18 delapan belas

"Kamu ini sebenarnya kenapa?" Tanya Siska mulai geram pada sikap David yang terlihat tak berminat memakan makan malamnya. Laki-laki itu hanya mengaduk-aduk makanan di piringnya, tak minat.

Saat ini Amara, David, Siska dan Banu sedang berada di meja makan menikmati makan malam yang sudah tertata rapi di atas meja. Hasil masakan dari Amara dan Siska. Seperti kesepakatan bersama sebelumnya, sayur asem dan ayam tepung goreng terlihat nikmat di atas sana.

David mendongak. "Aku tidak apa-apa Bibi," sahut nya dengan bibir menipis, gagal untuk tersenyum.

"Tidak apa-apa bagaimana sedari tadi Bibi lihat kamu ini terus-terusan terlihat murung." Tolak Siska mendengar jawaban dari David. Tentu saja Ia menyangkal, karena lelaki itu sudah sedari tadi hanya diam.

David menghela nafas. "Aku ingin kembali ke rumah Paman, Bibi." Ujarnya kemudian.

Mendengar itu tak hanya Siska, Banupun ikut langsung menatap David. Kening keduanya mengernyit, bingung. Menurut mereka ucapan David terasa aneh. seingat mereka keponakan laki-laki mereka itulah yang paling semangat tinggal di rumah Amara.

Sedangkan Amara memandang adiknya itu dengan pandangan dalam bercampur sedih.

"Kenapa? Bukannya kamu senang tinggal di rumah kakakmu ini," Banu bersuara sangking bingung dengan perubahan pada keponakannya.

"Aku harus sekolah Paman,"

"Bukannya masih ada dua hari lagi ya?" Tanya Siska gantian. Seingatnya, pengajuan cuti untuk David masih dua hari lagi.

David terdiam untuk beberapa saat. "aku hanya tidak ingin ketinggalan banyak pelajaran, Bibi. Jadi, bisakah kita pulang besok atau kalau bisa malam ini juga." Balas David mencari alasan untuk pertanyaan Siska.

Siska dan Banu saling pandang merasa semakin aneh dengan ucapan David. Keponakannya itu seperti ingin cepat-cepat pergi dari sini. Seolah sudah tidak dapat lagi menunggu hingga esok tiba. Ada apa sebenarnya dengan keponakannya itu?

"Kita akan pulang, tapi tidak sekarang mungkin besok." Ucap Siska akhirnya. Ia tak tega juga melihat wajah permohonan keponakan laki-lakinya itu.

"Sekarang makanlah dulu," lanjut Siska berucap.

David mengangguk mendengar itu. Lelaki muda itu kemudian kembali menatap makanannya yang belum ia sentuh. Hanya Ia aduk-aduk tak minat.

Amara memandang pilu adiknya. adiknya itu pasti merasa tak nyaman setelah mengetahui semuanya. Ia menunduk meresapi rasa sesak yang tiba-tiba menyergap dada nya. Ia tersenyum getir, merasa kasihan dengan dirinya sendiri karena dikasihani oleh adiknya.

"Amara,"

Amara langsung mendongak, saat namanya dipanggil oleh Pamannya. Matanya memancarkan pertanyaan 'ya, Paman?'.

"Apa Daneil lembur lagi?" Tanya Banu menyuap nasi ke dalam mulutnya, tapi dengan pandangan lurus pada gadis itu.

"Sepertinya," sahut Amara pelan, melirik pada adiknya David. Di sini hanya David lah yang mengetahui kebenarannya.

Banu mengangguk-angguk. "Sayang sekali dia tidak bisa makan bersama kita," ujarnya terdengar kecewa.

Amara hanya tersenyum tipis. "Biar aku nanti bicara dengan Daneil, agar kapan-kapan kita bisa makan bersama."

"Wah bagus itu, iya beritahu Daneil." ucap Banu terdengar antusias.

"Iya Amara, Bibi juga setuju." Siska ikut angkat bicara, tak kalah antusias.

Hanya David yang diam, tak terlihat berminat untuk ikut menimpali. Lelaki itu malah dengan sengaja membuat bunyi nyaring dengan suara sendok dan garpu yang beradu dengan piring makannya. Kentara sekali jika dia tak suka dengan pembahasan tiga orang di hadapannya.

"Hei, bisa pecah itu piring!" Siska berujar galak menunjuk piring yang digunakan oleh David makan.

David mendongak menatap Bibinya, kemudian langsung meletakkan sendok dan garpunya. Lalu lelaki itu bangkit berdiri. "Aku sudah selesai," ujarnya berlalu meninggalkan meja makan.

Siska terdiam. "Sebenarnya ada apa dengan bocah itu? Mendadak sikapnya aneh sekali," gumamnya, dengan mata mengikuti langkah keponakannya pergi.

