1 Awal Perselingkuhan

"Saya tidak enak, Pak. Kalau setiap hari nebeng terus."

Aku tersenyum-senyum melirik ke arah pria dengan usia lebih matang dariku. Pak Andrew, atasanku. Dia sedang mengemudi di sampingku. Kami tambah akrab saja setelah kurang lebih satu minggu aku sering nebeng mobilnya.

"Enggak apa-apa, Alya. Enak malah. Ada teman ngobrolnya."

Andrew menyahut. Suaranya terkadang genit. Namun entah kenapa aku selalu nyaman dengan canda tawanya. Bahkan, tidak jarang beliau menyelipkan candaan nakal yang mengarah ke mesum, tapi entah kenapa aku tidak merasa tersinggung karena beliau memang bermaksud bercanda. Aku pun merasa tidak direndahkan.

Kemudian, aku mendengarkan ceritanya tentang anak-anaknya. Anak-anak yang baru menginjak usia sekolah dasar. Nakal dan masih lucu-lucunya.

"Oh iya, gimana kamu? Sudah bikin anak belum?" Andrew berseloroh.

"Ih, Apaan sih, Pak."

Aku menyahut sambil mencubit lengannya. Akrabnya kami memang sudah melebihi batas. Namun, entah kenapa aku merasa ingin lebih dari itu.

"Pasti setiap malam kan sama suami kamu?"

Andrew menggodaku. Meledekku. Aku tertawa. Kembali melayangkan cubitan tepat ke perut Andrew yang keras. Pria itu kesenengan menahan cubitanku sambil tetap memegangi stir kemudi.

"Enggak mungkinlah, Pak. Kalau tiap malam."

Aku sengaja tidak membeberkan lebih lanjut. Tentang permainan suamiku yang kentang. Malu rasanya. Aku harus menjaga rahasia itu.

"Kenapa enggak? Kalian kan masih muda. Belum ada setahun menikah. Pasti tenaganya masih ok tuh."

Aku hanya meringis mendengarnya. Seandainya aku menceritakan yang sebenernya. Pastinya Andrew akan meledek suamiku habis-habisan. Aku sendiri kadang sebal dengan suamiku yang tidak mampu menjadi lelaki perkasa yang aku inginkan. Terlebih sudah setahun pernikahan ini, aku tidak kunjung hamil juga. Aku merasa tidak utuh menjadi seorang wanita.

Andrew terus mencecariku. Pria yang sudah berusia matang ini. Tiga puluh dua tahun. Sangat baik dalam memperlakukanku. Bahkan, dia melontarkan kalimat-kalimat romantis yang membuatku yang masih muda ini melayang-layang. Aku merasa kalau aku dan Andrew sudah terlalu jauh.

"Sudahlah, Pak. Jangan bahas begituan." Aku berkata karena agak terganggu dan risih.

"Maaf, Alya."

Andrew tidak meneruskan perkataannya. Sangat mengerti perasaanku.

Keesokan harinya, beliau kembali menjemputku. Rumahku terletak di khawasan kompleks.

"Kok kayaknya lemas. Hayo habis berapa ronde?"

Andrew meledekku. Aku hanya bisa tertawa. Seandainya semalam, suamiku mengagahiku seperti yang ditanyakan oleh Andrew. Pasti senang sekali hatiku. Sayangnya, aku hanya melakukan pemuasan diri mengingat suamiku sudah terlelap. Kelelahan.

"Ih, Pak Andrew. Pagi-pagi sudah membahas hal itu."

"Ya kan, enggak apa-apa. Sama-sama dewasa. Lagian yang aku tanyakan kamu dengan suami kamu. Bukan sama orang lain."

"Ih, mau tahu saja."

Aku kembali melayangkan cubitan ke pinggangnya. Pria itu menghindar.

"Masa iya sih, Pak?" Aku bertanya saat Andrew membahas soal cairan pria.

"Iya, katanya bisa bikin awet muda."

Mendengar penuturan Andrew. Entah kenapa, aku terbawa. Apalagi aku melihat sesuatu di balik celana Andrew.

"Memangnya kamu tidak pernah?"

"Enggak pernah, Pak." Aku membalas dengan polosnya.

