40 Sisa Tenaga

24 September 1274 AG - 04:50 Am

Kota Tigris - Tidak Jauh dari Distrik Merah

—————

Di bawah atap.

Tinggal seorang saja tersisa dari semua petarung itu. Hujan panah juga terhenti sehingga Simian tahu bahwa Mascara sudah menguasai medan tempurnya sendiri. Tapi Simian sedikit kesulitan karena lawan terakhir itu sudah mempelajari semua pola serangannya.

Lawan itu tahu pedang Simian tidak bisa ditangkis. Dia juga tahu bahwa chainmail tidak akan efektif melindungi badannya. Lawan itu cukup cerdas untuk menyadari bahwa menghadapi Simian tidak bisa dengan cara biasa. Chainmail-nya sudah dia lepas untuk mendapatkan kelincahan. Pedangnya juga sudah dia buang dan menggantinya dengan pisau pendek. Lawan terakhir itu bahkan mengganti gaya bertarungnya untuk menghadapi serangan Simian yang brutal.

Pyro melawan pyro, skill kolero melawan skill kolero. Petarung itu sangat merepotkan hingga Simian mulai hilang kesabaran.

Badannya sudah penuh luka. Dia juga kehabisan tenaga setelah menghadapi belasan lawan sebelumnya. Betis kanannya juga tertancap anak panah sehingga Simian kehilangan kelincahan.

'Menyebalkan sekali melawan orang ini!'

Simian kesal karena lawan itu pandai tutup telinga dari semua provokasinya. Dia jadi merasa idiot bicara sendirian karena lawannya lebih banyak diam. Lawan itu juga sangat cerdas untuk menggiring dirinya ke tempat yang tidak menguntungkan.

Sela-sela bangunan itu membatasi ruang geraknya. Claymore-nya yang panjang bukan lagi tandingan bagi musuhnya yang hanya bersenjatakan pisau. Tapi setiap kali Simian mundur ke tempat terbuka, lawan itu tidak bergeming dari posisinya.

"Mau pulang? Mau minum susu ke ibumu?"

"Keparaatt!!!" Simian meradang karena sekalinya lawannya bicara, kata-katanya selalu menyakitkan.

Hilang sudah kesabarannya. Dia menaruh claymore-nya dan memasang kuda-kuda beladiri tangan kosong.

"Ayo, kesini," tantang Simian menggerakkan ujung jarinya memancing lawan.

Tapi musuhnya masih saja diam dengan ekspresi datar yang menyebalkan.

"Kamu takut melawan orang tak bersenjata? Ayo ke sini."

Lawannya masih tidak bersuara. Orang itu justru melirik posisi kaki dan tangan Simian seakan mengukur seberapa mematikan beladiri itu.

Sama seperti Mascara, Simian juga belajar beladiri dari ayahnya. Pria itu lebih jago dari kakak perempuannya karena pertarungan jarak dekat memang keahliannya. Beladiri dari negeri-negeri timur itu mampu Simian kuasai sehingga mulutnya yang celometan pun menjadi senjata ampuh.

"Pecundaaaaang! Lawanku pencundaaang! Kenapa diam? Apa kau berak di celana?" Simian meledek sebisanya karena sudah putus asa dengan musuhnya yang pura-pura tuli.

Ledekan itu pun berhasil membuat lawan tandingnya membuka suara lagi.

"Aku kira hanya perempuan saja yang betah bicara lama-lama. Kamu merasa laki-laki? Kenapa tidak berani ke sini?"

Untuk pertama kalinya Simian lebih memilih bertarung dengan orang bisu. Provokasi balasan itu kontan memicu kemarahannya sehingga dia melupakan kuda-kudanya yang sudah keren.

Namun, lawan itu lebih dulu meregang nyawa karena seseorang mengiris lehernya dari belakang.

"Aku benci laki-laki yang suka meremehkan perempuan." Mascara bicara saat menggunakan baju pria itu untuk membersihkan pisau.

"Kamu lama sekali, Mascara. Aku sudah tak sanggup lagi berdiri." Simian protes mengadu.

Dia memang sudah sampai batasnya. Dia menggunakan sisa tenaganya untuk berlagak kuat di depan lawan terakhir. Andaikata lawan itu terpancing provokasinya, Simian pasti sudah tewas.

"Jangan mengeluh, seharusnya kamu senang barangmu itu dipegang-pegang perempuan," balas Mascara dengan wajah sebal. "Lagian kenapa juga kamu tadi main remas-remas dada pelacur itu?"

Simian tidak percaya kalimat itu yang pertama kali keluar dari mulut Mascara. Dengan terpaksa dia pura-pura pingsan karena gadis itu mulai melontarkan serentetan omelan.

***

Siang harinya di ruang rapat.

"Kalian tahu seberapa jauh langkah kita?" Grall memulai pembicaraan dengan sebuah pertanyaan.

Mascara dan Simian saling menoleh. Mereka tidak paham dengan apa yang baru saja ayah mereka ucapkan.

"Ada empat tahap dari rencana kita untuk melawan New Age Order. Setiap tahap memiliki jangka waktu lima tahun. Dan di tahap keempat ini aku akan lebih sibuk lagi. Kalian harus selesaikan pekerjaan rumah yang dulu aku tunda."

