27 Celestesphaira

23 September 1274 AG - 08:00 Am

Kota Tigris - Gereja Agung Celestesphaira

—————

DING! DONG! DING! DONG!

Lonceng bel gereja berdentang di tengah Kota Tigris. Gereja agung nan megah itu membuka pintu gerbangnya bagi para pengabdi Tuhan. Hari kamis itu adalah hari penting bagi penganut Celestesphaira untuk memuja 'Lord of Eternality' Tuhan mereka.

Tapi ibadah kamis di Tigris tidak semegah di kota-kota lain. Walaupun gereja agung di kota itu adalah salah satu gereja terbesar, di antara ribuan kursi yang tersedia, hanya dua deret bangku saja yang terisi para pendoa. Karena sejak Duke Barlux menjalankan revolusi, tidak banyak lagi warga Tigris yang mau beribadah.

"Demi Lord! Selamatkan saudara-saudara kita dari para pendosa!"

Seorang bishop memimpin doa diikuti ratusan jemaatnya. Amarah tercermin di matanya saat dia melihat ribuan bangku kosong. Dia merentangkan tangan dan melanjutkan doanya.

"Demi Lord! Kendalikan ilmu pengetahuan agar tidak menentang kuasa Lord!" Bishop itu menegadahkan kepala dan mengangkat kedua tangannya yang terentang. "Lord bersama kita!"

"Lord bersama kita!"

"Turunkan Duke Barlux dari jabatannya. Seret duke yang dirasuki iblis itu dari balai kota!"

"Lord bersama kita!"

"Hentikan ide-ide sesat dari Duke Barlux! Cegah kemarahan Lord!"

"Lord bersama kita!"

"Ganti duke iblis itu dengan bangsawan yang direstui Lord!"

"Lord bersama kita!"

Tidak bisa dipungkiri bahwa semakin lama ibadah gereja lebih mirip kampanye politik daripada doa-doa. Segala ujar kebencian itu terbalut manis di bungkus nama Tuhan. Meski bangku gereja hanya diisi tua renta dan jemaat berpakaian compang-camping, mereka tetap berdoa khidmad seakan besok mau kiamat. Mereka tetap percaya meskipun ditinggalkan peradaban Tigris yang semakin maju.

Itulah nasib miris gereja Celeste di Kota Tigris. Para jemaat itu adalah sisa-sisa umat yang masih berpegang teguh kepada jalan Lord. Mereka tidak tergoda nafsu dunia demi surga yang telah dijanjikan para pemuka agama.

Iya … janji-janji yang sebenarnya mereka akui bahwa semuanya hanyalah omong kosong.

15 tahun silam gereja itu selalu penuh. Rakyat harus menghentikan kegiatan duniawi demi menghadiri kegiatan-kegiatan keagamaan. Para prajurit gereja pun dikerahkan untuk memeriksa jika ada rakyat yang bolos beribadah. Semua rakyat tunduk karena konsekuensinya sangat berat. Mereka bukan hanya dicambuk didepan umum, tapi juga bisa disiksa karena dianggap sebagai heretic².

Apalagi bagi kaum perempuan. Mereka bisa dibakar hidup-hidup karena dicap sebagai penyihir².

Tapi semua berbeda ketika 15 tahun lalu Barlux du Lumiere resmi menjadi seorang duke. Pria itu secara radikal mengubah budaya gereja yang sudah mengakar selama ratusan tahun. Tidak ada lagi hukuman bagi para pembolos. Para prajurit gereja pun dilarang berpatroli karena dianggap mencampuri kewenangan resmi Kota Tigris.

Awalnya Celeste hanya diam karena duke itu didukung juga oleh marquis. Tapi semakin lama, posisi Celeste semakin terjepit karena kebijakan lain dari duke itu. Rakyat mulai menganggap pengetahuan dari gereja adalah dongeng anak-anak. Semakin berkembang pendidikan di Propinsi Tigris, semakin banyak jemaat yang meninggalkan jalan tuhan. Duke itu pun semakin terang-terangan memusuhi gereja melalui berbagai kebijakan terkutuknya.

Pendidikan di Kota Tigris memang murah. Begitupun di bidang kesehatan, pajak serta kemudahan-kemudahan lain yang memanjakan rakyat kecil. Seluruh anggaran kota lebih banyak dialokasikan kepada para kelas bawah daripada kepada kaum bangsawan.

Namun, semua itu hanya berlaku dengan syarat yang tidak mudah. Rakyat harus mau berkomitmen untuk mengikuti peraturan Tigris yang sebagian besar bertentangan dengan gereja. Jika tidak, mereka akan kehilangan hak-hak untuk mendapat fasilitas kesejahteraan. Rakyatpun memilih dan gereja mereka tinggalkan. Meski mayoritas warga Tigris masih menganut Celeste, cara beribadah mereka tidak sesuai lagi dengan apa yang diharapkan para pemuka agama.

Hanya tersisa segelintir saja para calon penghuni surga. Mereka adalah anak-anak Lord yang telah kehilangan hak-hak mereka di Kota Tigris demi membela agama. Bersama derai air mata, mereka merentangkan tangan meminta keselamatan.

"Ampuni kami Lord!"

Sebagian dari jemaat itu bahkan menangis dengan entah apa yang mereka pikirkan.

Bishop itu pun melanjutkan ibadahnya dengan doa lain yang lebih ringan.

"Kita semua Tahu, kaum wanita adalah penghuni neraka. Tapi doa kita akan menyelamatkan mereka. Mari selamatkan perempuan Tigris dari kemarahan Lord! Lindungi mereka dari nafsu menunjukan lekuk tubuh! Jauhkan mereka dari nafsu berdandan!"

"Lord bersama kita!"

Setelah mendengar ratusan pemuja itu serempak mengikutinya, sang bishop berdehem sejenak untuk memberi khotbah terakhir.

"Kalian yang terselamatkan! Berikan sebagian hartamu untuk senyuman Lord!"

Kali ini tidak banyak yang menirukannya. Sebagian jemaat bahkan pulang lebih awal saat pelayan gereja turun mimbar membawa kotak amal. Melihat fakta itu, sang bishop menyadari bahwa sisa umatnya memang berasal dari warga-warga miskin. Tapi dia tetap baik hati untuk turun mimbar dan memberi jemaatnya pemberkatan.

"Lord melindungimu, Anakku." Bishop itu bicara sambil melirik kantong uang jemaat yang diberkatinya.

Setelah memastikan mereka mengisi kotak amal yang pelayan gereja edarkan, dia mengakhiri ibadah dengan wajah yang ramah. Setidaknya, itulah yang dia tunjukan di depan mata para jemaatnya. Tapi setelah jemaat terakhir keluar dari pintu, bishop itu menendang mimbar sekeras-kerasnya.

"Keparat!"

avataravatar
Next chapter