1 Boven Digul

Boven Digul adalah sebuah neraka yang terletak di sisi timur Pulau Papua yang dikuasai oleh Kerajaan Belanda dan berbatasan dengan Prussia Nugini yang merupakan Koloni Federasi Prussia di tenggara Pulau Papua. Tempat tersebut merupakan tempat pembuangan bagi tahanan politik dengan kondisi alam yang sangat liar dan ganas. Sehingga dengan kondisi alamnya yang liar dan ganas tersebut, dapat menekan perlawanan, dan menghancurkan mental dari para tahanan politik di Kerajaan Belanda.

Para tahanan politik baru tiba di Bandara Boven Digul dengan dikawal oleh para Tentara bersenjata berat. Mereka merupakan para tahanan yang dihukum atas keterlibatan mereka dalam berbagai aksi politik yang merugikan Pemerintah Hindia Belanda.

Orang-orang itu berjalan kaki cukup jauh untuk dibawa ke sebuah perkampungan yang merupakan tempat tinggal bagi para tahanan politik. Perkampungan itu merupakan rumah-rumah kayu yang terlihat cukup sederhana dengan aura yang terasa begitu dingin seolah-olah tidak ada kehidupan.

"Selamat datang di Boven Digul. Neraka di mana kalian akan mati membusuk!" sambut seorang lelaki kulit putih berbadan tinggi besar dengan mukanya yang terlihat sangar dan nada bicaranya yang kasar. Dia adalah Eksert van der Schaaf, Kepala Sipir di Boven Digul. "Silahkan pilih rumah kalian masing-masing. Mengingat masih ada beberapa rumah kosong untuk menjadi kuburan kalian," sambungnya dengan tertawa jahat.

Para tahanan itu berjalan sambil mencari rumah yang kosong. Tatapan para tahanan lainnya menatap para tahanan baru itu dengan tatapan yang dingin. Mengingat di Boven Digul bukanlah tempat yang ramah bagi orang-orang.

"Jangan khawatir. Cepat atau lambat kita akan bebas," kata seorang lelaki China yang bernama Jin Feng dengan santainya. Jin Feng segera berjalan mendahului rekan-rekannya. Dia memilih rumah nomor sebelas yang terletak di dekat sebuah pohon pisang raksasa. "Aku kira ini hanya omong kosong belaka. Ternyata pisang raksasa di Papua itu benar-benar ada."

Seorang lelaki Jawa yang bernama Suripto memilih rumah nomor enam belas yang berada di paling ujung komplek rumah tahanan tersebut. Suripto memasuki rumah yang kosong dengan debu yang begitu tebal serta banyaknya sarang laba-laba. Rumah itu terasa kosong dan hampa, tanpa adanya beberapa perabotan. Yang ada hanya sapu, meja, dan kursi yang dipenuhi dengan debu.

"Mungkin ini tempat yang cocok bagi diriku agar bisa mendapatkan ketenangan, kenyamanan, dan kedamaian," katanya sambil mengambil sapu dan mulai membersihkan rumah tahanannya.

Marsudi yang berasal dari Pasundan memilih rumah nomor dua belas. Rumahnya bersebalahan dengan Jin Feng dan dekat dengan sebuah pohon pisang raksasa. Jin Feng datang menghampiri Marsudi sambil membawa buah pisang yang sudah matang berwarna kuning sebesar paha orang dewasa.

"Ayo makan, Komrad Marsudi," tawar lelaki China berbadan ramping dan berkcamata tersebut.

Mereka berdua memakan buah pisang raksasa tersebut. Sementara rekan-rekan mereka lainnya tengah sibuk membersihkan rumah tahanan mereka.

"Setidaknya kita beruntung bahwa kita tidak dihukum mati," kata Marsudi.

"Ini tidak akan berlangsung lama. Kita akan meraih kebebasan kita," balas Jin Feng dengan tegas.

