90 Satu Serangan

03 Oktober 1274 AG - 10:20 Pm

Southforest Dungeon - Stage 3

—————

"Tidak perlu berlebihan. Jamur itu baru ada efeknya jika termakan."

Jawaban ringan itu menghilangkan minat Marcelli berbicara. Dia melangkah masuk dan mengamati setiap sisi kubah di hadapannya. Akvo itu melihat kubah dipenuhi prajurit di sekitar dindingnya,  juga belasan prajurit lain di sekeliling tiang berdiameter 10 meter. Meski para prajurit itu terlihat santai, ada sesuatu yang membuat bulu kuduk Marcelli berdiri ketika melihat tiang besar itu.

'Ada apa di sana?' benaknya.

Rank-S itu menengok kanan kiri karena menyadari bukan hanya dia saja yang pasti curiga. Dia mencari satu-satunya aero rekan party Preponte untuk memastikan kecurigaannya. Sayangnya, hidung aero itu jelas tidak bisa lagi digunakan. Dia mendekati aero yang bernama Ottoso itu dan berbisik pelan.

"Pilar itu terlihat mencurigakan. Kamu merasakannya?"

"Iya, Tuan, tadi saya juga mencium bau aneh." Ottuso ikut berbisik.

Terlihat jelas bahwa aero itu takut dengan Preponte yang tengah bicara dengan Fiduci. Marcelli menoleh ke pak tua itu yang pasti sedang memeras.

"Kamu pandai menyenangkan hati orang, Tuan Preponte! Hahaha!" Fiduci terbahak-bahak setelah menyelesaikan negosiasi. "Kamu dengar, Marcelli? Masing-masing dari kita dapat 75 platinum untuk gadis archer atau pemuda tanker, dan 100 platinum untuk si rambut merah!"

"Bukankah kita sudah sepakat semua 50 platinum, Fiduci?" Marcelli terperanjat Fiduci merubah kesepakatan sepihak. Dia mulai risih dengan rekannya yang segan-segan memeras. Tapi dia tidak bisa bicara lagi ketika Fiduci lebih dulu merangkulnya.

"Kamu mau kita terus-terusan melawan omegra kelas atas cuma demi 10 platinum perbulan?"

"Terserahlah!"

Cek itupun Fiduci terima. Dia terkekeh dan menepuk-tepuk pundak Preponte seperti seorang sahabat lama. Stauven itu ikut tertawa sampai suara seorang prajurit membuyarkan basa basi mereka.

"Ada apa?" kata Preponte.

"Para Qalamist itu sepertinya sudah dihabisi, Tuan. Anak-anak marquis itu juga sudah membantai belasan orang-orang kita."

Preponte terperanjat.

"Di mana mereka?"

Prajurit itu langsung mengarahkan tangannya ke kerumunan orang di depan pintu masuk menuju lembah terlarang.

Di pintu itu, semua mata menyaksikan tiga bersaudara menunjukan taring mereka.

***

"Cerdas juga mereka." Fiduci bicara. "Tiga bocah itu lebih memilih menghabisi para prajurit daripada kabur ke lembah terlarang."

Marcelli melihat ke arah yang sama. Diantara kerumunan itu dia melihat beberapa prajurit terlempar karena diterobos seseorang berbadan besar. Heavy armored knight itu sama sekali tak bergeming meski empat orang prajurit menghalangi langkahnya.

Terkadang pria besar itu melayangkan pukulan, terkadang pula dia mendorong prajurit dengan tameng yang menempel di gauntlet-nya. Pria berzirah berat itu bahkan menyeruduk dengan tanduk banteng yang ada di helmnya.

"Si tero itu sepertinya baru mendapatkan skill. Kau lihat, Marcelli? Gerakannya masih kurang efisien. Orang awam tidak akan menyangka kalau pemuda besar itu baru naik rank-C."

Marcelli sependapat dengan pujian Fiduci kepada anak marquis yang bernama Vodi. Karena faktanya, kemampuan bocah itu setara dengan petualang rank-A. Pria berbadan besar itu seperti tembok kokoh yang melindungi saudaranya perempuannya dari panah-panah prajurit dengan zirahnya yang tebal.

