12 Tukang Peras, Tukang Tipu

14 September 1274 AG - 05:00 Pm

Kota Tigris — Guild Petualang

—————

"Hamil ya tinggal menikah, kok repot? Bukannya ayah sendiri yang minta cucu? Kalau bukan dariku, lalu dari siapa lagi?" Simian menjawab sindiran Mascara seenaknya.

Mascara paham kalimat itu sengaja Simian lontarkan untuk balas menyindir. Dia tidak tahan dan meraih lagi kerah leher si rambut merah itu.

"Hei, Monyet mesum. Kalau anakmu jadi semua, populasi Kota Tigris akan sesak karena anak-anakmu saja. Aku sampai malas mengingat nama-nama kekasihmu itu saking banyaknya."

"Aku juga malas mengingat nama-nama mereka."

Sejenak, Mascara terkesima dengan betapa menyebalkannya Simian sekarang. Tapi belum sempat dia menghajarnya, matanya terpancing kemilau koin gold di tangan pria itu. Tanpa sadar, Mascara melepaskan cengkeramannya dan memandang koin itu lama-lama.

Simian menggerakkan koin itu ke kiri dan ke kanan, ke atas dan ke bawah, diikuti mata Mascara yang berbinar-binar.

"Hahahaha!"

"Jangan menghinaku!"

Simian menyudahi sikap usilnya. Dia bergelagat akan membicarakan topik penting yang sebenarnya Mascara tahu arahnya ke mana. Tapi gadis itu pura-pura lugu. Saat ini adalah kesempatan emas untuk memberi si songong itu pelajaran.

"Bulan ini terakhir kalinya aku ada di Tigris. Setelah ini aku selamanya tinggal di Kota Maylon." Simian berlagak sedih. "Kamu bisa melepasku, Mascara?"

"Selamanya?" jawab Mascara pura-pura terkejut. "Ow, kamu sudah mau terbang, rupanya."

Mascara yakin Simian pasti meneriakkan kalimat kebebasan dalam hatinya. Dari ekspresi belagunya itu, bocah itu pasti sudah tidak sabar untuk segera pergi jauh-jauh.

"Ini semua demi Kota Tigris, Mascara. Demi impian ayah kita, dan demi impian muliaku."

"Cih, sejak kapan kamu punya mimpi?"

"Jangan meremehkanku, Mascara." Simian menjawab sambil menaruh dua jari di dahinya sendiri. Dia terkekeh dan berlagak keren ketika melanjutkan kata-katanya. "Dunia ini telah membusuk. Karena itu lah aku punya impian mulia ini."

Mascara semakin curiga. Dia picingkan matanya saat bertanya, "Memangnya kamu punya mimpi apa?"

"Menyelamatkan semua gadis dari busuknya dunia, dan menampung mereka di harem-ku."

Mascara langsung meradang.

"Dunia busuk apanya? Impian harem-mu itu yang busuk!"

"Mau jadi anggota harem?"

"Cuci dulu mukamu!!!"

Mascara ngos-ngosan. Hanya Simian saja manusia di dunia ini yang mampu menghilangkan ekspresi dingin di wajahnya. Pria itu benar-benar ahli memancing kemarahan orang.

"Sudahlah Mascara, kau tidak lihat aku sekarang? Aku sudah dewasa."

Mascara menanggapinya dengan picingan mata malas. Dia berekspresi seakan apapun yang Simian ucapkan itu cuma bualan.

Simian bersikap tidak nyaman. Dia pasti kesal Mascara masih saja meremehkannya. Dia buang muka ketika gadis itu menghampirinya dan membisikan sesuatu ke telinganya.

"Suatu ketika, ada anak monyet yang terdampar di sebuah pulau. Anak monyet itu berlagak hebat setelah berpisah dari ibunya." Mascara mendekatkan bibirnya dan mengecilkan suara. "Hari pertama dia masih bisa melompat-lompat. Tapi kau tahu apa yang terjadi setelah seminggu, sebulan, setahun? Bayangkan, Simian."