Grall menyerahkan selembar kertas yang isinya mudah ditebak. Nama di kertas itu adalah target terakhir yang harus kedua anaknya atasi sebelum mereka pergi ke Kota Maylon.

"Kalian bisa melenyapkan kerabat kalian sendiri?" Grall bertanya tanpa basa-basi.

"Ayah masih bertanya?" kata Simian menunjukan wajah heran. "Orang-orang ini yang merusak masa kecilku, Ayah. Tanpa ayah suruhpun aku sudah gatal ingin menghabisi mereka."

Marquis itu tersenyum. Masa kecil Simian memang suram karena tidak ada satupun anak-anak Stauven yang mau berteman dengannya selain Mascara, Vodi dan seorang gadis yang bernama Conna. Semua karena warna rambut dan pupil matanya yang berbeda. Para Stauven itu sangat membenci Simian sehingga masa kecilnya seringkali dianiaya. Grall tidak tahu apa yang terjadi pada anak kandungnya itu jika dia tidak mengangkat Vodi dan Mascara sebagai anak.

"Kapan kita bereskan sampah-sampah itu? Aku sudah tidak tahan lagi!" Mascara bertanya penuh kemarahan. Grall cukup paham karena anak gadisnya lah yang lebih banyak menyimpan dendam.

"Mereka punya perlindungan politik. Menggores kulitnya saja bisa mengancam posisiku sebagai marquis. Kalian paham? Sudah waktunya kalian belajar menggunakan rencana."

Keduanya mengangguk. Mereka juga paham bahwa target terakhir ini bukanlah mangsa yang bisa mereka sentuh seenaknya. Keduanya harus menggunakan otak mereka agar operasi sapu bersih selanjutnya bisa berjalan sesuai rencana.

"Lalu, apa tugas kami?" Mascara bertanya.

"Kalian istirahat dulu. Kejadian semalam terlalu banyak bekas. Aku sampai harus mengerahkan satu battalion untuk membersihkan darah dan potongan tubuh. Belum lagi beberapa bangunan yang rusak parah gara-gara seseorang tidak bisa menahan nafsu bertarungnya."

Grall melirik Simian yang pura-pura tidak sadar sedang disindir. Dia juga melihat Mascara masih menujukan wajah kesal kepada si rambut merah itu.

"Bagaimana rasanya dada pelacur itu? Kenyal? Enggak seperti punyaku yang katamu rata dan keras itu, kan?"

"Hei, apa maksudmu?" Simian meradang. "Kamu masih bahas itu!?"

Grall langsung tahu apa penyebabnya ketika melihat Mascara buang muka dari adik laki-lakinya.

"Dasar anak muda," gumam Grall mengomentari perubahan sikap Mascara akhir-akhir ini.

Jujur, Grall merasa bersalah karena mendidik anak sulungnya seperti laki-laki. Hasilnya, Mascara tidak dekat dengan lelaki manapun selain Simian. Grall pernah kepikiran untuk menjodohkan kedua anaknya sendiri karena sifat tomboy Mascara sudah tidak tertolong lagi. Dia senang karena gadis 25 tahun itu saat ini bisa merasakan cemburu. Setelah melerai pertengkaran keduanya, Grall memberi kode tangan mengusir mereka.

"Istirahatlah."

Pintu ruang rapat itu tertutup. Grall berjalan menuju ruang pribadinya untuk mengambil benda canggih yang masih jadi rahasia kecil antara dirinya dengan segelintir orang. Dia pencet tombol-tombolnya untuk menghubungi seseorang yang pasti sudah menunggu komunikasi radio itu.

"Grall di sini, Roger," ujar Grall berlagak profesional.

"~Memangnya siapa lagi yang bicara denganku? Brrttzzz ... Seperti yang kita bicarakan kemarin, New Age Order akan bergerak lagi."

"Di kerajaan mana?"

"~Saguene, mereka mau ikut campur konflik perbatasan kerajaan itu melawan Kerajaan Ysdeville ... Brrzzttt ... Bagaimana dengan Tigris?"

"Cucumu dan calon cucu menantumu sudah berhasil sejauh ini."

"~Simian baik-baik saja?"

"Iya, tapi tidak untuk lawan-lawannya. Anak itu sama sadisnya sepertimu. Dasar ras origin!"

"~Sejak kapan kamu jadi rasis? Bretttzzz... Ah sudahlah, segera kerjakan tugasmu. Besok Maylon akan membantu militer Ysdeville. Urus diplomasi kita dengan mereka."

Grall sejenak terhenyak.

"Apa Maylon sudah memiliki prajurit militer?"

"~Belum ada. Aku hanya mengirim 10 pasukan khusus. Itu lebih dari cukup untuk menaklukan benteng yang Saguene kuasai selama bertahun-tahun. Kamu penasaran seperti apa cara Maylon berperang?"

Grall tertegun. Jika satu orang di pesawat tempur bisa menghabisi 5000 prajurit berikut ratusan kapal mereka, sulit dia bayangkan apa yang Maylon lakukan dengan 10 orang yang mereka kirim.

"~Brrtttzz … ingat Grall, besok adalah masa saat Maylon menunjukan kepada dunia siapa boss mereka yang sebenarnya."

avataravatar
Next chapter