32 Ujian dari Maylon

24 September 1274 AG 01:45 Pm

Kota Tigris - Markas Militer.

—————

Tidak jauh dari kerumunan para petualang itu, berdiri sebuah tenda untuk orang-orang penting. Mereka adalah petinggi militer, cendekiawan, serta petinggi dari guild petualang. Karena adanya materi baru dari seorang cendekiawan jenius, para VIP itu mengevaluasi hasil pelatihan yang mungkin bisa mereka terapkan di tempat lain.

Tapi sayangnya, tidak semua VIP bersikap seperti yang seharusnya. Di antara mereka terlihat seorang pria yang sedang mencium tanah setelah terjatuh dari kursinya.

"Kamu kasar sekali, Mascara!"

"Ini acara penting. Jaga sikapmu," jawab Mascara dingin. Adik bayinya itu benar-benar semakin jauh dari kata 'disiplin.'

Tapi Simian masih saja membantahnya.

"Kamu tidak bosan setiap hari mendengar ocehan sama?"

"Materi sekarang berbeda. Pakai telingamu," balas Mascara dengan suara pelannya yang khas.

"Berbeda apanya? Apa pelatih itu bilang seorang aero sepertimu bisa menciptakan angin topan? Atau bisa terbang?"

Mascara tidak mau menjawab Simian yang semakin pandai berdebat. Gadis itu jadi malas meladeninya. Tapi dia tetap merasa bertanggung jawab untuk memastikan adiknya menjaga sikap.

Simian justru duduk kembali dengan malas sambil menguap. Dia sandarkan dua kakinya ke punggung kursi VIP lain tanpa pedulikan reaksi mereka.

"Sudahlah, jangan ganggu orang tidur."

Mascara hilang kesabaran. Sikap tidak sopan itu mengundang kepalan tangan kedua yang membuat kantuk Simian tenggelam di antara keluhan.

"Bisakah kamu bersikap lembut? Kamu ini perempuan, Mascara!"

"Hargai jerih payah prajuritmu yang melatih para petualang itu. Kamu ini komandan mereka kan? Cih, dasar tidak berguna," ujar Mascara, dengan intonasi mulai meninggi.

Mascara berjanji kepada dirinya sendiri sejak menerima tamu dari Kota Maylon kemarin. Dia akan memperhatikan Simian agar pria itu memenuhi harapan Maylon.

Tiga tahun lalu Simian adalah pria keren yang tidak banyak bicara. Si rambut merah itu selalu bersikap tegas seperti selayaknya Pria Stauven. Tapi setelah keluar dari militer, Simian berubah menjadi pria tidak berguna seperti sekarang.

Mascara ingin adiknya menjadi pria sukses. Dia siap mendedikasikan seluruh hidupnya untuk itu.

Tapi pria yang dia perhatikan justru memicingkan mata malasnya. Dengan masih menatap mata Mascara, Simian mengarahkan jari telunjuknya ke segerombolan prajurit yang sedang bersorak.

"Bagian mana dari mereka yang terlihat bekerja keras? Kamu ini seperti enggak kenal mereka saja."

Mascara cemberut tanpa bisa membalas. Dia buang muka dari gerombolan prajurit Simian yang asyik pasang taruhan untuk rekan mereka yang mendemonstrasikan pertarungan.

Inilah yang paling menyebalkan dari Simian. Sejak si rambut merah itu menjadi pria ugal-ugalan, dua peleton dari 1.000 anak buah pria itu juga ikut-ikutan jadi pemalas.

"Masih terharu sama prajuritku yang hobi judi itu? Mereka bahkan memprovokasi temannya biar bertarung betulan," kata Simian seolah-olah itu bukan salahnya.

"Terserah apa maumu. Dasar komandan tak berguna."

"Terserah apa mauku? Kalau begitu aku mau cari tempat tidur. Tidak penting juga aku di sini," sahut Simian berdiri dari kursinya dan beranjak. Dia merenggangkan badan meski seluruh VIP lain memandangnya dengan wajah heran. "Kenapa pula marquis gila itu menyuruhku duduk di sini seperti pajangan saja."

Tersinggung nama sang ayah dibuat mainan, Mascara langsung berdiri dan meraih kerah jaket Simian.

"Jaga mulutmu. Kalau di kota lain, kamu sudah dipecat seenaknya menghina atasan. Cabut kata-katamu pada ayah!"

"Yeah yeah! Dasar puteri kesayangan."

