54 Penghinaan

29 September 1274 - 11:50 Am

Kota Tigris - Guild Petualang

—————

Sekujur tubuhnya masih gemetaran. Preponte tidak menyangka gadis itu berani sekali menghinanya. Amarahnya tak tertahan karena Mascara masih dengan sombongnya berkacak pinggang.

"Kamu mau apa, Pria jelek? Enggak terima? Hiks, aku jadi mau nangis."

Preponte pun sebisanya membalas, "Diam kau! Karena kamu Stauven menerima keluhan tamu!"

"Apa aku baru mendengar sesuatu? Apa kamu dengar suara berkokok, Simian?"

"Hahahaha!"

"Diam kalian, Keparat!" Preponte membentak seluruh petualang yang ikut terbahak. Napasnya tersengal-sengal saat memandang si jalang yang jadi biang keladinya. "K—kau! Berapa lagi tagihan rumah sakit yang harus Stauven bayar? Berapa orang lagi yang kamu patahkan tangannya hari ini, Anak pungut!?"

"Satu orang tadi siang ... mungkin satu orang lagi setelah ini."

Kontan, Preponte meletakan tangannya ke gagang pedang. Dia mendekati Mascara dan pelan berujar, "Kamu mengancamku, Jalang?"

Tapi belum sempat pedangnya terhunus, sebuah claymore lebih dulu berayun. Ujung pedang ramping berkilau crimson itu mengarah tepat ke tengah dahi Preponte seakan hendak menusuknya.

"Kamu menolak tantanganku tapi menantang Mascara yang masih rank-C? Lucu sekali, Tuan rank-A," ujar Simian dingin. "Kamu merasa laki-laki? Kenapa tidak hadapi aku?"

Preponte menelan ludah. Tidak dia duga Stauven palsu itu kini berani bicara lancang kepadanya.

"Pikirkan posisi ayahmu, Bocah cabul."

"Setelah kamu mengancam Mascara, kamu pikir aku peduli, Preponte?"

Melihat mata Simian yang serasa menusuknya, Preponte semakin kelabakan. Penuh kepanikan dia melirik Mascara dan menegur, "Tenangkan adik kesayanganmu, Jalang. Kamu mau bocah cabul ini membuat masalah?"

"Kamu takut? Mau minta tolong padaku? Yang sopan dong kalau minta tolong."

"Diam kau, Jalang! Lawan aku!"

Preponte sekali lagi hendak menghunuskan pedangnya. Tapi dia baru ingat ujung claymore Simian masih mengarah tepat di tengah dahinya. Bulu kuduknya berdiri saat merasakan ujung tajam itu, menyentuh dahinya dan memberinya sedikit goresan.

"Kamu belum menjawab tantanganku, Preponte ..." Simian bicara pelan saat menekan ujung claymore-nya hingga dahi Preponte berdarah. "Apa rank-A sepertimu hanya berani menghadapi rank-C perempuan? Apa uangmu habis untuk beli kosmetik? Berani-beraninya kau hunuskan pedangmu lagi, Preponte!!!"

Teriakkan Simian menggema di seluruh ruangan. Bukan hanya Preponte, seluruh penghuni bar langsung diam termasuk si gadis jalang. Dan di tengah hening itu, Preponte merasakan ujung claymore Simian bergetar.

Nampak sekali pemiliknya tak kuasa meredam amarah. Namun tak lama kemudian, matanya mengikuti ujung claymore itu yang kini turun perlahan.

'Huff ... syukurlah,' benaknya.

Dia sempat merasakan lega setelah dahinya terbebas dari ujung pedang yang Simian todongkan. Tapi bulu kuduknya berdiri lagi ketika melihat Stauven palsu itu semakin tajam menatap matanya. Preponte tahu betul si rambut merah itu sebengis apa.

"Kamu tahu Preponte? Kamu benar-benar tidak memberiku pilihan lain."

Preponte menelan ludah. Dia hanya bisa diam dan mengusap keningnya yang berdarah. Desir ketakutan semakin menghantuinya ketika dia melihat Simian beranjak menuju meja resepsionis dan menunjukan sesuatu yang tidak dia duga.

"Kamu tadi bicara tantangan, bukan?"

Preponte terdiam saat Stauven palsu itu mengoleskan darah dari jarinya sendiri ke sebuah kartu berwarna merah. Dia semakin membatu ketika kartu itu Simian sodorkan.

"Giliranmu, Tuan rank-A!"

