48 Masa Depan Ysdeville

27 September 1274 AG - 03:30 Pm

Kota Tigris - Mansion Grall del Stauven

—————

Lawan bicaranya adalah orang nomor satu di Kota Maylon. Grall sangat menghormatinya karena pengaruh orang yang bernama Phaulius itu lebih tinggi dari ayah mertuanya sendiri. Marquis itu sangat berhati-hati saat menjawab pertanyaan pria itu.

Kenapa Phaulius menanyakan keputusan Barlux?

Nama lengkapnya adalah Barlux du Lumiere. Dari nama belakangnya saja sudah ketahuan kenapa Barlux berhubungan erat dengan Kerajaan Ysdeville. Percaya tidak percaya, istri Barlux adalah puteri tunggal dari penguasa negeri itu. Grall merasa geli sendiri karena adiknya secara de jure³ adalah seorang raja di negeri lain.

Ysdeville adalah negeri matriakal yang lebih mengakui garis keturunan ibu. Dalam artian, kekuasaan di negeri itu ada di tangan kaum perempuan. Barlux terpaksa melepaskan nama Stauven karena terlanjur menikahi Bianca yang notabene calon penguasa tunggal.

Namun, Bianca menolak desakan keluarganya untuk segera mengambil tahta. Barlux pun tidak mau pindah ke negeri itu karena masih terikat dengan rencana besar kakaknya. Sedangkan di sisi lain, Kota Maylon punya kepentingan tingkat tinggi dengan Kerajaan Ysdeville.

Bantuan yang Maylon gelontorkan tidak main-main demi mendapatkan bahan tambang yang mereka sebut sebagai minyal fosil. Otomatis, Maylon harus memastikan kerajaan itu se-iya se-kata dengan apapun rencana mereka.

Pastinya, Maylon membidik siapa penguasa baru di negeri kecil itu.

Seperti halnya hanya Ratu Ysdeville yang masih menjabat, Kota Maylon juga ikut mendesak Barlux dan Bianca untuk segera mengambil keputusan. Suami istri itu pun menawarkan alternatif lain sebagai jawaban. Grall pun menyampaikan penawaran itu kepada Phaulius.

"Calon penguasa baru Ysdeville bernama Connassance du Lumiere, puteri tunggal Barlux. Dia adalah salah satu dari empat pemuda Tigris yang sudah kota anda beli."

"~Addendum³?" Phaulius bertanya singkat. Dia pasti tidak mau merepotkan lawan bicara berputar kemana-mana.

Dengan tegas pula Grall menjawab, "Sudah saya wakilkan ke Tuan Tonos."

***

Beberapa saat setelahnya di Balai Kota.

"Kira-kira berapa lama sampai mereka ambil tindakan?" Barlux bertanya sedikit berbisik.

Grall meminum wine-nya sejenak sebelum menjawab pertanyaan duke itu.

"Setindaknya butuh satu bulan bagi Saguene untuk menyadari bahwa mereka kalah telak. Karena benteng itu mustahil dijatuhkan, kerajaan itu jarang mengirim utusan untuk memeriksa kondisi perbatasannya."

"Bukannya di sana ada utusan Celeste juga?"

"Itu dia. Hitungan waktunya jadi berbeda. Kerajaan Suci Avalona pasti mendesak Saguene untuk segera memeriksa keselamatan delegasi mereka. Apalagi ada tiga cleric yang juga anggota New Age Order."

"Apa tindakan Maylon?"

"Mereka membuat perimeter 10 km dari benteng. Mereka akan menghabisi utusan Saguene yang datang untuk memeriksa benteng itu." Grall menjawab tenang. Dia paparkan prediksi yang dia pikirkan. "Setidaknya butuh tiga bulan sampai Saguene melancarkan serangan balasan. Biar Maylon yang atasi itu. Yang lebih penting, apa keputusanmu?"

Barlux sejenak terdiam. Wajahnya masih tegang oleh keputusan yang masih dia pertimbangkan.

"Aku belum siap pergi ke Ysdeville dan meninggalkan impian kita di tengah jalan. Aku juga belum tahu apakah puteriku enam bulan lagi siap menjadi ratu. Abang tahu sendiri syaratnya, bukan?"

Grall merenung. Dia ikut merasakan dilema rumit yang Barlux alami. Dia serba salah karena ada perubahan tidak terduga yang mempengaruhi semua rencananya.

Di Ysdeville, syarat mutlak naik tahta adalah pernikahan. Conna harus memiliki suami agar dia bisa menjadi ratu baru di negeri itu. Namun gadis itu terlalu sibuk dengan dunianya sehingga syarat itu menjadi dilema. Sebagai sesama ayah, Grall tahu adiknya pasti tidak mau mengorbankan kebahagiaan Conna dengan memaksakan perjodohan. Sebagai jalan keluarnya, Grall dan Barlux sepakat menggunakan cara mudah.

Dia akan menikahkan Conna dengan Simian.

Simian anak penurut. Dia tidak pernah berkata tidak kalau ayahnya memberikan tugas penting. Dia juga sangat akrab dengan Conna sehingga kalaupun tidak ada cinta di antara mereka, setidaknya Simian bisa dipercaya. Namun saat ini semuanya berbeda. Ada keadaan baru yang terlalu berat bagi Grall untuk memutuskan perjodohan itu. Dia tidak bisa membayangkan pria yang telah mencuri hati Mascara tiba-tiba menikah dengan perempuan lain.

Grall sudah tahu bahwa Mascara jatuh cinta kepada Simian sebaik apapun gadis itu menyembunyikannya. Marquis itu juga yakin bahwa Mascara belum sadar bahwa keterikatannya dengan Simian bukan lagi hubungan kakak dan adik. Mascara belum menyadari bahwa perasaannya ke Simian adalah perasaan seorang perempuan kepada seorang laki-laki. Grall tahu betul itu karena hubungan mereka sangat mirip antara dirinya dengan mendiang istrinya.

"Aku akan jadi orang pertama yang mentertawakanmu kalau sampai Mascara hamil duluan." Barlux menyindir dosa masa lalu Grall.

Grall melirik sekilas. Skandal masa lalunya dengan Phulia masih lengket di kepala adiknya itu. Barlux juga orang terdekatnya yang tahu semua keluh kesahnya sebagai seorang ayah.

"Siapa dari mereka yang Abang putuskan jadi menantu?"

"Simian." Grall menjawab tegas. "Walau bagaimanapun dia adalah Pria Stauven. Andaikata dia menikahi Mascara, dia harus tahu apa akibatnya kalau dia tidak bisa membahagiakan puteri kesayanganku."

"Pfffttt ... dasar Stauven. Kalian tidak pernah bosan bicara prinsip pria sejati dan semua bualannya."

Grall melirik Barlux lagi saat meminum wine. Dia lontarkan senyum ketus pada mantan Stauven itu.

"Kalau kamu tidak punya prinsip itu, mana bisa kamu menikahi Bianca?" jawab Grall balas menyindir. "Sudahlah, biarkan anak-anakku menyelesaikan urusan mereka. Bagaimana dengan Conna? Besok dia pulang ke Tigris, bukan?"

"Besok pagi dia sudah di kota ini. Dia pasti rindu bertemu Simian dan Mascara. Abang juga rindu keponakanmu yang cantik itu, bukan?"

avataravatar
Next chapter