102 Terpojok

"Matakuuu woraaaAAAA!!!"

Matanya kembali buta karena benda yang baru meledak itu adalah benda aneh yang sama. Dia ayun-ayunkan pedangnya acak meski dia tahu lawannya menjaga jarak.

"Jatuh di lubang yang sama!? Orang itu idiot, Conna! Hahahaha!"

"Iya betul!"

'Bocah-bocah itu!!!'

Fiduci hendak berteriak. Tapi dia redam amarah demi tetap fokus pada botol antidote yang tergeletak. Dia aktifkan skill terodope di level penuh dan merangkak meraba-raba tanah.

"Arrggghh!!! Tanganku!!!"

Dia kesakitan karena seseorang menusuk tangannya dari jarak dekat. Meski skill terodope-nya membuat dia kebal senjata tajam, daya tancap itu meyakinkannya bahwa pelakunya pasti seorang rank-S. Apalagi, dia juga mendengar suara cekikian dari seseorang yang berlari menjauh.

"Keparat kau, Marcelli!!!!"

Fiduci kibaskan-kibaskan tangannya yang berdarah. Dia juga muntah darah karena tombak itu pasti dibalur racun. Segera dia ambil antidote itu sebelum terlambat. Di antara buta dia meraba secepat mungkin yang dia bisa. Telapak tangannya pun menyentuh tekstur batu, tanah, dan tekstur lain yang lebih halus.

Setelah jarinya menemukan botol itu, segera dia meminumnya tanpa menunda.

'Kenapa rasanya jadi beda? Perasaan belum kadaluarsa?' Fiduci merasa aneh saat lidahnya mengecap rasa asin, pahit, sepat, dan rasa-rasa mengerikan lain yang pasti membuat rumah makan bangkrut. 'Ah terserahlah!'

Dia tidak mempedulikan rasanya karena botol itulah satu-satunya penyelamat nyawa. Dia teguk antidote itu secepatnya tanpa bertanya-tanya lagi. Dia bahkan tidak bertanya-tanya kenapa di botol kecil itu ada seuntai tali.

Setelah mencampakkan botol kayu itu ke tanah, Fiduci tertawa di kala pengelihatan kembali seperti semula. Matanya berkedip berkali-kali ketika melihat bocah berambut merah dan gadis kecil itu sedang bercengkrama dengan santainya.

Dia menyeringai puas dan menyapu bibirnya dengan lidah. Dia tunjukan bahwa antidote itu sudah berhasil dia habiskan. Dia berjalan mendatangi dua orang yang diincarnya dengan pedang terhunus. Seperti orang gila Fiduci mengancam mereka.

"Kalian terlalu ketakutan sampai tidak bisa berlari?"

Di antara remang senja, bocah berambut merah itu justru melihatnya dengan wajah takjub.

"Orang itu gila, Conna! Ternyata dia suka sekali campuran jamur beracun, sari kecoa, tahi tikus dicampur air kencingku!"

"Ap—pa kau bilang!!!" Fiduci hampir kena serangan jantung setelah bocah itu memberinya resep masakan. Badannya makin bergetar terlanda amarah hingga mengeluarkan skill maksimalnya. "Mati kaliaaaAAAANN!!!"

Pria tua itu benar-benar merasa terhina hingga kali ini, badannya terlalu panas dan berujung bau rambut terbakar.

"Apa hidangan tadi berasa pedas, Simian? Lihat badannya sampai berasap!"

"Iya Conna, dia pasti pelanggan rumah makan untuk orang-orang idiot!"

"WooraaAAAA!!!" Fiduci terlalu marah hingga mulutnya keluar darah. "WoraaaaAAAAA!!! WOOORAAAAAA!!!!"

Badannya makin berasap karena banyaknya keringat yang menguap. Retinanya memerah hingga sekitaran matanya mengeluarkan darah. Skill itu seakan membakar racun yang merusak badannya dengan paksa, sampai-sampai sebagian pembuluh darahnya meledak. Walaupun seluruh lubang tubuhnya mengeluarkan darah, Fiduci tidak berhenti memaksimalkan Superkolero miliknya hingga berada di luar batas wajar.