Bukan hanya dirinya sendiri. Preponte melihat kartu merah itu membuat semua orang ikut terperanjat. Mereka yang awalnya tertawa langsung diam karena kesungguhan Simian.

Sebagian dari mereka menelan ludah. Sebagian lagi berbisik dengan orang sebelah. Salah seorang dari mereka berteriak, "Itu tantangan duel sampai mati!"

"Habisi dia, Boss! Habisi rank-A sombong itu!"

"Iya, Tuan Simian! Habisi dia!"

Terancam harga dirinya, dengan terpaksa kartu itu Preponte terima. Seluruh petualang masih memberi Simian dukungan. Bar itu pun makin riuh setelah kartu merah itu berpindah tangan.

Preponte tahu bahwa penonton pasti berharap cemas karena kartu merah itu, adalah pertanda bahwa setelah ini akan ada yang mati karena urusan pribadi. Dengan adanya darah dari dua orang di kartu itu, hukum tidak bisa lagi menyetuh siapapun pemenang duel.

Perlindungan politik tidak akan ada gunanya lagi. Preponte merasakan tangannya gemetaran. Keringat dingin mengucur deras saat dia membaca nama Simian del Stauven di satu sisi kartu itu dan Preponte del Stauven di sisi lainnya. Dia tahu artinya jika sampai darah dan sidik jarinya tertempel sisi kartu yang tertulis namanya.

Dia putuskan menolaknya. Dia letakkan kartu itu di atas meja.

"Aku punya tugas lebih penting daripada urusi bocah sepertimu, Stauven palsu."

"Yeah, yeah, aku tahu itu, Tuan rank-A."

Preponte tidak peduli lagi riuh penonton yang mentertawakannya. Dia lebih memilih harga dirinya terinjak-injak daripada terbunuh si rambut merah itu. Dia tahu bahwa Simian bukan lah lawan yang bisa dia remehkan.

Namun, di saat dia melihat Mascara memandangnya sinis, Preponte bisa menebak cibiran apa yang mau gadis sarkastik itu katakan.

"PetoookkK! Ayamnya mau bertelor!"

"Jaga mulutmuuu!!!"

Ketiga kalinya Preponte hendak mengarahkan tangan ke gagang pedangnya. Tapi dia batalkan niat itu ketika melihat Simian melirik kartu merah yang baru saja dia letakkan. Tanpa banyak bicara, Preponte beranjak menuju tangga lantai atas diikuti kelima rekan party-nya.

"Wuuuuu, Ayaaamm!!!!"

Sorakan itu terdengar menusuk telinganya hingga ke jantung. Meski tidak melihatnya, Preponte tahu gadis itu lah yang jadi pemandu sorak. Dan ketika dia menoleh, dia tak mampu menahan amarah karena semua petualang mengarahkan jempol mereka ke bawah. Preponte tidak bisa lagi berpura-pura tidak kehilangan muka. Penuh dendam dia menoleh Mascara dan menatapnya tajam.

"Aku tidak akan melupakan hari ini, Pelacur!"

"Pelacur katamu? Kamu menyamakan aku dengan jenis perempuan kesukaanmu?" balas Mascara menunjukan wajah keheranannya. "Jujur sekali kamu bongkar rahasiamu sendiri kalau kamu itu pecandu rumah bordil. Aku jadi heran kamu masih punya muka bilang Simian bocah cabul."

"Hahahahaha!"

"Wuahahahaha!"

"Wuuuu!!!"

Badan Preponte terasa lemas. Dadanya kembang kempis karena kemarahannya tidak mungkin bisa dia luapkan lagi. Dia semakin murka karena kesekian kalinya hinaan Mascara tepat sasaran. Preponte melihat gadis itu belum puas juga menghinanya. Dia melihat si jalang itu menunjukan sisi kartu merah yang tercantum namanya ke seluruh ruangan.

Jelas lah sudah ... mereka kontan tertawa memegangi perutnya. Hinaan itu seakan membakar darah di wajah Preponte hingga matanya perih.

"Ak—aku tak akan lupakan ini, Anak pungut," ancamnya lemas, suaranya semakin parau. "Ka—kamu tidak sadar apa yang sudah kamu lakukan ...."

Mascara justru menoleh ke arahnya dan menunjukan wajah dingin yang sangat menghina.

"Masih punya muka mengancamku? Kamu berharap aku takut ancaman dari rank-A yang baru saja menolak tantangan juniornya? Cuih! Ludah ini jawabanmu."

avataravatar
Next chapter