5 Mascara del Stauven

13 September 1274 AG — 01:00 Pm

Perbatasan Propinsi Tigris — Carmenta

—————

Merasa kamulfasenya tak lagi berguna, gadis pemanah itu menyibak tudungnya. Dia memperlihatkan wajah cantik dan sepasang mata tajam di atas pipi bertitik-titik hitam. Rambut hitamnya pun terurai di kala angin menyekanya.

Cantik sekali ....

Tapi kecantikan itu berlawanan dengan gerak-geriknya yang sama sekali tidak mirip perempuan.

"Gadis itu monster! Habisi dia dulu!"

Gadis itu bukannya berlari menjauh. Dia justru mendekati pertempuran antara gerombolan bandit dengan empat orang petualang. Dengan tembakannya yang sangat cepat dan akurat, satu persatu bandit itu tewas dengan anak panah menancap di leher mereka.

Pemandangan horor itu membuat belasan bandit tersisa langsung mengubah sasaran. Tanpa berpikir panjang mereka mengejar si gadis pemanah yang berlari ke sebuah pedati.

"Dia mau isi ulang anak panahnya! Halangi dia!"

Gadis itu menghindari kejaran beberapa orang di antara gerobak. Tapi saat mendekati pedati yang dia tuju, seorang bandit ternyata mencegatnya dengan pedang terhunus.

"Sayang sekali perempuan secantik kamu harus mati di sini."

"Percaya diri sekali?" Gadis itu membalasnya dengan ekspresi dingin.

Dia melempar busurnya ke atas dan menatap si bandit yang sudah mengayunkan pedang. Gadis itu memutar badannya menghindari sabetan itu, lalu mengambil belati dari pinggulnya. Dengan memanfaatkan putaran badannya, pisau itu pun mengayun tepat ke leher si bandit. Dengan badan masih berputar pula dia mengiriskan pisau itu setelah menancap.

Darah kental mengucur. Bandit itu memegangi lehernya yang separuh terpotong. Dia tewas seketika setelah mengeluarkan leguhan seperti orang tenggelam.

Tanpa mengurangi kecepatannya berlari, gadis itu meraih busurnya di udara. Dia raih pula anak panah di pedati dan menembakkannya bertubi-tubi.

Tiga pengejar pun tumbang setelah leher mereka berlubang.

Denting pedang tidak lagi terdengar. Puluhan mayat berserakan di lokasi pertempuran. Setelah memastikan tidak ada pertarungan lagi, perempuan itu menyampirkan busurnya dan berjalan pelan menghampiri empat orang petualang.

***

"Tidak ada satu pun korban dari pihak kita, Nona Mascara," ujar seorang petualang dengan pedang di leher seseorang. "Kita apakan orang ini?"

Gadis yang dipanggil Mascara itu melirik si bandit pemanah yang sudah menyerah. Dia menempelkan sepatu boot-nya ke wajah orang itu dan bertanya, "Di mana markasmu? Berapa sisa anggotamu?"

Bandit itu mengarahkan telunjuk.

"Di sana, Nona. Saya satu-satunya anggota terisa. Tolong ampuni saya."

Mascara picingkan matanya tanpa tersenyum sedikitpun. Dia melirik empat petualang yang memandangnya dengan wajah segan.

"Kalian kawal convoy ini tanpa bantuanku. Aku ada urusan penting di Kota Tigris.

Mereka mengangguk setengah takut. Meski keempat petualang itu dari kota berbeda, mereka tahu gadis itu siapa.

Namanya Mascara del Stauven. Gadis itu adalah seorang petualang dari Kota Tigris. Dia dijuluki si gadis berwajah dingin karena bibirnya yang miskin senyum, juga ekspresinya yang selalu beku kepada siapapun.

Mascara mengemas anak panahnya setelah memastikan tugasnya selesai. Dia balik arah menuju kuda yang dia parkir di tepian hutan. Tapi belum sempat kakinya melangkah, dia sudah dihadang orang-orang berjubah mewah.

"Bagaimana dengan kami, Nona? Anda sudah kami bayar."

Mascara mengernyitkan dahinya. Dia melirik stempel balai keuangan yang para pedagang itu pegang.

"Tiga gold bayaran ekstra di luar quest¹."

Tidak berani menawar, seorang pedagang memberi Mascara kertas yang baru dia stempel. Tapi Gadis itu masih melanjutkan langkahnya meski tambahan upah itu sudah dia terima.

"Nona, kami sudah membayar lebih. Tolong hargai kontrak quest! kawal convoy kami sampai Kota Carmenta!"

"Kontrak quest? Kapan aku bilang tiga gold itu untuk tetap mengawal kalian?"

Para pedagang saling menoleh dengan wajah bodoh.

"Nona?"

Mascara membalas teguran itu dengan picingan matanya yang khas. Tatapan dingin itu seakan membekukan badan sehingga para pedagang langsung terdiam ketakutan. Setidaknya, sampai salah seorang dari mereka nekad mengancam si gadis galak.

"Antar kami sampai Carmenta atau quest nona kami laporkan gagal!"

Mascara menghentikan langkahnya. Semua orang gemetaran saat gadis itu perlahan menoleh ke belakang. Dia menghampiri pedagang itu dan menarik kerah lehernya.

"Kamu bilang sesuatu?"

Pedagang itu langsung pucat. Dia menggelengkan kepala dan menutup sendiri mulutnya.

"Aku ada urusan penting di Tigris. Jangan buang waktuku."

***

Keesokan harinya.

Butuh waktu semalaman untuk tiba di Kota Tigris. Meski jalanan itu dipenuhi mahluk buas yang memangsa manusia, tapi mereka bukan lawan sepadan bagi Mascara. Di pintu masuk kota besar itu dia disambut hormat oleh para prajurit penjaga gerbang.

"Selamat datang, Nona Muda. Tuan Marquis sudah menunggu anda di mansion."

Mascara membalas sapaan itu dengan anggukan kepala. Dia menyerahkan kudanya kepada para prajurit itu sebelum memenuhi panggilan sang ayah.

Siapakah sebenarnya Mascara?

Tidak disangka gadis maskulin itu adalah anak sulung dari seorang bangsawan besar. Namun Mascara tidak menunjukan gelar kehormatannya, apalagi mengikuti etika-etika merepotkan ala kaum bangsawan. Gadis itu bahkan tidak mengubah gaya berjalannya yang tidak jauh berbeda dari kaum pria.

Karena surat itu Mascara merasa ada yang janggal. Sang ayah berkata bahwa ada hal penting yang harus dia dengar. Gadis itu pun tiba di sebuah bangunan mewah dan sejenak terpaku di depan pintunya.

Kenapa sang ayah tiba-tiba memanggilnya?

Kenapa pula surat panggilan itu berstempel resmi pemerintahan Tigris?

Mascara melamun. Dia berfirasat bahwa setelah ini hari-harinya tidak akan sama lagi. Gadis itu membuka suratnya dan membaca lagi nama kota yang menjadi beban pikirannya.

'Ada apa dengan Kota Maylon? Ada apa dengan kota dari dunia lain itu?'

avataravatar
Next chapter