91 Ternoda

04 Oktober 1274 AG - 02:30 Am

Southforest Dungeon - Kubah

—————

Luka-luka itu tidak Simian hiraukan. Walaupun sisa prajurit Preponte kelelahan menghajarnya, dia masih tajam menatap si cengeng itu yang saat ini berdiri pongah. Setelah pingsan karena satu serangan, Simian terbangun hanya untuk melihat pemandangan memilukan.

Kedua tangannya ditahan empat orang prajurit. Jumlah mereka bertambah karena nampaknya ada dua peleton lagi yang baru tiba. Kedatangan mereka menyadarkan Simian bahwa tiga earl lain sungguh-sungguh mau menghabisinya.

Dia melirik pedangnya yang kini sudah berada di tangan pak tua. Dia menatap tajam tiga anggota party Preponte yang bersusah payah menahan badan besar Vodi. Amarahnya tak tertahan ketika melihat seorang rank-A, menahan badan Mascara yang terkulai pingsan.

"Tidak percuma aku keluar uang banyak Stauven palsu, hahahaha!" Preponte tertawa puas. Dia menikmati wajah Simian yang penuh amarah.

Tangan kanannya memegang belati milik Mascara. Tangan kirinya memegang pipi gadis itu dan perlahan mengelusnya. Pria ber-chainmail mewah itu menatap Simian dan menjilat pipi Mascara.

"Aku selalu bergairah membayangkan kakakmu yang cantik ini, Stauven palsu. Kamu tahu berapa kali aku mencoba menyentuhnya? Si jalang ini terlalu jual mahal."

"Jangan lewati batasmu, Preponte ..."

"Kamu mengancamku?" Preponte membalas sinis. Dia mengendus rambut Mascara dan mulai mengelus ujung belati itu ke jaketnya. "Kamu juga mau melihat tubuh kakakmu yang seksi ini? Berterima kasih lah, Pecundang! Hahahaha!"

"Kamu mati Preponte!!!"

Simian tidak bisa mengendalikan dirinya ketika pria jelek itu mulai merobek jaket Mascara. Dia meronta hendak menyerang Preponte begitu jaket kulit gadis itu sedikit sobek. Karena kemarahannya, dua prajurit yang memegangnya jatuh terguling.

"Jangan membuat belati ini salah sasaran, Stauven palsu," ancam Preponte, mengarahkan mata belati itu ke leher Mascara. "Kamu pilih mana? Melihat kakakmu mati karena belati? Atau mati setelah memuaskan banyak orang? Hahahahaha!"

"..."

"Kamu tidak sanggup bicara sekarang? Kamu lihat prajuritku sudah tidak sabar, Bocah?"

"Aku bersumpah, tidak ada toleransi lagi untukmu, Preponte..."

"Uhhh, ancamanmu membuat tanganku gemetaran. Kamu mau belati ini tiba-tiba terselip di leher mulus kakakmu?"

Preponte pasti mati, itu yang awalnya Simian pikir. Tapi kemarahan membuatnya memikirkan balasan lain yang lebih kejam. Ingin dia robek mulut pria jelek itu dan mencabut paksa lidahnya. Ingin dia potong tangan dan kaki Preponte sekaligus mencongkel mata dan menghancurkan organ dalam telinganya. Dia putuskan, dia membiarkan Preponte menjalani sisa hidupnya dalam keadaan cacat.

Namun sayangnya, bukan Preponte saja yang tergoda kecantikan Mascara.

"Jangan senang dulu, Stauven manja."

Seseorang menegur Preponte dengan nada sinis. Pria akhir 60-an itu masih sibuk memegang claymore Simian, dan mengayun-ayunkannya seakan pedang itu miliknya. Dengan seenaknya si tua gondrong berbotak tengah itu menepuk-tepuk pipi Mascara dengan ujung claymore-nya.

"Gadis cantik ini miliku."

Preponte langsung menjauhkan tangannya dari gadis itu.

"50 platinum. Lanjutkan kesenanganmu."

Preponte menyandera Mascara lagi setelah mencoret-coret cek yang dia pegang dan menyerahkannya ke si pria tua.

Kemarahan Simian berpindah sasaran. Dia menatap benci si rubah tua yang baru saja menjual Mascara seperti pelacur.

"Kenapa? Kamu mau bertarung lagi denganku, Bocah?" ancam Pak tua itu tanpa menoleh. Dia sibuk mengelus-elus pedang Simian seakan memastikan sesuatu yang dia kenali dari pedang itu. "Aku tidak tahu apa hubunganmu dengan blackfin. Kamu tahu, bocah? Bahkan rank-S sepertiku gemetaran memegang pedang ini. Dan kamu merasa pantas memilikinya?"