Dia menoleh ke arah dua bocah itu dan menghampiri mereka tanpa banyak bicara. Dan untuk kesekian kalinya, dua bocah sialan itu berdiri santai seakan tidak peduli bahwa sebentar lagi mereka akan mati.

"Tinggal berapa lagi 'mana' dia, Conna?" ujar Pemuda itu mencolek gadis kecil di sebelahnya.

Fiduci melihat penyihir kecil itu mengintip melalui jempol dan telujuk imutnya yang membentuk lingkaran.

"2%, Sebentar lagi juga habis!"

"Aku kira rank-S bisa mengatur mana, kamu tolol, Pak tua! Hahahahaha!"

Fiduci menghentikan langkah. Meski dia belum percaya bahwa penyihir kecil itu bisa melihat mana seseorang, dia baru ingat rasa sakit di kepalanya adalah tanda bahwa seseorang harus memperhatikan sisa mana mereka.

Sayangnya, antidote palsu tadi membuatnya sulit membedakan mana sakit karena kehabisan mana, dan yang mana rasa sakit karena keracunan. Rank-S tua itu pun hampir gila menyadari sejauh itu si bocah-bocah mempermainkannya.

Setelah membatalkan skill maksimalnya, dia serang mereka dengan Kolero biasa.

CRAAAAAAANNK!!!

Serangan itu tiba-tiba dihadang seseorang.

"Kamu tahu siapa lawanmu, Pak tua?" ujar Marcelli menangkis serangan Fiduci dan mendorongnya hingga Pak tua itu jatuh terjengkang. "Sekarang kita seimbang, Pak tua! Hahahaha!"

"Jangan puas dulu, Marcelli! Kamu pikir dengan pedang baruku ini kita masih seimbang?"

"Kata siapa itu pedangmu, Botak?"

Seorang Qalamist yang tadi juga dia lawan, menendang tangannya dari belakang hingga claymore-nya terlempar.

Fiduci kelabakan. Dia merasa tak mungkin menang dengan sisa mana-nya dan racun yang sedang menggerogoti tubuh. Apalagi pedangnya juga sudah kembali ke pemilik yang sebenarnya.

"Ingat aturan baku rank-S, Marcelli! ID-ku belum hitam! Kamu tidak bisa membunuhku, hahahaha!"

"Peraturan konyol itu tidak berlaku untuk Qalamis sepertiku, Pak Tua," balas Qalamist itu menggoreskan scimitar-nya ke batu seakan mengasah. "Tapi saya hormati Tuan Marcelli yang punya urusan lebih pribadi denganmu. Kamu tidak lihat apa yang dia pegang?"

Spontan, Fiduci melihat kartu berwarna merah yang Marcelli pegang. Dia terbelalak melihat namanya ada di kartu itu disertai sidik jari berdarahnya yang tertempel.

"Ka... Kalian!!!"

Kini, baru dia sadari kenapa botol antidote itu seakan bergerak sendiri. Dia juga baru sadar kenapa di botol itu ada seuntai tali. Dia yakin sidik jarinya tertempel waktu tadi meraba-raba tanah. Petualang tua itu pun menoleh penuh dendam pada seorang pemuda berambut merah yang terkenal kelicikannya.

Dia yakin, pemuda itu lah biang keladinya.

"Lihat kemana, Pak Tua? Aku lawanmu!" tegur Marcelli bersama surat resmi dari guildmaster. "Setelah ini, Tigris hanya punya 14 rank-S, Pak tua, hahahahaha!"

Tak mampu berbuat apa-apa, Fiduci terbata-bata saat melihat nama Simian del Stauven di kartu merah yang Marcelli pegang.

"Berapa poin yang aku dapat dari kriminal ini, Tuan Marcelli?"

"Jumlahnya? Selamat datang di dunia rank-A, Tuan Simian!"

Simian mencium claymore-nya. Dia menghampiri Fiduci yang sudah kehabisan mana.

"Kamu tahu kenapa Mascara menghajar orang-orang yang melecehkannya? Karena dia mencegahku, Pak tua."

Simian menginjak kepala Fiduci dan mengayunkan pedangnya ke atas

"Karena aku tidak sebaik itu memaafkanmu!"

SLASSHHHHHH!!!

avataravatar
Next chapter