83 Bocah Nakal

03 Oktober 1274 AG - 07:40 Am

Southforest Dungeon - Kubah Ular

—————

"Conna ... kamu adalah dewi ... izinkan aku memujamu ..."

Air mata Simian menetes. Dia tersentuh dengan cahaya yang menyelimuti badan Conna setelah si imut itu mengeluarkan skillnya. Simian langsung meraih kepala Vodi dan memaksanya ikut bersujud.

"Puja sang dewi!"

"Jangan berlebihan!" Mascara meradang. Dia kesal dengan tiga anggotanya yang masih bermain-main seperti anak kecil. "Ingat umur kalian!"

"Bisakah kamu membiarkan kami bersenang-senang?" Simian protes. Dia mendekati kepala ular besar itu dan menampar-namparnya. "Tuh, lihat. Enggak bangun, kan?"

Sekujur tubuh Mascara merinding saat Simian mencolokkan dua jarinya ke hidung ular itu. Dari ukuran kepalanya saja ular itu dengan mudahnya menelan orang dewasa. Tapi omegra predator sepanjang 20 meter itu justru melahirkan ekspresi penasaran di wajah Simian. Dia pukul lagi kepala ular itu seakan memastikan sesuatu.

"Dia sudah mati, Conna?"

"Dia masih hidup, Simian. Skillku tadi cuma menidurkannya." Conna menyahut saat menaiki tubuh ular besar itu. Setelah naik agak tinggi, dia menggunakan tubuh licinnya untuk perosotan. "Yaaayyyy!!!!"

"Sepertinya menyenangkan, Conna!"

"Iya Simian, ayo ke sini!"

"Kalian berdua gila!!!" Mascara membentak panik.

Sedari tadi dia sudah gemetaran melihat ukuran ular itu yang di luar nalar. Dia menyesal telah lengah mengawasi dua rekannya, yang sudah penasaran dengan ular itu sejak semalam. Tapi syukurlah ular itu sama sekali tidak bergerak. Mascara menaiki altar setinggi dua meter itu untuk mengendalikan Conna dan Simian.

"Berhenti main-main! Kalian mau ular ini bangun?"

Conna dengan santainya menujuk mata ular dan berkata, "Kamu enggak lihat dia sudah bangun?"

"Kyaaa!!!" teriak Mascara waktu melihat mata ular itu terjaga.

"Mascara mau salto, Conna, hahahaha!"

"Huahahahahaha!"

"Tidak lucu! Jangan bercanda!"

"Ular tidak punya kelopak mata, Mascara. Tenang saja, kalaupun aku enggak pakai skill, mereka selalu tidur di musim dingin, kok." Conna sok bijak menerangkan. "Tapi cara tidur reptil tidak seperti beruang, Mascara. Ular ini tidak sepenuhnya tidur." Si imut itu mendekati Mascara dan berbisik, "Jadi ada waktunya ular ini bangun buat minum. Tahu apa yang terjadi kalau ular ini bangun?"

Mascara menelan ludah.

"Booo!!!"

"Kyaa!!!"

"Huahahahaha!"

"Hahahahaha!!!"

"Tidak lucu! Kalian sama sekali tidak lucu!"

Mascara memegangi dadanya untuk redakan degup jantung. Dia menoleh ke Simian dan mengajak pria itu kembali serius menyelesaikan misi party. Tapi pria itu masih saja meraba kepala ular seperti anak kecil.

"Conna. Kalau aku colok matanya, apa dia akan membalas?"

Conna memutar matanya ke atas dan menempelkan jari telunjuk ke sudut bibirnya sendiri.

"Tidak tahu Simian, coba saja. Aku juga penasaran."

"Berhenti membuatku jantungan!" Mascara getok kepala Conna dan Simian bersamaan. Dia jewer telinga keduanya dan menarik mereka menuruni altar. "Aku tahu kalian mau mengerjai aku! Fokus! Fokus! Jangan main-main!"

"Ekspresi panikmu itu tidak ternilai, Mascara!"

"Iya betul! Huahahaha!"

TAKKK!!

TOKKKK!!

"Hiks! Uwaaaaa! Mamaaaa!!!"

"Baiklah, baiklah, ampuni kami, Mascara." Simian menyudahi bercandanya sambil mengelus jidatnya yang baru saja kena getok. "Analisamu?"

Mascara masih melihat Simian dengan muka sebal. Dia kembali memasang wajah serius setelah memastikan dua rekannya tidak lagi usil.

"Kubah ini titik terendah dungeon," ujarnya, mengamati sekitaran dan mengambil satu anak panah untuk menggambar di lantai. "Kita tadi masuk dari hutan selatan Tigris, dan menelusuri dungeon kira-kira 5 kilometer jauhnya dari pintu masuk ... ehmm ... uhh ..."