"Lho, masak enggak pernah?" Pria itu mengernyit keheranan. Sangat wajar dia keheranan. Karena aku sendiri tidak pernah merasakan hal itu. Apalagi punya suamiku juga tidak seberapa bernas. Tidak begitu menggoda. Namun, aku tidak mau membuka hal ini di depan Andrew.

"Berarti hanya masukan saja gitu?" Andrew kembali bertanya. Aku hanya mengangguk. Entahlah, sekalipun Andrew kepo dengan urusan ranjang. Namun, entah kenapa aku tidak merasa tersinggung. Malah aku ingin tahu dari sudut pandang dia. Bagaimana pria itu melakukan hal 'panas' tersebut dengan pasangannya.

"Coba deh kamu lakukan itu, hisap dulu. Selain berguna buat kamu. Suamimu juga akan merasa puas."

Andrew memberikan nasehat kepadaku. Aku tidak tahu ini wajar atau tidak. Tapi, yang jelas, dari penjelasannya itu juga mengandung ilmu. Memang hubungan ranjangku antara aku dan suamiku kurang menarik. Monoton membosankan. Mungkin karena masing-masing dari kami sama-sama belum pengalaman. Berbeda dengan Andrew yang sepertinya sangat pengalaman. Hal yang membuatku penasaran kepadanya.

Sampailah di kantor, kami melakukan pekerjaan kami seperti biasa. Aku sempat melihat pandangan dari beberapa rekan kerja tentang diriku yang selalu membonceng Andrew. Namun, aku cuek saja.

Menjelang jam kerja usai pada sore hari, Aku menuju toilet. Merasakan nikmat akibat derasnya selang air semprotan ke bagian bawahku.

Tiba-tiba di tengah keasyikanku, ponselku berdering. Aku agak sedikit terkejut. Menghentikan sebentar keasyikanku. Dan langsung mengangkatnya.

"Alya, sudah siap-siap? Aku tunggu di parkiran ya?"

Aku mengiyakan. Ah, Andrew. Bisa-bisanya kamu mengagetkanku yang sedang nikmat ini. Apalagi sambil membayangkan kamu.

Aku segera merapikan diri. Bersiap-siap untuk pulang mengingat ini jam pulang. Aku agak terburu-buru menuju parkiran. Tidak mau kalau Andrew menunggu terlalu lama.

Di parkiran, aku berhadapan dengan Andrew yang berdiri gagah menungguku.

"Sudah menunggu lama ya, Pak?"

"Enggak kok, barusan. Kirain kamu lembur."

Pria bertubuh sawo cerah itu mempersilakanku masuk ke dalam mobil. Jangan salah, meskipun dia bertubuh bersih. Terawat. Tapi badannya menonjol sana-sini. Kekar. Gimana aku tidak tergoda untuk tenggelam dalam pelukannya. Apalagi sikapnya yang begitu memanjakan aku. seperti sekarang yang membukakan pintu supaya aku masuk.

Perjalanan pulang. Masih saja Andrew menggodaku dengan membahas pagi tadi. Mengenai kegiatan percintaan. Namun, tetap saja dengan candaan yang tidak menyinggung.

Lagi asik bersua dengan Andrew. Tiba-tiba ponselku berdiri. Aku meminta izin kepada Andrew untuk mengangkatnya.

Andrew hanya mengangguk. Mempersilakanku. Aku langsung mengangkatnya. Telfon dari suamiku. Aku membuang pandangan ke sisi kiri jalan. Suamiku mengabarkan bahwa dia pulang hingga malam karena lembur.

Aku mengiyakan perkataan suamiku. Tentunya dengan ucapan yang lembut dan mesra. Begitu aku menutup telfon, langsung saja aku ditodong oleh pandangan Andrew ke arahku dengan wajah yang serius.

"Dari suamimu?"

"Iya, Pak."

"Apa katanya tadi?"

"Dia pulang telat karena lembur."

"Oh, ini punya kamu tadi jatuh pasti kamu mengambil ponsel dari tas."