"Entahlah sayang, aku juga tidak tahu." Balas Banu, sama bingungnya.

"Ah, mungkin dia memang sedang lelah."

"Kenapa kamu hanya diam saja Amara?"

"Ya?!" Tanpa sadar Amara memekik terkejut.

" Melamun kamu?"

Mendengar pertanyaan itu Amara meringis malu.

"Sebenarnya ini kalian kenapa? Menurut Bibi tak hanya adik kamu yang berubah aneh, tapi kamu juga Amara," ujar Siska gemas.

"Ak--ku tidak apa-apa Bibi," jawabnya gugup. Ia takut jika Bibiknya itu tahu tentang kebohongan nya.

"Yang benar?" Tanya Siska tak yakin, memandang curiga Amara.

Menelan ludah. Amara menjawab, "Benar Bibi,"

"Bibi harap tidak ada yang kalian rahasiakan,"

"Kamu ini curiga sekali dengan keponakan sendiri," ujar Banu, menengahi.

"Aku inikan peduli dengan mereka," cebik Siska, membalas ucapan suaminya.

"Iya aku tahu, tapi jangan terlalu penasaran seperti itu. Mereka tetap memiliki privasi sendiri sayang," jelas Banu.

"Privasi apa dengan Bibi sendiri? Mereka harus tetap terbuka denganku, aku ini Bibi mereka," Siska masih tak mau kalah.

Banu menggeleng pelan, merasa ajaib dengan jawaban istrinya.

"Iya, terserah kamu saja kalau begitu."

"Tapi aku memang tidak menyembunyikan apa-apa Bibi," Amara berujar.

Siska langsung mengalihkan pandangannya pada Amara. Ia mengangguk pelan percaya. "Bagus kalau begitu,"

"Sudah, lanjutkan makanmu habis itu temui David dan hibur bocah itu." Siska menatap suaminya.

"Hem, bocah itu sungguh menyusahkan."

Siska tak menyahuti gerutuan suaminya. Ia lebih memilih melanjutkan makanya. Mulai lelah terus-menerus berdebat.

Amara sendiri, hanya mampu diam dan melanjutkan makannya. Ia merasa jika makanan yang saat ini dirinya makan beubah menjadi hambar. Membuatnya menahan diri untuk tak memuntahkannya keluar.

***

Amara memandang dari kejauhan adiknya yang saat ini duduk di kursi taman. Terlihat adiknya sesekali menendang batu di sekitarnya dan mendongak putus asa. Sangat terlihat kacau.

Amara mulai berpikir, apakah sebegitu menyedihkanya dirinya. Mengingat kegalauan David saat ini adalah tentang pernikahan yang saat ini Ia jalani. Dimana lelaki itu tak terima dengan nasibnya.

Menarik nafas, Amara mulai melangkah mendekati di mana adiknya berada. Di tangannya, Ia membawa segelas coklat hangat yang sengaja Ia buatkan untuk David. Berharap setelah adiknya meminum coklat buatannya, perasaannya menjadi lebih baik.

"Kenapa gak masuk?" Tanya Amara mengambil duduk di samping adiknya.

David lah ya menoleh sekilas, sebelum kemudian kembali menatap ke depan. Ia tak menjawab pertanyaan dari kakaknya. Memilih berpura-pura tak mendengar.

"Ini minum," Amara mengangsurkan segelas coklat yang sedari tadi ia bawa.

David tak menggubris, tak menerima coklat panas pemberian kakaknya. Membuat Amara menarik tangannya kembali, dengan senyum kecut. Saat mengetahui jika adiknya masih kecewa kepadanya.

"Kamu nggak mau ya? Ya sudah biar kakak sendiri yang meminumnya nanti," ucapnya kemudian meletakkan gelas berisi coklat panas itu di bawah.

Hening.

Amara memang sengaja diam saja untuk beberapa saat. Membiarkan mereka berdua sama-sama merasakan dinginnya angin malam. dimana itu tak mengusik mereka sama sekali untuk beranjak dari sana.

"Kamu marah dengan kakak?" Tanya Amara memandang ke depan, tak menoleh pada David.

David masih setia bukam.

"Kamu benar-benar marah ternyata dengan kakak," Amara mengucapkannya dengan kekehan yang terdengar pilu.

"Maaf ya, sudah membuat kamu marah." Amara tak peduli jika hanya dia yang berbicara dan tak mendapatkan sahutan.

"Ini bukan salah kakak," ujar David dengan wajah mengeras, tak terima jika Kakaknya yang meminta maaf. Padahal ini bukanlah kesalahan darinya.

Amara diam.

"Ini salahku, andai--"

Amara langsung menggenggam tangan adiknya. Mengusap-usapnya dengan telapak tangannya agar David bisa merasa lebih hangat.

