78 Penantian 15 Tahun

02 Oktober 1274 AG - 03:00 Pm

Ruang Rapat Balai Kota Tigris

—————

Sekali lagi Gracia merenung. Nampaknya, dia sudah menangkap esensi dari 'tempayan retak' yang Grall sampaikan.

"Nona tahu? Celeste mengajarkan bahwa kemiskinan adalah takdir. Sebagian ayat-ayat di kitab suci kita menyatakan bahwa kekayaan adalah dosa. Sebaik apapun manusia bekerja, mereka tetap miskin kalau ditakdirkan demikian. Itulah kenapa banyak warga di wilayah selatan yang memandang penindasan para bangsawannya sebagai kehendak Tuhan."

Gracia mengangguk.

"Saya paham, Tuan. Propinsi kita pernah mengalami masa-masa yang sama. Mereka menggunakan agama sebagai alasan untuk tidak mau berkembang. Tapi setelah kita berhasil menyingkirkan pengaruh Celeste, semua jadi berbeda, Tuan Marquis."

"Iya. Tapi keadaan itu berbanding terbalik dengan wilayah selatan. Tutup tempayannya terlalu kuat, Nona. Dan retakan di tempayan itu ..."

Di balik wajah elegannya, Gracia nampak terperanjat.

"Maksud Tuan, retakan itu yang dimanfaatkan New Age Order untuk menggerakkan fanatik?"

"Tepat sekali, Nona Gracia. Kecemburuan sosial adalah motif utama konflik di kalangan bawah. Tapi mereka tidak berani mengakuinya karena di lubuk hati yang terdalam, mereka juga sadar bahwa kekayaan adalah hasil dari kerja keras."

"Iya. Tidak semua orang berani berkata bahwa mereka jadi miskin karena kemalasan mereka sendiri."

"Dan mereka butuh alasan agar pelampiasan itu terkesan masuk akal."

"Dan alasan itu juga agama?"

"Pasti. Celeste pasti menyebar rumor ke wilayah selatan bahwa Tigris menista agama, menganiaya hamba-hamba Lord, dan entah fitnah apalagi demi memicu amarah para fanatik."

"Mak—maksud Tuan, mereka akan menyerang Tigris?"

"Iya."

***

Gracia de Uberta adalah duchess yang memimpin Propinsi Jana. Sama seperti Grall del Stauven, perempuan 33 tahun itu adalah figur kunci yang bekerjasama dengan Maylon. Gracia sudah menyangka bahwa kerjasama itu akan mengundang langkah-langkah kotor New Age Order.

Tigris dan Jana adalah propinsi di wilayah utara yang saat ini paling berkembang. Hanya saja, ada perbedaan besar di antara keduanya.

Tigris terletak di ujung paling selatan wilayah utara, yang langsung berbatasan dengan Propinsi Carmenta di wilayah selatan. Sedangkan propinsi Jana berada di Pulau D'Accodi yang terletak di ujung paling utara wilayah ekonomi itu. Kalau sampai terjadi serangan dari wilayah selatan, maka Tigrislah yang pertama kali terkena gempuran.

Gracia cemas. Meskipun Grall menunjukan wajah tenang, Gracia tidak bisa menyembunyikan perasaan kalut.

"Tenang saja, Nona Gracia. Saya sudah punya langkah untuk ini."

Gracia mengangguk dan tersenyum kalem. Meski dalam hatinya, dia ingin merengkuh badan kekar pria itu yang selalu menyimpan semua bebannya sendirian. Selama 15 tahun Gracia menahan diri untuk tetap bersikap sebatas kolega.

Hubungan pribadi antara bangsawan militer dengan sipil sangat ditentang kerajaan. Sebagai duchess, Gracia mampu menerimanya. Tapi sebagai seorang perempuan yang mencintai Grall, dia tidak sanggup lagi membendung perasaannya. Demi dia, Gracia setuju untuk menentang kerajaannya. Dia berjalan menghampiri marquis itu dan memeluknya untuk pertama kali.