Langsung saja aku terperanjat. Bagaimana tidak. Itu adalah pakaian dalamku yang sudah kupakai seharian. Sengaja kulepas ketika ke toilet tadi. Dan sekarang pria itu memegangnya. Mau ditaruh di mana wajahku yang memerah ini .

Ketika aku hendak menerimanya. Pria itu malah menarik tangannya yang memegang pakaian dalamku. Yang membuat mataku terbelalak tatkala aku melihat pria itu menempelkan pakaian dalam itu ke hidungnya. Menghirupnya dalam-dalam. Begitu ekspresif seolah-olah sangat menikmatinya. Aku yang tidak tahan dengan perbuatannya langsung merebut pakaian dalam itu dengan cepat dan kasar dan memasukkannya ke dalam tas.

"Maaf, Alya. Aku hanya bercanda."

Aku tidak menjawab. Perjalanan pulang aku mendiamnya. Aku malu. Bahkan sampai di depan rumah, aku tidak mengucapkan terima kasih dan langsung masuk ke dalam rumah.

Aku menghempaskan tubuhku di atas kasur tanpa melepas pakaian kerjaku terlebih dahulu. Hanya tas yang berisi celana dalamku tadi yang kulempar di aras kasur juga.

Sedikit kesal dengan ulah Andrew tadi, tapi entah kenapa aku malah terbayang-bayang. Apalagi saat melihat wajahnya yang begitu menikmati saat menghirup bau dari pakaian dalam yang sudah bercampur dengan keringatku. Jujur, di lubuk hatiku terdalam aku tersirat rasa seksi dan tersanjung. Aku tersenyum-senyum.

Aku meraih tasku. Mengambil pakaian dalam yang dipegang Andrew tadi. Menerawangnya. Entah kenapa ada desiran tidak biasa memenuhi tubuhku. Aku sampai tidak menyadari. Tanganku nakal menyentuh bagian bawah. Bagian bawahku yang selalu polos dan tidak berbulu karena sering aku rawat. Dan aku merasakan cairanku yang keluar.

Tiba-tiba, aku mendesak. Dalam anganku, aku terbayang oleh sesuatu yang menonjol. Milik Andrew.

Aku melanjutkan kegiatanku di toilet kantor tadi. Bagaimana dua jariku bermain-main di bawah sana. Basah sekali. Mirip banjir. Andrew harus tanggung jawab kenapa aku bisa sepanas ini.

Pucuk dicinta ulam pun tiba, ketika aku membatin Andrew. Tiba-tiba dia telfon. Dengan perasaan yang gemetar. Aku mengangkatnya.

"Iya, Pak. Ada apa?"

Ternyata, Andrew meminta maaf atas kelakuannya yang tidak pantas tadi. Dengan sangat kurang ajar mencium pakaian dalamku.

"Iya, Pak. Enggak apa-apa. Lain kali jangan begitu lagi." Aku berucap dengan tegas. Padahal aslinya aku sangat menyenangi apa yang dilakukan pria itu. Sampai-sampai aku kebasahan begini. Gatal juga.

"Sekali lagi, Maaf Alya. Aku terbawa nafsu." Begitu dia bilang. Terus terang. Apa adanya. Aku suka dengan sikapnya yang mau mengakui kesalahan.

Keesokan harinya, kami bertemu kembali. Aku bersikap biasa. Menyapanya. Lantas duduk di sampingnya. Andrew terlihat sumringah melihat sikapku yang seperti biasa. Pertanda aku tidak marah lagi.

Seperti biasa, Andrew mengajakku mengobrol ringan. Candaan-candaannya yang khas. Namun, kali ini dia tidak menyinggung tentang hal-hal yang berbau persenggamaan. Pria itu tampak sangat menjaga sikapku. Yang entah kenapa aku tidak suka dia begitu. Aku merasa ada yang hilang. Andrew dengan perkataannya. Dengan godaan-godaan nakalnya.

Begitu pun di kantor, aku melihat atasanku itu lebih banyak diam. Membuatku merasa tidak nyaman. Maka aku memutuskan untuk mengirimkan pesan kepadanya.

'Pak Andrew, kok lebih banyak diam ya?'

Langsung dibalas oleh Andrew. Pria itu selalu sigap kalau aku kirim pesan.