Di belakang pemuda yang bernama Vodi itu Marcelli juga melihat wajah lain yang sangat familiar. Gadis itu menghabisi para prajurit dengan panahnya, sambil sesekali mengambil anak panah yang sebelumnya para prajurit tembakkan. Kontan, para pemanah berhenti menyerang karena anak panah mereka jadi senjata makan tuan. Namun ketika gadis itu kehabisan anak panah, para prajurit masih belum bisa menyentuhnya karena kemampuan bela dirinya yang tidak biasa.

Para prajurit tidak berani lagi menyerang dua bersaudara itu. Tapi langkah mundur juga kesalahan karena adanya satu orang lagi yang lebih kejam. Jika Vodi dan Mascara selalu di posisi bertahan, pemuda yang bernama Simian justru menerobos kerumunan para prajurit.

Tidak ayal lagi. Kerumunan yang pemuda itu lewati selalu bertaburkan darah, potongan kepala, tangan, kaki, sampai isi perut para prajurit. Pemandangan brutal langsung membuat Preponte menunjukan wajah memohon.

"Apa? Kamu tidak lihat kami sibuk menonton?" Fiduci lebih dulu bicara sebelum Preponte membuka mulutnya. Pak tua itu tidak merespon apa-apa selain melirik stempel yang Preponte pegang.

Preponte tidak banyak bicara. Dia mencoret angka-angka dan menyerahkannya ke tangan Fiduci.

"Kau lihat, Marcelli? Ini yang namanya seni bernegosiasi."

"Seni endhasmu!!!" Marcelli terlampau kesal.

"Hahahahaha, kamu diam di sini. Biar aku yang menghadapi mereka sendiri."

***

Tidak ada yang lebih menyenangkan selain menghadapi lawan yang berkerumun. Simian menyeringai gembira karena satu tebasannya langsung menghabisi empat sampai lima prajurit. Dan ketika mereka menyebar, beberapa prajurit pasti tewas oleh panah seorang gadis. Simian tidak punya pilihan lain selain membantai mereka, karena kabur di lembah memiliki resiko lebih mengerikan.

"Kom—komandan, am—ampuni—

SLASH!!!

Badan prajurit itu terbelah dua. Simian tidak ambil pusing sekalipun wajah-wajah mereka dikenalinya. Karena baginya, satu-satunya hukuman bagi desertir hanyalah kematian. Dia tidak berpikir dua kali untuk mengeksekusi para prajurit yang berani melawan komandannya sendiri.

Kerumunan sudah jarang. Yang tersisa hanya belasan prajurit yang nampaknya knight dan banneret. Para pengkhianat itu pun langsung mundur setelah Preponte memerintah mereka. Simian mengambil napas ketika telinganya mendengar suara seseorang bertepuk tangan.

"Sepertinya penilaian ranking harus dievaluasi lagi, ck ck ck." kata pak tua itu saat melihat tumpukan mayat yang tidak utuh. "Apa kau benar-benar rank-B?"

Simian tidak menjawabnya. Dia langsung menangkap botol kayu dan meminum potion yang pak tua itu lemparkan, sebagai tanda bahwa dia menerima tantangan duel satu lawan satu. Simian memasang kuda-kuda setelah potion mahal itu menunjukan efeknya.

"Ayo ke sini, Anak muda. Aku tidak akan menangkis, ataupun bergerak. Serang aku dengan ayunan terkuatmu."

Simian tidak berpikir panjang. Dia langsung berlari, melompat, dan menebaskan claymore-nya sekuat tenaga tepat ke ubun-ubun pak tua itu.

CLANKKK!!!

Suara benturan menggema. Tapi sayangnya...

"Ughhh ... bahkan kamu mampu melukai rank-S sepertiku, Anak muda."

Simian terbelalak. Tebasan yang seharusnya bisa membelah seseorang berzirah lengkap, hanya menggores ubun-ubun si pak tua bertelanjang dada. Pak tua itu mengusap darah di jidatnya, dan menjilatnya untuk menunjukan bahwa serangan Simian tidak lebih sakit dari jitakan gadis datang bulan.

Simian mulai berfirasat buruk ketika orang tua itu memasang posisi menyerang.

"Sekarang giliranku, Tuan Earl."

avataravatar
Next chapter