Nyamuk-nyamuk di sini sangat ganas. Walaupun bukan malam hari, tetapi para tahanan Digul tengah sibuk berperang melawan nyamuk-nyamuk ganas yang menyerang mereka. Nyamuk-nyamuk di sini berukuran lebih besar daripada nyamuk-nyamuk pada umumnya yang biasa ditemukan di Kota-kota.

Seorang lelaki Jawa yang mengenakan peci hitam, kaos oblong berwarna putih, dan sarung berwarna gelap datang menghampiri Marsudi yang tengah bersih-bersih rumahnya.

"Kau beruntung sudah makan pisang raksasa itu. Mengingat pisang raksasa itu merupakan salah satu obat alami untuk penyakit malaria. Mengingat di sini, nyamuk malaria sangatlah ganas," kata lelaki Jawa yang bernama Sudiroprojo. "Di sini malaria adalah hal yang wajar. Kau harus kuat mental jika ingin bertahan hidup dan bebas."

"Namaku Sudiroprojo. Siapa nama Saudara?"

"Marsudi," jawabnya singkat.

"Bulan depan aku akan bebas. Mungkin setelah bebas, aku akan pergi ke Russia. Mengingat di sini aku tidak akan bisa merasakan kebebasan kembali," kata Sudiroprojo.

"Bagaimana dengan rakyat kita?" tanya Marsudi.

"Sudah saatnya mereka bangkit sendiri. Selain itu, kalau aku masih di sini. Kapan mereka akan berkembang. Selain itu, aku sudah masuk daftar hitam. Kalau bertindak demikian untuk kedua kalinya. Maka nyawa dan Keluargaku adalah taruhannya."

"Kau tidak idealis," kata Marsudi terkekeh pelan.

"Jadi orang jangan terlalu idealis. Hal tersebut akan menjebakmu," jelas Sudiroprojo.

"Perjuanganmu setengah hati. Pantas saja kau berkata demikian," balas Marsudi tersenyum mengejek lawan bicaranya.

"Dari awal aku melawan dengan cara halus. Mengingat aku bukanlah psikopat dan orang barbar seperti kalian."

"Perlawanan dengan cara halus adalah hal yang tidak berguna."

"Mengorbankan orang yang tak bersalah adalah tindakan gila."

"Itu adalah ulah aparat yang brutal dan kejam."

"Kalian kalau sudah berkuasa juga bakalan bertindak demikian dan tidak ada bedanya dengan Belanda," balas Sudiroprojo dengan kalimat yang lebih keras.

"Sepertinya menarik juga bisa berdiskudi denganmu," kata Marsudi dengan tenangnya. "Walaupun kita memiliki cara berpikir dan aksi yang berbeda. Tetapi kau tidak selembut yang aku pikirkan. Pantas saja kau ikut dibuang di Boven Digul."

"Sebentar lagi aku akan bebas dan berencana akan pergi ke Russia untuk mencari ilmu. Setelah itu, aku akan mempraktekkan apa yang aku pelajari di sana demi menyelamatkan dan membebaskan seluruh orang yang tertindas."

"Tapi kau harus berjuang lebih keras seperti kami yang berhaluan kiri."

"Bagiku, tidak perlu menjadi kiri untuk berjuang."

Marsudi menyadari bahwa para Digulis tidak sepenuhnya berisi orang-orang Kiri seperti dirinya dan teman-temannya. Bahkan seorang Liberalis seperti Sudiroprojo sekalipun harus hidup sebagai tahanan politik di Boven Digul.

.

.

Malam sudah menjelang dengan sinar rembulan Ay Atha yang redup. Di hari keduanya menjalani kehidupan sebagai tahanan di Boven Digul. Para tahanan baru tengah berkumpul sambil membakar ikan dan sate ayam. Walaupun awalnya mereka disambut dengan tatapan yang dingin oleh para tahanan yang senior. Tetapi mereka tidak sedingin yang dikira. Para tahanan itu sudah membaur dan saling bertukar gagasan dan ide. Mereka juga saling berbagi cerita dan kisah serta pengalaman hidup.