Simian langsung terdiam. Dia mungkin merenungkan seperti apa dirinya nanti jika dia hidup sendiri. Sesekali dia melirik Mascara seakan menimbang-nimbang sesuatu yang ada di pikirannya.

Mascara merasa menang. Simian pasti melanjutkan cerita si anak monyet itu sendiri, dan senang hati membayangkan bahwa dia lah anak monyetnya.

Memangnya perempuan mana yang mau memanjakan pria itu selain dirinya?

Semua lelaki sama saja. Mereka baru menyesal setelah menyadari bahwa selamanya mereka itu bayi.

"Uh, aku bisa membayangkan anak monyet itu meringkuk sendirian, mengenang masa-masa waktu masih ada yang memperhatikannya. Monyet itu pasti kesepian sambil merengek, 'Mascara, kamu dimana? hiks."

Simian terhenyak. Pria itu meraih tangan Mascara dan mencium jemarinya.

"Mascara, ikut aku yuk."

"Memangnya kamu ke Maylon itu mau apa? Liburan?" tukas Mascara mulai jual mahal. "Kamu pikir aku punya muka merengek ke ayah minta ikut denganmu? Macam aku ini penguntit saja."

"Ayolah, Mascara. Kamu tidak kasihan sama aku?"

"Dih, najis."

Mascara terbahak dalam hati. Wajah memelas Simian meyakinkannya bahwa sebentar lagi pria itu bisa dia kuasai. Meski faktanya, Mascara lah yang tidak bisa jauh dari Simian. Dirinya lah yang paling takut kalau sampai terpisah dari pria itu.

Tapi gengsi dong, kalau sampai ngaku?

"Aku bisa-bisa saja memohon ke ayah meski itu memalukan. Kamu sudah dewasa, Simian. Aku tidak bisa terus-terusan menjagamu. Ayah pasti memikirkan itu. Ada waktunya nanti kamu punya istri. Apa aku harus tidur bertiga dengan kalian?"

Simian semakin tertekan. Dia melirik kertas tagihan dan menjawab, "Aku lunasi semua hutang itu."

"Hei! Itu kewajibanmu, bukan penawaran. Kecuali kalau kamu punya nyali mengancamku pakai hutang itu."

Simian semakin gelagapan.

"Ak—aku mau menuruti apapun maumu, Mascara. Mulai hari ini sampai pertengahan Oktober nanti, manfaatkan hari-hari terakhir kita di Kota Tigris."

Sudut bibir Mascara sedikit terangkat. Kata-kata yang dia nantikan akhirnya keluar juga dari mulut Simian.

"Benarkah? Aku bisa pegang ucapanmu?"

"Iya, apa permintaan pertamamu?"

Mascara langsung melirik seorang gadis genit yang masih bergelayut manja di lengan adiknya. Darahnya terasa terbakar ketika memperhatikan lagi dada gadis itu yang terlewat besar.

"Singkirkan mahluk itu, bikin sakit mata saja."

Ekspresi gadis yang bernama Livina itu berubah. Dia menatap tajam Mascara waktu Simian mengusirnya.

"Apa lagi permintaanmu?"

"Mulai nanti malam dan selamanya kamu tidur denganku."

"Ogah!"

"Alkisah, ada seekor anak monyet ..."

"Baiklah, baiklah, aku setuju. Kalau seharian kamu tidak kasar padaku, malam harinya aku mau tidur denganmu, Setuju?"

Mascara tersenyum. "Aku berjanji. Kamu bisa pegang kata-kataku." Dia menjawab sambil menyerahkan selembar surat kepada Simian.

"Apa ini?"

"Baca saja sendiri."

Simian melirik sekilas. Dia langsung berwajah bodoh ketika baru tahu bahwa Mascara sejak awal sudah ikut dengannya.

"Ayah juga menjualmu?"

"Dia juga menjual Vodi ke Maylon. Bergembiralah, Simian. Kakakmu yang cantik ini akan selamanya bersamamu, Hahahahaha!"

avataravatar
Next chapter