104 Akhir Penjelajahan

"Kita serius. Panggil anak buahmu!"

Yadz memanggil tiga Qalamist yang bertugas menghadang para mercenary menuju lembah terlarang. Dari luka-luka ringan yang mereka alami, tiga Qalamist itu memang prajurit elit. Simian bicara pada mereka dengan Bahasa Iram.

"Rencana kita berjalan lancar. Tidak lama lagi suku kalian bebas dari segala tuduhan."

"Sudah kumpulkan bukti-buktinya?" Yadz bertanya.

"Masih sebagian dari pengakuan Prajurit Arcadia. Tinggal beberapa langkah lagi."

"Apa aku harus ikuti taktik tidak terhormatmu lagi?"

Simian menepuk lagi kedua pundak Yadz.

"Kita bersahabat lama, Yadz. Kamu sudah tahu berapa nyawa yang aku selamatkan melalui strategi yang katamu pengecut itu."

"Baiklah, aku bosan mendengarnya. Karena kamu aku terpaksa menipu sebagian anak buahku sendiri. Sekarang kami tidak bisa kembali ke Jabulqa, Firehead. Kami pasti jadi buronan."

"Kamu menganggap para bar-bar itu anak buahmu? Suku Karabal sungguh baik hati." Simian menjawab sarkastik.

Yadz pura-pura tuli. Simian malas melanjutkan sindirannya dan memilih berbicara dengan seorang gadis imut. Dia mencolek Conna yang sibuk menangisi bangkai ular besar.

"Nanti aku carikan peliharaan yang lebih bagus."

"Kamu janji, Simian? Hiks. Kasihan si Elly, hiks."

"Iya. Nanti aku carikan yang lebih besar dari ular ini. Dasar gadis eksentrik."

Conna langsung menyodorkan dahinya minta dielus. Kebiasaan sejak kecil itu kontan memicu komentar seseorang yang masih dendam karena sebuah sindiran.

"Ehem ... apa nona priestess ini juga anggota harem, Firehead?"

"Najis!" Simian dan Conna menjawab bersamaan.

Yadz tersenyum kecil. Dia merendahkan badannya dan ikut-ikutan mengelus rambut Conna.

"Nona lawan terburuk para pyro sepertiku. Benda apa yang tadi nona gunakan?" Yadz menanyakan benda yang tadi membutakan mata Fiduci.

"Kalian tahu pohon Pyrocalyptus?" jawab Conna, menunjukan gaya mengguruinya yang khas. "Bagian tertentu pohon itu memiliki uap yang mudah terbakar. Sedangkan skill Viduparma sangat sensitif terhadap panas."

"Bahkan anda sengaja memancing kemarahan Fiduci agar dia mengeluarkan skill Superkolero, Nona Lumiere."

Conna justru melihat ke arah Simian dengan wajah meledek.

"Yang itu rencana si cabul ini. Aku hanya memberi dia data saja, Tuan Yadz."

"Memancing emosi itu bukan hanya untuk menguras mana dia, Yadz." Simian menambahkan. "Tapi juga demi suhu badannya. Suhu badan seorang Pyro seperti kita akan meningkat pesat jika meng-aktifkan skill Kolero. Apalagi bagi rank-S seperti tua bangka itu. Suhu badannya lebih dari cukup untuk memantik ledakan dari uap pyrocalyptus."

"Dengar, Tuan Yadz? Pria ini membuatku sulit memahami jarak antara jenius dengan idiot."

"Aku bukan idiot!"

"2 + 4 + (1 x 2) = ?"

"100!"

"Dengar sendiri, Tuan Yadz? Dia bahkan tidak bisa hitung-hitungan sederhana, huahahaha!"

"Bagian mana dari pertanyaanmu yang sederhana?" Simian tidak terima. "Jangan menghinaku! Mascara lebih jago matematika darimu!!!"

"Aku tak bisa hitung-hitungan lain selain menghitung uang, Simian."

Semua laki-laki miskin langsung jaga jarak dari Mascara, termasuk Yadz.

"Bagaimana dengan skill menghilang tadi, Nona Lumiere?" Yadz bertanya lagi.

"Ah, itu hanya ilusi cahaya. Hanya berlaku di ruangan remang dan korbannya pun harus terkena debu dari jamur halusinasi."

Yadz semakin takjub.

"Sayangnya anda adalah priestess ajaran Celeste yang benci pengetahuan. Saya dengar, ajaran Celeste membasmi perempuan yang dicap penyihir. Kenapa tidak anda pindah ke Qalamist saja?"

Conna langsung membalasnya.

"Meski Qalam lebih maju di ilmu pengetahuan, tapi bukannya ajaran itu patriakal¹?"

"Ada dua sekte ajaran Qalam, Nona Lumiere. Ada sekte Tajwih yang sama kakunya seperti Celeste, bahkan parah lebih karena membatasi perempuan. Ada juga sekte Tabie yang murni mengikuti Al Maerifa penyelamat kami. Saya yakin Nona Lumiere pernah membacanya."

"Aku sudah tahu." Conna menjawab santai dalam bahasa Iram yang tidak kalah fasih dari Simian. "Aku juga sudah baca kitab suci Qalam, Dua kitab dari sekte Tajwih dan satu kitab dari sekte Tabie." Dia ulurkan tangan menagih. "Mana kitabmu yang lain? Sini aku minta!"

Yadz langsung kelabakan hingga mengundang celetukan Simian.

"Kamu salah menawari orang, Yadz! Hahaha!"

Setelah melewati lorong dari lembah terlarang menuju kubah, Simian mengenyitkan dahi ketika mencium anyir darah di seluruh ruangan. Dia berjalan melewati altar ular itu dan melihat pintu keluar sudah dipenuhi mayat.

"Sepertinya Preponte sudah kabur bersama beberapa orang New Age Order." Simian berkomentar.

Dia melihat sebagian besar mayat-mayat itu sudah tidak utuh. Ada yang hilang kepalanya, lengannya, tercabik perutnya, hingga cuma tersisa zirahnya saja. Pria itu mengayunkan pedang ketika melihat beberapa aprodesylvax mendekat.

"Cih, tikus-tikus itu rakus sekali!"

Di pintu masuk itu dia melihat beberapa tikus masih menggerogoti mayat-mayat marcenary New Age Order. Dia juga melihat bangkai-bangkai tikus yang mungkin berjumlah ratusan di sekitar mayat-mayat itu. Di antara tumpukan tubuh yang masih hangat, terdapat dua sosok mayat yang langsung mengundang tangis sesegukan seseorang. Simian menepuk pundak Ottuso yang meratapi sisa tubuh dua rekan party-nya.

"Mereka tewas karena keputusan mereka sendiri, Tuan Ottuso."

"Saya paham, Tuan Muda. Tapi walau bagaimanapun saya bersama mereka bertahun-tahun, hiks..."

Simian menundukan kepala. Dia memberi kesempatan mantan rekan Preponte itu menyelesaikan duka citanya. Tapi di tengah nuansa berkabung itu, seseorang main colek.

Conna meminta Simian merendahkan badannya untuk sebuah bisikan.

"Ada archer lain yang butuh perhatianmu, Simian. Ayo, mumpung Mascara masih membuka hati untukmu!"

avataravatar
Next chapter