1 [01] Penunggu Puncak Larangan

"Dahulu sekali, ketika desa kita belum sebegini ramai, masih banyak hutan-hutan yang terlarang untuk dimasuki oleh manusia, masih pula ada telaga yang airnya tidak boleh diminum dengan sembarangan. Dan ... satu tempat yang masih bertahan hingga kini, tidak tergerus oleh hiruk pikuk manusia, adalah Puncak Gunung Utara dan penunggunya yang tidak boleh pernah dijamah manusia."

Anung, remaja berusia lima belas tahun itu memanggul sekarung ubi kayu di pundaknya. Nafasnya sedikit terengah-engah, dan langkahnya juga tidak sekuat pria paruh baya yang berjalan sudah tiga langkah jauhnya di depan.

Orang-orang yang berjumlah tiga orang duduk di pondok untuk beristirahat sekaligus makan segera menoleh ke arahnya, perhatian mereka teralihkan dengan tubuh kurus serta dengan beban berat yang dipanggulnya. Cukup memelas.

Salah seorang dari mereka melambai ke arahnya, memintanya untuk berhenti sejenak, "Anung, duduklah sebentar, minum-minum teh barang satu seruputan bersama kami."

Anung meletakan karungnya di tanah, tertawa kecil dan menghampiri mereka.

"Paman-paman di sini sedang santai rupanya, eh, ada ubi bakar juga?" Dia duduk di sebelah pria yang rambutnya telah beruban, menyomot satu ubi bakar, dan menuang teh untuk dirinya sendiri. Lantas juga berbicara, "apa yang sedang kalian obrolkan tadi, paman? Sepertinya ramai tadi kudengarkan sejak dari jauh."

Pria yang duduk di sebelahnya menepuk bahunya, "kami bercerita soal mitos di Puncak Gunung Utara yang tidak boleh dijamah manusia itu."

"Eh, tidak biasanya kalian membahas soal mitos, apakah terjadi sesuatu?"

Pria yang duduk di seberangnya mengunyah ubi bakar sebelum kemudian meledeknya, "kami ini sudah tua, selain menggarap tanah ini, masih banyak waktu luang, biasanya kami berkumpul dan mencari kabar-kabar paling hangat yang terjadi di desa ini, atau bahkan desas-desus dari kota. Hehe."

"Paman benar-benar memiliki banyak waktu luang," ujar Anung sambil tertawa.

"Tentu saja, tidak sepertimu yang setiap kali kami tengok pasti sedang mengerjakan sesuatu. Tidak ada hentinya." Sahut pria yang lain, kemudian menambahkan, "ayah kau itu, bangga dia punya anak sepertimu."

"Ah, paman bisa saja." Ia berusaha mengelak, lantas mengangkat topik yang sebelumnya hampir terlupakan, "jadi mengapa paman sekalian tiba-tiba berminat dengan kisah Puncak Gunung Utara, demikian juga dengan penunggunya, adakah terjadi sesuatu?"

Pria di sampingnya menyenggol tangannya, "kau sudah pernah mendengar ceritanya bukan? Siluman harimau yang santer di kabarkan menunggu Puncak Gunung Utara, sepertinya kali ini memutuskan untuk keluar dari sarangnya. Orang-orang takut bukan kepalang."

"Aku belum mendengar perihal itu," Anung menyeruput tehnya lagi. "Mengapa dikatakan siluman itu turun gunung? Bukannya sejak dahulu, manusia tidak diperbolehkan mendaki ke Puncak Gunung Utara karena tidak ingin mengusik sosoknya, semua orang juga mengetahuinya sehingga itu hampir dikenal juga dengan Kisah Puncak Larangan."

Sekali lagi, pria di sebelahnya menepuk lengannya, dan beringsut untuk berbisik, "barangkali ada orang yang mau mencari ilmu hitam, menyembah penunggu Puncak Larangan. Bukan tidak mungkin itu mengusiknya, bukan?"

Sekarang ini Anung yang merasa keheranan, "apa hubungannya dengan ilmu hitam?"

Pukulan ringan mendarat di belakang kepalanya.

"Kau ini, masih muda tapi sudah pikun saja. Tidak ingatkah dengan asal muasal lahirnya sebutan Puncak Larangan? Dahulu, terlalu banyak penganut ilmu hitam, entah ingin cepat kaya, entah ingin membalas dendam, entah hanya ingin menjadi yang paling sakti, manakala ilmu hitam itu memakan usia mereka, maka berakhirlah mereka di Puncak Larangan, menghabiskan sisa hari menunggu kiamat dengan tubuh dari makhluk-makhluk yang mereka kuasai ilmunya."