'Enggak apa-apa, Alya. Takut kalau kamu masih marah.' Mungkin Andrew perasaan karena selama ini telah berbuat kurang ajar denganku. Candaan-candaan nakalnya, menyinggung urusan ranjang dengan suamiku. Bahkan, sampai kejadian mencium celana dalamku. Tentu adalah hal yang sangat tidak pantas dan melecehkan. Namun, sekali lagi, entah kenapa batinku seperti menerimanya. Sah-sah saja.

'Emangnya aku masih keliatan marah ya, Pak.'

'Enggak sih, hehe.' Dia menambahkan emoticon nyengir.

Aku agak bingung untuk membalas apa. Aku kehabisan kata-kata. Padahal aku ingin sekali chattingan lebih lama dengan Andrew.

'Alya, boleh aku tanya sesuatu, tapi kamu jangan marah ya.'

'Mau tanya apa Pak? Asal tidak kurang ajar saja.' Aku membalas pesannya dengan cepat.

'Ya, sudah. Enggak jadi kalau begitu.'

Aku mengernyit dahi.

"Kenapa memangnya Pak? Mau tanya apa sih?"

"Enggak jadi saja."

"Sudah enggak apa-apa. Bicara saja, Pak."

"Kamu pakai celana dalam tidak?"

Langsung aku tertohok dengan pertanyaannya. Kukira dia mau bertanya apa. Aku sudah sangat penasaran dan menyimak. Namun, kenyataannya hanya berkata nakal seperti itu.

'Maaf ya, Alya. Aku lancang bertanya.'

Aku tersenyum-senyum sendiri. Ternyata Andrew juga penasaran denganku. Aku tidak membalas pesannya. Membiarkannya sampai sore hari.

Kami bertemu sepulang bekerja. Aku memboncengnya tanpa ada pembicaraan sama sekali. Biasanya Andrew memulai pembicaraan. Tapi kali ini tidak. Dia pasti kepikiran dengan pesannya tadi yang tidak aku balas.

"Ehem, Alya."

"Iya, kenapa Pak?"

Aku menoleh. Rasanya mau pingsan saat melihat tonjolan di balik celana pria itu. Seandainya aku tidak sadar dengan tindakanku aku pasti langsung menjerit dengan kencang. Untung saja, aku bisa mengendalikan diri.

"Pesan yang tadi lupakan ya?"

"Pesan yang mana Pak?" Aku berpura-pura. Padahal aku sudah membacanya.

"Yang soal kamu pakai celana dalam atau tidak tadi."

'Memangnya kenapa sih Pak? Bapak mau lihat?' Aku menjawabnya dalam hati. Belum mau mengatakannya kepada Andrew.

"Jangan begitu lagi, Pak. Aku enggak suka." Padahal suka banget. Apalagi sekarang yang ada di depanku adalah lelaki gagah yang sedang panas-panasnya. Jelas sekali kalau pria ini nafsu denganku, tapi terlihat dia tidak mau nekad. Langkahnya penuh perhitungan.

Lelaki memang terobsesi dengan dalam wanita apalagi yang ada di dalamnya. Dan itu terlihat dari sikap Andrew kemaren. Mungkin karena mencium pakaian dalamku. Sampai di rumah dia terbayang-bayang. Aromanya sirih bagian bawahku. Apalagi kalau sampai mencicipinya. Duh, bagaimana kalau kesampaian Andrew mencicipi bagian bawahku ini.

"Terima kasih ya, Pak."

Aku mengucapkan terima kasih setelah dia mengantarkanku sampai di depan rumah. Pria itu hanya mengangguk. Namun, tampak aneh dari wajahnya yang seperti ngeden. Memerah. Aku tidak memperdulikannya langsung menuju ke rumah.

"Hah, tasku!" Aku menepuk jidat begitu sadar tasku tidak ada di lenganku. Mungkin karena canggung dengan Andrew sampai-sampai begitu sampai rumah aku buru-buru keluar.

Aku kembali menghampiri mobil itu. Langsung membukanya. Alangkah terkejutnya aku tatkala melihat Andrew dengan keperkasaannya yang menegak.

avataravatar
Next chapter