Simian tidak memusingkan kata-kata si rubah tua. Di tengah amarah dan putus asa, dia berusaha tenang untuk men-simulasikan semua rencana yang dia punya. Dia pindai apapun yang berpotensi mendukung keberhasilannya, meski kemungkinan menang itu hampir nol.

Sebelah alisnya sedikit terangkat ketika dia melihat distorsi udara di sekitar Preponte. Dia juga melihat dua orang yang sedari tadi bersama si jelek itu, diam-diam memberinya tatapan mata bahwa mereka kini ada di pihaknya. Setelah membalas tatapan dua orang itu, Simian memberi kode mata pada Vodi untuk menjaga kesabaran.

Namun, gelagat diam itu nampaknya mengundang kecurigaan seseorang. Pak Tua yang Preponte panggil Fiduci itu sekilas meliriknya dengan mata terpicing. Untunglah orang tua itu santai-santai saja seakan apapun yang terjadi pada Preponte bukan lah urusannya.

'Cih, si tua keparat itu!'

Simian melirik Pak tua itu tajam-tajam. Setelah dikalahkan dalam satu serangan, nalurinya berkata untuk tidak sembarangan melawan si pria tua. Tapi Simian juga tidak merasa dermawan untuk membiarkan si tua bangka itu hidup lebih lama. Apalagi, ciri-ciri orang itu sama persis seperti yang dia baca di quest pribadi guildmaster.

Namun, rencana matang yang Simian susun langsung berantakan ketika melihat Preponte sudah mencampakkan jaket Mascara ke tanah. Nyawanya seakan tercabut, jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Air mata langsung menetes ketika semua mata memandang dada telanjang Mascara.

Jelas sudah, pemandangan itu mengundang ekspresi menjijikan Preponte. Pria jelek itu menoleh Simian tanpa repot-repot menyembunyikan liurnya yang menetes.

"Aku tidak percaya kakakmu yang maskulin itu ternyata bisa merawat tubuhnya. Pantas saja dia pilih-pilih!" kata Si Stauven manja itu mulai berani meraba. "Tapi sebentar lagi aku yang menikmatinya, Stauven palsu! Jangan menyesal! Karena ini salahmu, Bocah! Hahahaha!"

"Kamu sudah lewati batasmu, Preponte ..."

Suaranya bergetar. Pipinya semakin basah. Simian merasa hidupnya berakhir ketika mulut Preponte mulai mencium bagian Mascara yang belum pernah tersentuh. Simian menyesali kesalahan di rencananya. Dia tidak mampu berbuat apa-apa karena si jelek itu bisa membunuh Mascara kapan saja.

"Jang—jangan melewati batasmu, aku mohon ..." Simian membuang harga dirinya.

"Melewati batas? Kamu yang melewati batas!"

Simian menunduk lemas.

"Penggal kepalaku sekarang Preponte. Lepaskan Mascara, hiks .. aku mohon, Preponte ...."

"Hahahahaha! kamu pikir aku hanya mau kepalamu, Bocah?"

Simian hanya bisa menangis. Dia juga tahu bahwa Preponte sejak awal ingin menghabisi dirinya dan dua saudaranya. Dia menggigit bibirnya sendiri ketika tangan Preponte hendak menelanjangi celana kakak perempuannya. Dia tidak tahan. Dia mengangkat tangannya untuk memajukan sebuah rencana.

"Kamu menyerah? Kamu tahu salahmu apa, Bocah cabul? Kamu ceroboh datang ke dungeon ini hanya bertiga—

"Tiga orang? Kau harus belajar matematika, Idiot!" Suara cempreng seseorang memotong ucapan Preponte.

Preponte terkejut. Dia membatalkan kesibukannya dan mencari-cari sumber suara tadi. Semua anggota party Preponte menoleh kebingungan, begitupun para prajurit yang gemetaran seperti baru melihat hantu.

Simian menyeringai. Suara cempreng itu adalah bagian dari rencana yang sedikit terlambat. Begitu muncul sepercik cahaya, dia langsung menutup matanya.  

"Ekribilo!!!"

"Arrgghh!! Apa ini!!?"

"Mataku!!!"

Sesuai rencana, Simian sudah tahu bahwa lapalan mantera itu akan disusul ledakan cahaya yang sekilas membutakan mata. Di tengah keributan karena silau itu, telinga Simian mendengar gemerincing zirah berat yang disusul suara teriakan dan benturan badan. Setelah keributan itu usai, disampingnya sudah berdiri Conna yang sedang melapalkan skill penyembuhan, juga Vodi yang sedang menggendong sang kakak perempuan.

Simian segera membuka zirahnya, dan mengenakan jaketnya untuk menutupi tubuh Mascara. Dia harus melakukannya sebelum gadis itu tersadar dan putus asa memandang dunia.

avataravatar
Next chapter