Di seberangnya, pria yang sebelumnya masih memakan ubi bakar itu gantian berbicara, "kemarin, Ki Jayang, tetua desa yang punya ilmu batin yang sangat sakti itu jatuh sakit, katanya dia melihat penunggu Puncak Larangan telah turun dari Gunung Utara. Itu memang seekor harimau seperti yang diceritakan orang-orang."

Anung tidak bisa menahan diri untuk menegaskan, "mungkin saja itu harimau biasa, bukan? Kita tinggal di dekat gunung, hutan yang demikian luas, mustahil kalau tak ada harimau, atau hewan buas lainnya."

Pukulan kedua mendarat di belakang kepalanya.

"Bocah zaman sekarang, susah memang di ajak membicarakan makhluk yang tak kasat mata, katanya tidak percaya hanya karena tidak bisa dilihat oleh mata. Kau tahu tidak, Nung? Kalau yang melihat harimau itu cuman kami, tidak ada yang akan percaya, tapi ini Ki Jayang yang merupakan tetua desa, bagaimana mungkin beliau berbohong?"

Anung tersenyum kecut, "hehe, aku hanya mencoba memperjelas, paman. Apakah diceritakan seperti apa penampilan harimau itu?"

Kulit ubi bakar terlempar mengenai dahinya, "mengapa? Kau juga ingin mencarinya nanti? Untuk membuktikan apakah siluman harimau itu ada?"

Anung tertawa lepas kali ini.

Kemudian, dia berkata, "hanya ingin tahu, Paman. Siapa tahu aku tidak sengaja berpapasan dengannya, jadi aku bisa berlari secepat mungkin setelah itu."

"Percuma kau berlari." Sahut orang di sampingnya.

Anung menatapnya, "mengapa begitu, paman? Apakah kau meremehkan kecepatanku dalam berlari?"

"Bukan begitu, hanya saja, kisahnya menyebutkan bahwa siapapun yang bertemu dengan siluman harimau maka dia akan mendapatkan kesialan."

"Jadi Ki Jayang juga akan mendapatkan kesialan?" Anung menegaskan.

"Lihat saja, saat ini Ki Jayang sedang sakit keras. Terus mengiggau bahwa ada harimau besar di rumahnya. Bahkan orang-orang menolak untuk keluar di malam hari sekarang." Ujar pria di seberang.

Tiba-tiba Anung mengingat satu hal, "malam ini, aku sebenarnya mendapat tugas jaga malam. Apakah ini yang disebut dengan kesialan? Seharusnya aku tidak mendengarkan kisah ini, waaah, paman. Apa yang harus kulakukan?"

Semua orang menatapnya, sebelum kemudian mereka menertawakan tingkah konyolnya.

Pria di sebelahnya menepuk bahunya, "tidak perlu khawatir, aku sendiri ragu siluman itu akan mau menemui dirimu. Ahaha."

Anung tertawa kecil, berpura-pura merapikan rambutnya, "tetapi, aku sangat tampan, paman. Bagaimana jika siluman itu terpikat padaku?"

Plak, plak, plak.

Ketiganya bergantian menampar dahinya dengan tawa yang membahana. Yang mana, orang-orang lewat sekalipun menoleh dengan rasa ingin tahu.

"Hush, bocah ingusan ini, sembarangan saja kalau berbicara. Benahi dulu celanamu, sudah berpikir untuk memikat orang saja, eh, bahkan yang ini siluman. Bocah konyol."

Anung juga ikut tertawa, dia sendiri tidak benar-benar berpikir untuk memikat seseorang, apalagi siluman. Terlalu banyak pekerjaan yang harus ia selesaikan, tidak ada waktu untuk memikirkan pendamping hidup.

Tetapi, pria yang kepalanya telah beruban itu sepertinya tahu isi hatinya, ketika pihak lain berkata, "Anung, kau ini sudah lima belas tahun, bukan? Setidaknya cobalah mencari calon istri, nanti saat kau dewasa di usia tujuh belas, kau bisa menikah segera. Kalau tidak, minta ibumu menyeleksi mana yang paling baik untukmu."

Mendengarkan hal itu, Anung buru-buru menelan potongan terakhir ubi bakar, dan menghabiskan cangkirnya sebelumnya merapikan wajahnya dan tersenyum kepada ketiganya.

"Baiklah, paman. Aku juga harus melanjutkan pekerjaan untuk mengantarkan sekarung ubi ini ke rumah Ki Jayang. Terimakasih untuk Ubi bakar dan tehnya."

Ketiganya melambai dengan santai, "pergi, pergi. Sudah lama kau terhenti di sini, jangan biarkan pekerjaanmu tertunda lebih lama lagi."

[To Be Continued]

avataravatar
Next chapter