Tidak ada penolakan dari pria itu. Gracia merasa lega setelah meyakini bahwa Grall masih menyimpan perasaan yang sama.

"Tuan menawari para pemimpin propinsi wilayah utara untuk bebas meminta apapun. Aku yang yang paling serakah, Tuan. Ak—aku memintamu ..." Gracia mulai menangis. 15 tahun lamanya dia menunggu kesempatan yang telah Grall janjikan.

"Maafkan aku." Grall berujar pelan.

Gracia mengangguk saat membenamkan wajahnya di dada pria itu. Dia menyingkirkan perasaan kikuknya karena terlanjur kesal dengan seorang marquis yang terlalu lama menggantung perasaannya. Dia menegadah dan menampar-tampar kecil pipi pria itu.

"Kamu tahu semarah apa aku padamu?" tanya Gracia menggembungkan pipinya. Dia merasa bebas untuk kembali bersikap seperti gadis remaja.

Grall masih nampak kikuk. Dari gelagatnya yang celingukan, Gracia tahu pria itu masih belum siap tiba-tiba dia serang.

Duchess itu tidak peduli. Dia meraih dagu Grall dan memaksanya untuk bertatapan.

"Benar kata Tuan Tonos, kamu hanya pecundang," kata Gracia, membuang jauh-jauh sikap anggunnya sebagai duchess. "Kamu mulai keriput. Rambut pirangmu juga sedikit beruban. Kamu kaget dengan sifat agresifku, hah!?"

"Kamu seperti gadis 18 tahun."

"Iya, tapi lihat kerutan di mataku. Aku tidak cantik lagi, Grall. 15 tahun lamanya kamu membuat tempayan di hatiku retak."

Grall pasti merasa bersalah bercampur malu-malu. Pria itu nampak bingung untuk mampu membalas apapun. Gracia cukup paham bahwa Grall adalah pria setia yang masih canggung urusan asmara.

"Lakukan sesuatu, pecundang."

"Hmmm ..."

"Kenapa masih diam?"

"Uh ... anu ..."

"Aku bahkan belum punya ciuman pertama, Idiot!" Gracia semakin tidak sabar. Dia mendorong tubuh Grall ke meja, menindihnya dan mendekatkan bibirnya ke telinga pria itu. "Aku perempuan, Grall. Cukup sampai di sini keberanianku memancingmu. Kamu tahu apa yang harus kamu lakukan, Tuan Stauven."

Grall mungkin tertantang. Sikap kikuknya perlahan sirna dan mulai berani meraih dagu Gracia. Pria itu menatapnya lembut dan tersenyum manis kepadanya.

"Aku mencintaimu, Gracia. Sejak 15 tahun lalu, sekarang, dan selamanya," ungkap Grall sebelum menutup mata dan mendekatkan bibirnya perlahan. Dia memeluk Gracia seakan tidak mau melepaskan lagi perempuan yang diam-diam dia cintai. Gracia pun memejamkan matanya. Dia menanti detik-detik ciuman pertama di usianya yang sudah tidak lagi muda. Air matanya mengalir karena penantian panjang itu akhirnya berbuah manis.

Namun, belum sempat bibirnya bersentuhan, Gracia membuka mata karena mendengar suara pintu terbuka.

"Kami pulang. Eh ..."

Barlux terkaget setelah membukakan pintu untuk para tamu. Dia langsung membatu ketika melihat pemandangan tidak biasa di meja itu, begitupun tiga duke lain yang kontan ikut melotot.

"Oh, maaf."

Sambil cengengesan Barlux menutup lagi pintu itu perlahan dan pergi meninggalkan dua sejoli yang masih syok rahasianya ketahuan.

"Kita tidak melihat apa-apa, bukan, Tuan-tuan?"

"Iya, Tuan Barlux."

avataravatar
Next chapter