"Ini bukan salah siapa-siapa," potong Amara cepat.

David hanya diam dan menunduk dalam. Satu tangannya yang tidak di genggam oleh kakaknya mengepal kuat. Mati-matian lelaki itu menahan diri agar tidak lepas kontrol dan berteriak marah. Kakaknya yang lembut bagaimana bisa bernasib seperti ini?

Menghembuskan nafas kasar, David balas mengusap telapak tangan kakaknya. "Di mana Paman dan Bibi, Kak?" Tanyanya kemudian.

"Mereka sudah tidur,"

"Memangnya pukul berapa sekarang, Kak?"

Amara terlihat menolah-noleh, seperti ingin mencari tahu dan berharap menemukan jam. Tapi, mana ada jam di luar. Kemudian Ia memeilih kembali menatap Adiknya.

"Sepertinya tadi, sebelum Kakak keluar pukul setengah sebelas mungkin kalau sekarang sudah pukul sebelas." jawab Amara.

David mengangguk mendengar itu. "Apa dia memang selalu pulang malam atau malah tak pulang sekalian?" Tanyanya lirih.

Amara sempat mengernyit, tak paham maksud dari dia. Sebelum kemudian Ia mulai paham jika saat ini Adiknya itu tengah membicarakan tentang Daneil. Huh! Harusnya Amara sudah tahu itu.

"Dia pulang, tapi memang selalu larut malam." beritahunya.

"Kakak serius?" Tanya David kembali tak yakin.

"Tapi kadang juga tak pulang," Amara mengucapkannya dengan ragu dan wajah yang Ia tolehkan.

Mendengar itu, David menarik sinis sudut bibirnya. "Mungkin malam ini dia tak--"

Belum selesai kalimat David sebuah mobil terlihat memasuki halaman rumah, sebelum kemudian masuk ke dalam bagasi. Setelah sebelumnya seorang satpam mengikuti untuk membukakan pintu bagasi, mengingat Bik Asih yang masih belum kembali. Setelahnya, Daneil terlihat keluar dari dalam bagasi dengan menenteng tas kerjanya.

Amara yang melihat itu langsung bangkit, menghampiri suaminya. Ia dengan segera mengambil tas kerja yang ditenteng oleh Daneil. Di mana terlihat Daneil yang tak begitu menggubris istrinya setelah tasnya diambil wanita itu, karena Ia tak memasang senyum barang sedikitpun.

Kejadian itu tentu tak luput dari perhatian Laki-laki yang juga sudah bangkit berdiri. Hanya saja Ia menunggu di dekat pintu masuk utama. Ia tersenyum sinis melihat betapa sempurnanya Kakaknya dan betapa tak tahu dirinya suaminya.

"Kamu masih bangun?" Tanya Daneil saat mengetahui sosok David berdiri di dekat pintu masuk rumahnya.

David tersenyum, senyum yang sangat Ia paksakan. "Iya, belum bisa tidur."

Daneil mengangguk. "Kalau begitu Aku permisi, Aku harus mandi." ujarnya bermaksud sedikit berkelakar. Tapi tak ada tanggapan dari lawan bicaranya selain anggukan kepala.

"Oke, Aku permisi." Daneil melewati David, tapi belum sempat masuk. Suara panggilan dari Adik Iparnya itu menghentikannya.

"Kakak Ipar,"

Daneil kembali membalikkan tubuhnya. "Ya?" Tanyanya dengan alis berkerut tak suka, kentara sekali merasa terganggu dengan panggilan David.

"Boleh setelah Kakak mandi kita bicara?" Tanya David menatap dalam Daneil, kemudian melirik Kakaknya yang menahan nafas.

Daneil terdiam. Sebelum kemudian, Ia kembali memandang David. "Berbicara apa?" Tanyanya kemudian.

David tersenyum. "Aku hanya ingin lebih dekat denganmu Kakak Ipar, bolehkan?"

Amara memandang cemas pada Daneil. Ia takut jika sampai laki-laki itu marah mendengar permintaan dari Adiknya.

"Baiklah, tunggu saja di gazebo. Nanti aku akan menusulmu di sana," ujarnya kemudian benar -benar berlalu.

Amara tetap di tempatnya untuk beberapa saat. Ia memandang dalam adiknya, yang saat ini juga memandangnya. Sebelum kemudian wanita itu melangkah mengikuti langkah Daneil.

David masih setia diam di tempatnya, tanpa ekspresi. Ia memandang punggung Kakaknya yang berjalan mengikuti langkah kaki suaminya.

Nb. Mau kalian ke depannya gimana nih??

Daneil dan Amara bersatu

Atau

Kita buat Amara dengan orang lain

avataravatar
Next chapter