buat di halaman rumah. Tak hanya bunga Matahari, Amara turut memesan bunga lainnya yang kemarin sempat Ia lihat dari Instagram. Dan ternyata perkiraanya benar, bunga-bunga itu sangat indah. Pasti akan sangat menyegarkan mata jika sudah ditata.

"Wah, bunganya banyak sekali Non." ujar seorang pria dengan baju security. Ia adalah Mang Tejo--- satpam di rumahnya.

Amara tersenyum, kemudian mengambil pot berisi bunga matahari. "Iya Mang, menurut Mang. Cocoknya ditanam di sebelah mana ya?" Amara memindai halaman hijau yang masih terlihat kosong dibeberapa tempat itu.

Mang Tejo ikut memindai, alis lelaki berusia kisaran empat puluh tahun itu menukik mencari lokasi yang pas. "Ah, sini aja Non! Pasdeh kayaknya buat bunga matahari. Apalagi kalau kena sinar matahari, pasti berkilau Non."

Amara tersenyum, gadis itu kemudian mengangguk pertanda setuju. "Iya Mang,"

Mang Tejo ikut tersenyum melihat hal itu. "Bentar Non, biar saya galikan Non." Lelaki itu kemudian mulai membungkuk, menggali tanah.

Amara mengangguk, gadis itu kemudian membawa tiga pot kecil sekaligus berisi bunga matahari. Ia berikan pot itu saat Mang Tejo memintanya untuk ditanam. Tentu saja Amara ikut membantu, dengan menyiram setelahnya.

"Tejo, kamu kenapa malah di sini? Yang nunggu gerbang terus siapa?" Tanya Bik Asih kepada Mang Tejo, wanita paru baya itu muncul dari pintu utama dengan membawa nampan berisi minuman dan cemilan untuk Nyonyanya.

Mang Tejo menoleh, maka terlihatlah keringat di dahi dan pelipisnya. Ternyata sedikit banyak, menanam itu cukup menguras tenaga. "Huh ... ada Bambang Bik," ujarnya dengan nafas menderu.

"Udah Mang, minum dulu. Biar saya yang lanjutin," ujar Amara tak tega melihat wajah satpamnya yang sudah bersimbah keringat.

"Nggak non, biar saya aja." balas Mang Tejo tak enak jika sampai Nyonyanya harus menggali tanah untuk menanam bunga. Lagian apa kata tuannya nanti?

"Udah Mang, muka udah sampe merah kaya gitu masih aja. Sini, kemarin juga saya tanam sendiri." ujar Amara mengambil cetok dari tangan lelaki itu.

"Bik, tolong minum buat Mang Tejo dong." Pinta Amara pada pembantunya yang masih terdiam di teras rumah.

Bik Asih buru-buru mengangguk, kemudian berlalu ke dalam rumah untuk menyiapkan minuman. Tak berselang lama wanita lanjuu itu kembali dengan tangan memegang segelas air sirup dingin. Yang langsung saja Ia berikan pada Mang Tejo.

Tiba-tiba sebuah mobil mewah berwarna hitam memasuki halaman rumah. Membuat tiga orang disana memusatkan perhatian mereka pada monil itu. Tak butuh waktu lama untuk ketiga orang itu mengetahui mobil milik siapa itu.

"Hello sayang," seorang wanita paru baya keluar dari sana, tersenyum manis ke arah Amara dengan tangan merentang. Setelahnya disusul seorang lelaki paru baya yang muncul.

"Momy," gumam Amara mengernyit, sebelum kemudian buru-buru meletakan cetok ke tanah lalu mencuci tangannya pada keran di depan rumah.

"Momy kenapa nggak bilang mau kesini?" tanya Amara setelah mendapatkan ciuman pada kedua pipinya dari Cintya Brown-- Ibu dari Daneil.

Tom merangkul pundak istrinya, setelah Amara mencium punggung tangannya. Lelaki itu tersenyum melihat menantu pilihan istrinya. Anak dari almarhum sahabatnya.

"Maaf menantu, Momy tidak sempat tadi."

Oh yang benar saja? Batin Amara tak percaya, pasalnya seingatnya Ibu mertuanya itu berteman sangat baik dengan ponsel. Tak berani mengucapkannya, Amara hanya mengangguk kecil percaya.

Amara ikut menoleh saat menyadari kini pandangan Mama dan Papa mertuanya tertuju di balik punggungnya. Di mana, di sana Bik Asih dan Mang Tejo berdiri. "Ada apa Mom?" Tanya Amara akhirnya.

"Sedang apa kamu?" tanya Cintya pada menantunya, Ia menatap mengernyit.

"Em ... itu Mom, Aku sedang menanam bunga. Dibantu Bik Asih dan Mang Tejo," jelas Amara.

"Saya permisi kembali ke depan Non," ujar Mang Tejo membungkuk hormat. Setelah mendapat anggukan kepala dari Amara, lelaki itu berlari menuju dimana pos satpam berada.

"Saya juga Non, mau menyiapkan minum untuk Tuan dan Nyonya besar." Kini Bik Asih yang menunduk sedikit, meminta ijin yang langsung diangguki oleh Amara.

Cintya kemudian menatap pada taman yang berada di depan rumah. Terlihat sangat menyegarkan mata. "Wah, tamannya indah sekali." Wanita paru baya itu berdecak dan mulai berjalan mendekati taman itu.

"Padahal Momy ingat saat terakhir kali ke sini. Di sini cuman ada air mancur doang, tapi sekarang jadi kelihatan asri ya?" Lanjut Cintya menoleh pada Amara.

Tom hanya menggeleng pelan melihat tingkah istrinya. Lelaki itu kemudian menatap menantunya, "di mana Daneil Amara?" Tanyanya saat tak menjumpai putranya.

Amara menoleh, Ia tahu apa yang saat ini Ayah mertuanya pikirkan. Dimana seharusnya semingguan penuh setelah pernikahan Mereka selalu bersama. "Daneil kerja Dad," Ia tak bisa menutupinya, karena memang itu adanya.

Cintya menoleh terkejut pada menantunya. Ia langsung menghampiri dimana menantunya. "Daneil kerja? Anak itu bener-benar, bahkan ini masih hari kedua. Seharusnya dia masih cuti dan menemanimu!" Geram Cintya. "Akan aku habisi Dia," lanjutnya penuh ancaman.

Lagi-lagi Tom menggeleng, bukan hanya untuk Istrinya, tapi juga untuk anaknya. "Kamu tenang dulu My," ujarnya tak menyukai sikap istrinya yang pemarah.

"Gimana Momy bisa tenang! Anak gila kerja itu udah keterlaluan Dad, gimana bisa dihari kedua pernikahan dia sudah pergi bekerja?"

"Mungkin ada masalah penting My,"

"Masalah apa yang jauh lebih penting dari Istrinya?"

Amara yang melihat itu tentu merasa tak enak. Jadi gadis itu mulai menengahi, "iya Mom, Daneil tadi sudah berpamitan denganku jika ada rapat penting yang tidak bisa ditunda." Ia hanya tak mau jika kerusakan rumah tangganya yang baru seumur jagung ini diketahui Mertuanya.

Cintya tentu tak lantas percaya, wanita itu memandang menilai ekspresi wajah Amara. Tapi karena Amara yang memang pandai memainkan ekspresinya, Cintya mengangguk percaya. "Baiklah," wanita itu menghembuskan nafasnya pasrah. "Tapi tetap akan aku marahi anak itu saat pulang!" Lanjunya cepat membuat Amara dan Tom terkejut.

avataravatar
Next chapter