28 Donasi

23 September 1274 AG - 11:00 Am

Kota Tigris - Gereja Agung Celestesphaira

—————

"Keparat!" Bishop itu berteriak melampiaskan rasa kecewa. Dia berjalan menuju lantai atas penuh kemarahan. "Terkutuk kau, Barlux!"

Umpatannya bergema ketika dia naik ke lantai dua. Tangga berpermadani mewah itu pun seakan hilang keindahan karena makian sang wakil Tuhan. Sang bishop akhirnya tiba di lantai atas dan membuka pintu yang tidak kalah mewahnya untuk menemui seseorang. Ketika melihat orang itu tengah melamun di samping jendela, bishop itu langsung menyapanya.

"Yang mulia ..."

Orang yang disapa itu masih diam melihat pemandangan di balik tirai.

"Yang Mulia?"

"10 tahun lalu bahkan halaman gereja dipenuhi jemaat, Tuan Bishop," kata pria itu pelan tanpa menoleh. "Waktu cepat berlalu."

Melodrama singkat itu jelas membuat sang bishop hampir menangis.

"Sampai kapan kita diam, Yang Mulia?"

"Selalu ada proses. Bersabarlah."

Orang berjubah sutera dan bertopi seperti cumi-cumi itu menoleh. Dia menutup tirai jendela sehingga terangnya matahari tergantikan temaram lilin. Dengan penuh wibawa dia berjalan menuju meja dan mempersilahkan sang bishop duduk. Setelah melepas topi tingginya yang penuh permata, dia menatap teduh mata sang bishop dan berkata, "Terima kasih sudah memimpin jemaat, Bishop Ipocrati."

Kata-kata itu membuat bishop yang bernama Ipocrati itu langsung terisak. Kali ini, tangisannya lebih jujur daripada yang di atas mimbar.

"Tapi saya malu yang mulia! Seharusnya anda sebagai archbishop yang memimpin doa di gereja agung. Hiks! Tapi lihat ulah mereka! Lihat bagaimana mereka menentang Lord! Hiks!"

"Punya solusi?"

Tidak ada solusi yang keluar dari mulut seorang tukang protes. Bishop Ipocrati-pun menyadari itu. Pertanyaan singkat itu mengunci mulutnya sehingga dia hanya bisa diam saat archbishop beranjak dari kursinya.

Archbishop itu meyibukkan diri mengamati sekeliling ruangan. Dia melihat bekas-bekas bingkai lukisan, ornamen berdebu, chandelier, serta penyangga lilin dari emas yang tinggal beberapa saja yang masih menempel di dinding. Setelah nampak berhitung cepat, archbishop itu menoleh.

"Buatkan daftar aset gereja yang sudah digadai untuk biaya perawatan beberapa tahun ini. Setelah ini suruh pelayan ambil lagi di pegadaian. Kalau perlu beli yang baru."

Ipocrati terbelalak. Dia tahu apa yang atasannya maksud.

"Yang mulia setuju penawaran mereka!?"

"Kita tidak punya pilihan lagi, Bishop Ipocrati. Ini juga bentuk pengabdian kita kepada Lord." Archbishop menjeda sejenak demi memandang wajah cemas Ipocrati. "Kita harus ingat perjuangan putera Lord, Tyr Gnosa 13 abad lalu, Tuan Bishop. Jangan berharap kemudahan."

"Tapi yang mulia ... Yang mulia tahu mereka bangsawan korups! Korupsi itu dosa!" Suara Ipocrati terasa bergetar. Dia merasa tidak nyaman untuk bersikap hipokrit. Dia merasa hina meski dia tahu kalimat itu hanyalah hiasan di pucuk makanan. Dia biarkan saja archbishop itu meneruskan khotbahnya.

"Lord membebaskan dosa selama mau membeli surat pengampunan, Tuan Bishop²." Orang nomor satu satu gereja agung itu bicara dan menunjukan wajah kalemnya. "Apa kita harus bergantung uang jemaat miskin? Satu copper bagi mereka itu berharga, Bishop Ipocrati. Kita juga tidak bisa lagi minta bantuan gereja pusat Avalona. Hanya itu saja jalan kita, Anakku."

Bishop Iprocrati masih ingin membantah meski dalam hati dia sangat setuju usulan itu. Tapi archbishop lebih dulu melirik permata yang menempel di jubahnya.

"Anda mau jual itu demi gereja?"

Tanpa sadar, Ipocrati memundurkan badan. Dia meredam kemarahannya agar archbishop tidak asal melirik permatanya yang lain.

"Baiklah, saya terima keputusan yang mulia," katanya, memutuskan akhir perdebatan.

"Bagus, Tuan Bishop, urus penyucian harta mereka. Aku menaikan upahmu menjadi 50 platinum perbulan."

Selalu ada surga dibalik sikap penurut. Ipocrati berusaha menyembunyikan senyumnya saat berkata, "Terima kasih, Yang mulia!"

"Tuan Bishop bisa mengambil separuh dari donasi jemaat."

Kemarahan sang bishop mendadak lenyap. Spontan dia berdiri dan merentangkan tangan memandang langit-langit.

"Terima kasih Yang Mulia Archbishop... Ini—ini berkat dari Lord!!!"

Archbishop merespon pujian kusyuk itu dengan senyuman. Dia mengambil kertas dan menulis catatan di atasnya. Dia melirik kalem bishop itu yang menangis lagi karena alasan lain. Sejenak menggelengkan kepala, archbishop menyerahkan secarik kertas kepada lawan bicaranya.

"Tidak lama lagi ada pertemuan penting di gereja ini. Sebagian dari mereka adalah tamu-tamu agung dari Tanah Suci Avalona. Tolong Tuan Bishop urus semuanya. Siapkan apapun yang mereka minta. Mengerti?"

avataravatar
Next chapter