Simian mungkin iri dengan ayah yang pilih kasih. Mascara memahaminya karena adiknya itu seakan diwarisi beban berlebihan sebagai anak laki-laki tertua.

Namanya juga Pria Stauven.

Gadis itu pun melepaskan cengkeramannya dan berkata, "Kamu beruntung masih dianggap earl meski sudah jadi petualang. Setidaknya berterima kasihlah, Monyet."

"Yeah, earl tanpa gaji. Terima kasihku kepada ayah sekaligus atasanku yang pelit itu."

Mascara tidak menggubrisnya. Dia beranjak dari lapangan militer dan mengikuti langkah Simian yang berniat bolos dari tugas.

"Pantas saja prajuritmu tidak ada yang disiplin." Mascara mengomeli Simian meski dia tahu pria itu pasti tutup kuping. "Aku heran kenapa kamu belum juga dipecat."

"Aku juga heran kenapa kamu tidak capek ngomel."

"Apa kamu bilang sesuatu?"

"Enggak, kamu salah dengar."

Mascara batal memukulnya. Diam-diam dia tersenyum karena dia tahu kenapa Simian hari ini ketus sekali kepadanya.

Sejak Simian menerima tugas sebagai calon petinggi militer di Kota Maylon, Mascara tidak setengah-setengah membantu adiknya mempersiapkan diri. Dia masak untuk pria itu, memperhatikan pola makannya, sampai memastikan adiknya menghentikan kebiasaannya bergadang.

Tentu saja, Mascara masih memaksa Simian untuk tidur satu ranjang dengannya. Karena itulah dia paham betul kenapa Simian susah tidur semalaman.

Demi memastikannya, dia merangkul adiknya dan berbisik, "Semalam kamu apain aku lagi? Aku masih perawan, kan?"

Simian meresponnya dengan wajah cemberut yang justru menggelitik hati Mascara untuk lebih menggodanya.

"Sebagai kakak yang baik, aku juga ingin memastikan kamu tidak impotent, Simian. Nanti malam kita coba, yuk."

"Demi Lord! Kamu sudah gila!?" teriak Simian dengan wajah tersipu. "Aku ini adikmu, Mascara!"

"Hahahahahaahaha!"

Mascara tidak pernah berpikir sejauh itu. Dia tidak punya hasrat aneh-aneh selain ingin menggoda sisi lugu Simian yang menurutnya sangat menggemaskan. Dia menggigit bibir bawahnya dan menunjukan ekspresi seperti perempuan minta disentuh.

Seperti dugaannya, Simian semakin panik karena malu.

"Ja—jangan kepedean! Aku susah terpejam karena dengkuran kerasmu, Mascara! Tid—tidurmu seperti kuda! Kamu enggak sadar berapa kali kamu menendangku waktu tidur?"

Giliran Mascara yang tersipu. Dia baru tahu alasannya kenapa pagi tadi wajah Simian bengap-bengap. Gadis itu baru ingat semalam dia mimpi bertarung dengan New Age Order.

"Baiklah, kamu mau tidur kan?" ujar Mascara menunjuk sebuah bangku di tempat yang agak sepi. "Sebelum tidur baca ini dulu."

Mascara menyodorkan surat rahasia yang tadi pagi dititipkan ayahnya. Berhubung sekarang tidak ada orang, gadis itu baru berani menyerahkannya kepada Simian.

"Kamu yakin informasi ini akurat?" tanya Simian memastikan.

Mascara sudah membacanya. Surat itu adalah misi penting dari ayahnya yang harus dia dikerjakan bersama Simian.

"Iya," jawab Mascara singkat. "Kamu bisa melaksanakan tugas itu?"

Simian mengernyitkan dahi. Sesekali dia melirik Mascara, seakan memastikan gadis itu juga siap melakukannya.

"Kenapa? Kamu pikir misi ini gratisan?" kata Mascara saat membaca ekspresi Simian. "Misi ini bukan hanya dari  ayah. Misi ujian Kota Maylon untuk kita."

"Kamu siap jadi gadis berwajah dingin?"

Mascara tersenyum. Dia tahu maksud dari pertanyaan Simian.

"Sangat siap. Kamu siap jadi pria berambut api?"

"Iya, tiga tahun lamanya aku menunggu saat-saat ini, Mascara. Kita tunjukan kepada mereka bahwa julukan kita bukan cuma hiasan!"

avataravatar
Next chapter