"Kamu menggambar keju? Pffttt..."

"Jangan meledek! Aku serius!" Mascara getok lagi kepala Simian yang meledek coretannya. Dia meneruskan menggambar dan garuk-garuk kepala kesulitan. "Conna, tolong bantu aku."

Conna mengambil anak panah dan menggambar obyek yang lebih mirip segitiga daripada karya seni Mascara. Gadis itu membuat garis melengkung di sudut dalam segitiga itu dan menulis angka-angka.

"Aku tidak tahu berapa sudut pastinya karena skill-ku tidak bisa menghitung sesuatu yang tidak aku lihat. Tapi kalau pakai rumus trigonometri, kita mungkin berada 500 meter di bawah permukaan tanah. Ini pegunungan Coda kan, Mascara?"

"Iya. Kita berada di tengah-tengahnya."

"Jika kubah ini titik terdalam, artinya ada jalan menuju sisi satunya. Kamu tahu arahnya?"

Mascara mengangguk. Dia menunjuk pintu kubah satunya dan berkata, "Kemungkinan dungeon ini menuju lembah terlarang."

"Seperti dugaanku, pantas saja omegra predator itu ada di sini. Lembah itu dipenuhi omegra untuk para petualang rank-S," sambung Conna menyimpulkan.

Mascara mengetuk-ketuk bagian atas bibirnya sendiri seperti kebiasaannya saat berpikir. Dia menoleh ular itu dan mencolek si pecandu buku.

"Natrixium rank-A saja hanya sepanjang 10 m. Ular itu jenis apa?"

"Awalnya aku kira ular itu jenis Eunectex yang berasal dari Anaconda. Tapi karena ukurannya lebih kecil, mungkin Molurux dari Python."

"Anaconda? Python?"

"Belum pernah mendengar namanya, kan?"

Mascara mengangguk.

"Baik Eunectex maupun Molurux hidup negeri tropis seperti Benua Shambala atau sebagian dari Benua Alkebula. Dia tidak seharusnya ada di Benua Meropis yang empat musim. Berhubung lembah terlarang hanya boleh dimasuki petualang rank-S, mungkin spesies di sana lebih beragam dari yang kita kira."

"Apa ular itu beracun seperti Natrixium?"

"Sama sekali tidak. Yang aku tahu dari buku, jenis ular besar itu hanya mengandalkan belitan. Mereka tidak punya racun. Kecuali bagi omegra spesies Ophiohannax yang berasal dari spesies King Cobra. Kalian juga belum pernah dengar, kan? Huahahaha!"

Mascara dan Simian menganggukan kepala bersamaan seperti anak kecil mendengarkan dongeng.

"Apa ular itu bisa bangun? Dia tidak melihat kita, kan?"

"Sudah aku bilang ular tidak seperti beruang di musim dingin, Mascara. Mereka tidak sepenuhnya tidur." Conna mengarahkan jari ke mata ular itu. "Kamu lihat matanya? Di mata ular itu, kita terlihat seperti siluet kuning jingga di antara biru gelap. Sebagian besar ular bisa melihat panas tubuh, Mascara."

Simian terperanjat.

"Mirip seperti skill dasar seorang Pyro sepertiku!?"

"Tepat sekali. Itu mirip skill pyrodope yang bernama Viduparma."

Conna bergaya seperti pengajar perguruan tinggi meski kenyataannya dia memang guru besar betulan. Mascara mengangguk mendengar penjelasannya, begitupun Vodi dan Simian. Meski wajah si imut itu masih dipenuhi coretan arang,  Mascara tidak berani tertawa karena tidak mau kehilangan uangnya. Mascara pun fokus karena pengetahuan apapun yang keluar dari bibir Conna, harganya tidak pernah murah.

Terlebih, Conna mengajar di perguruan tinggi terbaik seluruh benua di Kerajaan Atlantia.

Tahu berapa gajinya?

Si kecil itu terlampau kaya meski uangnya selalu habis untuk beli buku atau membiayai penelitiannya yang aneh-aneh. Setelah selesai si imut itu memberi kuliah gratis, Mascara segera menjalankan tugas yang Simian perintahkan.

Namun, sebelum kakinya melangkah, dia memegang kedua tangan pria itu dan menatap teduh pupil birunya.

"Aku tidak pernah meragukan keputusanmu. Tapi bersumpah lah atas namaku, Simian. Kita akan selamat, 'kan?"

"Iya, aku bersumpah atas namamu, Mascara del Stauven. Mereka pasti kebingungan sekarang."

Hmm, siapa yang kebingungan?

avataravatar
Next chapter