101 Kejutan Lagi!

04 September 1274 AG - 04:40 Pm

Coda Mountain - Forbidden Valley

—————

Warna putih terang menyelimuti pengelihatan. Fiduci menutupi kedua matanya yang terasa terbakar. Mulutnya tak berhenti komat-kamit mantera, untuk membatalkan skill pengelihatan yang mungkin rusak karena ledakan aneh barusan. Dia mengayunkan claymore ke segala arah dengan tangan kanan untuk berjaga-jaga jika ada yang mendekat.

"Kalian licik! Mana harga kalian!!!" Fiduci semakin murka. Dia tidak menyangka rank-S++ sepertinya bisa dipermainkan bocah-bocah ingusan.

Dia belum tahu benda apa yang baru saja membutakan matanya. Padahal dia tahu skill cahaya gadis penyihir itu tidak berpengaruh apapun kalau dia mengaktifkan skill viduparma. Entah trik apa yang baru saja mereka gunakan. Entah siasat apa lagi yang sudah mereka siapkan. Fiduci tidak mampu melakukan apapun selain mengaktifkan skill pertahanan penuh sambil mengumpat.

"Kejutan apalagi keparat!?"

"Masih mau hadiah lagi?" Suara cempreng gadis kecil itu terdengar lagi. "Orang tua itu benar-benar serakah, Simian."

"Iya, Conna. Sepertinya kita harus memberi dia hadiah." Terdengar suara lain yang nampaknya dari bocah berambut merah. "Hadiah datang Pak Tua!"

Kata-kata itu membuat Fiduci panik dan siap siaga dalam kondisi hampir buta. Telinganya mendengar suara berdesing melewati kanan dan kiri tubuhnya, yang menghasilkan rasa gatal saat sebagian benda itu menyentuh kulit. Fiduci membalas provokasi mereka setelah menyadari suara familiar itu suara apa.

"Habiskan anak panahmu! Kalian lupa tubuhku tak tertembus!?"

"Kulit pak tua itu tebal sekali, Conna. Sama seperti muka tebalnya yang enggak tahu malu itu."

"Iya Simian, untung saja tadi racunnya sudah masuk."

Fiduci terperanjat. Dia mulai curiga ada yang aneh setelah mendapat serangan panah di lorong tadi.

Skill-skill terodope memang bisa membuat orang kebal senjata. Seorang pemilik elemen tanah bisa mengeraskan otot, tulang dan kulitnya sehingga mereka bisa berdiri kokoh seperti karang. Seorang tero juga tidak merasakan nyeri atau perih sekalipun.

Efek mati rasa itu ternyata dimanfaatkan para pemanah beracun, sehingga Fiduci tidak menyadari tubuhnya hancur dari dalam. Merasakan ancaman, dia meraba pinggangnya untuk mencari antidote¹.

Tidak menemukannya, dia baru sadar bahwa serangan panah yang dianggapnya gagal itu, ternyata dilepaskan bukan tanpa alasan.

"Cari apa, Pak tua botak?"

"Pakai matamu Pak tua! Sudah rabun ya?"

"Kalian!!!" Fiduci kalap. Dia baru tahu bahwa satu botol antidote sudah bocor dan botol lain mungkin terjatuh karena panah. "Kalian pengecut! Pakai cara terhormat melawanku!"

"Kamu bicara seperti punya kehormatan saja!"

"Iya betul!"

Suara menyebalkan pemuda yang diikuti gadis kecil itu membuat Fiduci tak kuasa menahan amarah. Dia mengeluarkan skill Superkolero terkuatnya sampai tubuhnya berasap tebal.

Udara di sekitarnya ikut terdistorsi karena panas. Salju tipis yang dia pijak langsung mencair. Fiduci memaksimalkan tenaganya hingga urat-urat darah nampak jelas di sekitaran wajah. Tapi intimidasi menakutkan itu justru jadi ajang pelecehan.

"Kamu demam Pak Tua? Kasihan."

"WoraaaAAAA!!!"

Amarah Fiduci mencapai ubun-ubun karena bocah berambut merah itu semakin kurang ajar. Dia pukul-pukul matanya sendiri untuk membatalkan skill Superviduparma yang terlanjur lengket karena ledakan aneh tadi.

Setelah beberapa lama meronta, akhirnya cahaya terang di pengelihatannya mulai memudar. Dia tidak lagi melihat warna biru tua karena efek skill pelacak panas tubuh itu sudah tak ada.

Kini, dia bisa melihat pemandangan jingga putih sabana dan hutan-hutan dari atas balkoni tebing yang lapang. Indahnya suasana senja itu sejenak membuatnya terlena, tapi tidak untuk saat ini. Dia menengok kiri dan kanan mencari orang-orang yang akan dia habisi setelah pengelihatannya normal kembali.

"Kemana kalian, Keparat!!!?"

Seperti dugaannya, lagi-lagi mereka memakai skill menghilang.

"Tunjukan wujud kalian!"

"Hellow, kami di sini Pak tua! Mabuk ya? Ayo ke sini dong, ayo!"

"KeparaaatttTT!!!"

Berkali-kali kena jebakan, petualang rank-S itu semakin waspada sampai tidak mau kemana-mana. Badannya juga agak sempoyongan karena racun itu mulai mempengaruhi keseimbangan. Matanya semakin buram sehingga pohon di sekitarnya nampak bergoyang-goyang.

Di tengah paniknya, dia melihat botol antidote tergeletak di sekitar kaki. Tanpa menunda dia bungkukkan badan untuk meraih botolnya yang pasti terjatuh karena panah. 'Mumpung masih sore,' pikirnya. Di tengah upaya itu, nalurinya mendadak bekerja sehingga tangannya bergerak reflek ke arah berlawanan.

"Menyerang dari belakang lagi, Pengecut?"

Fiduci melirik tajam saat tangan menangkap anak panah yang lawan lepaskan dari belakang. Dia balik badan meski tahu pemanah itu pasti memakai skill yang sama untuk menghilang. Tanpa berpikir panjang, dia meng-aktifkan lagi skill Superviduparma.

"Kau pikir bisa bersembunyi?"

Fiduci terpaksa menggunakan skill pengelihatan yang susah payah dia batalkan. Tapi yang tidak dia duga, dia tidak melihat apapun selain warna biru gelap. Fiduci memicingkan mata ketika melihat segaris cahaya kuning jingga di balik pohon yang tidak jauh dari posisinya.

"Disana kau rupanya? Hahahaha!"

Kakinya mau melangkah. Namun pengalamannya lebih banyak berperan dibanding amarah sesaat. Dia yakin, orang di balik pohon itu pasti sengaja menunjukan diri agar dia terpancing.

Fiduci melupakan orang itu dan kembali membalik badan untuk mengambil antidote yang tergeletak. Dan sekali lagi, tangannya reflek ke belakang untuk menangkap sesuatu yang lawannya lempar.

"Usaha bagus, Pengecut! Hahahaha... Eh?!" ujarnya percaya diri, sebelum terkernyit saat menyadari benda kenyal yang dia remas itu bukan lah anak panah. "Huh? Buah jeruk?"

BLOOBBBBBB!!!!!

"Matakuuu woraaaAAAA!!!"

avataravatar
Next chapter