97 Aku Mencintaimu

04 Oktober 1274 AG - 10:00 Am

Pegunungan Coda - Lembah Terlarang

—————

"Katakan sesuatu. Aku siap mendengar apapun." Mascara mencoba tersenyum. Sesekali dia membenahi jaket Simian yang agak kendor di tubuh langsingnya.

Simian merasa sudah siap. Dia sudah menyiapkan semua jawaban manis andaikata Mascara menanyakan kenapa jaket berwarna hazel itu dia kenakan. Setelah gadis itu siuman, hal pertama yang Mascara lakukan adalah mengajaknya bicara berdua.

Simian merasa siap. Lebih tepatnya, dia hanya merasa.

"Maafkan aku."

"Maaf untuk apa?"

Nada bicara Mascara sedikit bergelombang. Simian yakin gadis itu sedang menghibur dirinya bahwa tubuhnya tidak ternoda. Simian berusaha sekeras mungkin agar Mascara tidak tahu kejadian yang sebenarnya.

"Aku hampir menjamahmu."

"Bukannya kamu sering melakukannya?" Mascara membalas sarkastik. Hanya saja, kali ini tidak ada kesan menggoda seperti yang biasanya dia lakukan.

Simian mulai cemas. Mascara terlalu kritis membaca kebohongannya.

"Aku meremasnya ... dan ..."

Simian segan untuk mengucapkan kata-kata yang lebih vulgar. Bukan karena takut dipukul, dia takut Mascara menangkap secuil kontradiksi. Namun dia tidak punya pilihan lain selain mengarang cerita bahwa dia telah berbuat tidak senonoh.

"Conna sibuk melawan mereka. Awalnya aku membuka jaketmu untuk memeriksa luka-luka. Tapi kau tahu, tidak ada tubuh perempuan manapun yang meng—meng—mengoda hasratku selain tubuhmu ..." Jakun Simian naik turun. Dia menghindari kontak mata karena separuh dari kebohongan itu adalah kejujuran.

"Hei monyet, Conna sempat cerita kamu meremas pantatku waktu aku pingsan karena kecoa. Jujur padaku! Aku kamu apain aku lagi waktu di kubah tadi?"

Simian mulai berani memandang setelah merasa Mascara mempercayai kata-katanya.

"Iya ... aku meremas ... meraba ... dan ..." Lidah Simian terasa kelu. Dia terpaksa berkata, "Dan mengemut—

PLAK!

Mascara menutup kedua dadanya meski sudah mengenakan jaket.

"Kamu sadar apa yang kamu lakukan?"

PLAK!

"Aku saudaramu, Simian!"

PLAK!

Mascara mulai menangis. Simian tidak tahu apakah airmata itu karena Mascara merasa dia lecehkan, atau lega karena bukan Preponte yang melakukannya. Simian membiarkan Mascara memukulnya tanpa menangkis sedikitpun.

"Aku saudaramu ... Simian, hiks."

Pukulan itu itu semakin melunak. Secara reflek Simian menangkap bahasa tubuh Mascara yang minta dipeluk. Dalam posisi berdiri, dia meraih tubuh Mascara dan membelai rambutnya.

"Aku pria Stauven. Aku tahu resiko dari perbuatanku. Kamu cantik. Aku tidak pernah bosan menyatakannya."

PLAK!

Tamparan lembut itu mengusik ketenangannya. Terlebih, Simian melihat senyum kecil di bibir Mascara.

"Ini bukan saat yang tepat untuk merayuku. Beri aku kata-kata yang masuk akal. Bukan obralanmu ke banyak gadis!"

"Aku tidak bohong."

Mascara hendak menamparnya lagi, tapi dia urungkan. Gadis itu memilih buang muka seperti dia berusaha membuang trauma buruknya.

"Aku siap—

"Bertanggung jawab untuk sesuatu yang tidak kamu lakukan?"

Simian terhenyak. Mascara ternyata masih belum bisa menyingkirkan kecurigaannya.

"Ak—aku—

"Hanya karena tubuhku?"

Simian merasakan makna lain. Kalimat Mascara barusan lebih mirip meminta kejujuran daripada kalimat palsu untuk menenangkan. Simian mulai memperhitungkan apakah kalimat itu harus dia ucapkan.

"Kamu hanya menginginkan tubuhku, kan?"

"Tidak," jawab Simian mempererat pelukannya. Setelah menghela napasnya, dia nekad berkata, "Karena aku mencintaimu, Mascara."

Gemetar di tubuh Mascara langsung terhenti. Dia menatap Simian dengan mata analitisnya karena sebuah kalimat yang meluncur begitu saja. Simian tidak sanggup menelan lagi kata-kata sakral yang terlanjur dia ucap.

"Iya, aku mencintaimu. Aku sungguh-sungguh. Aku—

PLAK!!!

Mascara menamparnya lagi setelah melepaskan pelukan. Dia menatap Simian dengan mata berkaca-kaca dan pipi yang semakin basah. Dia tidak mengucapkan sepatah katapun. Gadis itu hanya menatap Simian dengan tatapan rumit yang sulit diterjemahkan.

PLAK!!

Simian membiarkan Mascara meluapkan perasaannya. Dia biarkan si tomboy itu menamparnya hingga sudut bibirnya berdarah. Simian membiarkannya karena Mascara pasti membayangkan segala kemungkinan yang telah Preponte lakukan. Harga dirinya pasti tercabik-cabik karena manusia pertama yang menjamahnya adalah pria yang dia anggap paling hina.

Tangan Simian terulur perlahan. Dia raih jemari gadis itu untuk memberinya ketenangan.

"Mascara ... aku serius tentang perasa—

"Jangan sakiti aku dengan belas kasihanmu." Mascara memotongnya. Dia beranjak dan pergi meninggalkan Simian setelah menghapus airmatanya. "Anggap kita tidak pernah bicarakan apa-apa, dan ... terima kasih untuk semua omong kosongnya."

Simian menghela napas. Dia tersenyum kecut melihat Mascara yang sudah bercengkrama dengan banyak orang.

"Mood perempuan memang susah ditebak."

"Itu tandanya dia mulai membuka pintu untukmu, Simian. Dia ingin kamu mengejarnya." Seseorang nyeletuk.

"Hmm ... Masuk akal juga." Simian langsung mencubit hidung makhluk imut yang suka nguping. "Sejak kapan kamu di sini?"

"Sejak kamu mengungkapkan perasaan ke kakak perempuanmu sendiri."

Cubitan itu berpindah ke dua pipi bulatnya.

"Aku cuma menghiburnya. Jangan salah sangka." Simian mengelak. Dia buang muka dari Conna yang mulai sibuk mengejar wajahnya. "Ayo kita berkumpul. Kita harus atur strategi."

avataravatar
Next chapter