Di bawah sinar rembulan Ay Atha yang redup dan bintang-bintang yang menghiasi langit yang gelap gulita. Para tahanan itu bernyanyi dan memainkan gitar untuk menghibur diri sekaligus menghilangkan rasa sakit dari gigitan nyamuk-nyamuk di Boven Digul yang dikenal luar biasa ganasnya.

Dari dalam sebuah ruangan, Kapten Eksert van der Schaaf tengah mengamati aktifitas dari para tahanan yang tengah bersantai di malam hari melalui sebuah layar monitor yang direkam secara langsung oleh sebuah Drone berbentuk burung hantu.

"Ternyata mereka sudah mulai berteman dengan begitu akrabnya," kata Kapten Eksert van der Schaaf. "Cassia Roseberg, buka segel lukisan itu, dan biarkan mereka mendapatkan mimpi buruk."

Cassia Roseberg yang merupakan seorang Wizard segera berdiri dari kursinya dan memberikan hormat kepada atasannya. "Siap, laksanakan."

Cassia Roseberg mengucapkan sebuah kalimat dalam Bahasa Latin. Lukisan-lukisan abstrak di rumah setiap tahanan bergetar dan dari dalam lukisan tersebut keluar makhluk yang sangat mengerikan yang tidak memiliki mata dengan gigi taringnya yang tajam. Makhluk setinggi dua meter itu memiliki sepasang kaki dan dua pasang tangan, di mana sepasang tangan yang lainnya adalah sebuah tangan berbentuk seperti capit kepiting.

Suara teriakan aneh itu terdengar dari rumah-rumah para tahanan sehingga membuat mereka menghentikan kegiatan bernyanyi dan bermain gitar.

Dari dalam rumah-rumah itu, keluar makhluk aneh yang mengerikan tersebut. Monster itu segera berlari menuju ke arah para tahanan yang tengah berkumpul. Para tahanan berlarian dengan begitu paniknya. Marsudi segera berlari ke arah sungai dan dia menceburkan dirinya ke sungai Digul yang lebarnya 900 meter. Dia berenang dengan cepat. Namun, seekor buaya menggigit kakinya dan menariknya ke dalam sungai. Para buaya segera mendekati Marsudi dan mencabik-cabik tubuhunya lalu memakannya.

Sudiroprojo berlari menuju ke arah hutan. Tetapi dia menabrak tubuh makhluk boven digul yang muncul secara tiba-tiba di hadapannya. Boven digul segera mencengkram kedua tangan Sudiroprojo dengan kedua tangan capitnya, sementara sepasang tangan lainnya yang dipenuhi dengan kuku yang tajam segera mencabik-cabik tubuh Sudiroprojo dan memakan ususnya.

Para tahanan yang berlarian ketakutan tengah dibantai oleh para monster boven digul yang merupakan proyek mistis yang dipadukan dengan ilmu pengetahuan teknologi yang dikembangkan oleh Kerajaan Belanda di pedalaman Papua Selatan. Boven digul itu tengah melakukan pembantaian dan memakan para tahanan yang berlarian.

Jin Feng hanya bisa berteriak menahan rasa sakit yang luar biasa ketika seekor boven digul membawa tubuhnya yang telah kehilangan sepasang tangan dan kaki. Jin Feng bergelimpungan di tanah sambil muntah melihat para boven digul memakan tangan dan kakinya, serta memakan seluruh tahanan di Distrik D secara brutal hingga tidak menyisakan tulang sama sekali. Tiga ekor boven digul berdiri mengelilingi Jin Feng. Wajah Jin Feng terlihat sangat ketakutan melihat para boven digul memperlihatkan gigi taring mereka yang begitu tajam. jin Feng berteriak ketakutan dan mereka segera mengoyak tubuh Jin Feng hingga hancur tak bersisa.

Ini adalah Boven Digul, tempat yang merupakan neraka dunia bagi para tahanan politik.

avataravatar