2 SELAMAT PAGI RAIN: MENYANGKAL PERASAAN (1)

Pagi hari sekali Rai sudah berpenampilan dengan rapi. Laki-laki itu hendak menuju ke kediaman sahabatnya dengan memakai hoodie hitam, celana jeans selutut serta sepatu sport kesayangannya yang baru saja dibelinya beberapa hari yang lalu.

Dengan segera laki-laki itu menuruni tangga hendak berjalan menuju gerasi untuk mengeluarkan motor besarnya yang merupakan hadiah pemberian dari Papanya. Seorang pria yang melihat putranya sudah bepenampilan rapi pun langsung berdiri dari duduknya, "Rai, mau kemana pagi-pagi begini?" tanya Fadly yang kini sudah berdiri di hadapan putranya.

Rai yang sudah menaiki motornya langsung menoleh ketika melihat Papanya yang mendekat kearahnya. Ia pun kembali turun dan berjalan menuju pria itu untuk mencium punggung tangan dari Fadly yang kini berdiam diri di hadapannya.

"Mau ke Rumah Rain, Pa," jawab Rai.

Fadly tersenyum, kemudian satu tangannya mengusap punggung dari anak laki-laki tunggalnya tersebut dengan sayang. Sedangkan Rai yang diperlakukan seperti itu pun hanya diam memperhatikan.

"Kalian ini barengan terus dari kecil, apa kamu gak punya perasaan sama Rain?" tanya Fadly dengan kedua alis yang terangkat.

Benar-benar diluar dugaan. Rai sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Papanya akan mengatakan itu kepadanya, sedangkan Fadly hanya tersenyum jahil memandangnya.

"Enggak, Pa. Lagian Rai sama dia cuma sahabat," jawabnya. Meskipun ada sedikit keraguan, namun ia kembali menyangkalnya dan merasa tidak mungkin jika dirinya dan gadis itu menjadi sepasang kekasih.

Pria itu terkekeh sesaat, kemudian menghela nafas sebelum akhirnya tersenyum. Ia benar-benar merasa harus melakukan sesuatu untuk kebahagiaan putranya sendiri. Mungkin tidak untuk saat ini, tetapi suatu hari nanti.

"Ya udah, kalau gitu Rai pergi dulu ya, Pa," ujar Rai.

"Hati-hati bawa motornya, hadiah dari Papa gak boleh lecet."

Putranya itu terkekeh, begitu pula dengan Fadly yang saat ini sedang melipat kedua tangannya di dada. Rai berkata, "Siap, Komandan!" ujarnya. Setelah itu laki-laki tersebut langsung pergi setelah membunyikan suara klakson motornya.

Fadly menatap kepergian putranya itu dengan senyum penuh arti seakan sedang merencanakan sesuatu di kepalanya.

Kini Rai sudah berada di depan pintu utama Rumah dari gadis itu. Ia memencet tombol bel yang berada di sampingnya tersebut lalu dirinya menunggu hingga di mana seorang maid pun keluar.

"Eh, nak Rai, mau ketemu sama neng Rain ya?"

"Iya, Bi. Rain-nya ada?"

"Ada, biasalah dia masih di kamar. Ayo masuk dulu."

"Terima kasih, Bi." Rai tetap menjaga sopan santunnya meskipun seorang wanita tersebut adalah Maid di sini sehingga semua pekerja pun merasa tersanjung dengan sikap dari laki-laki itu.

Ketika baru saja masuk ke dalam, ia sudah mencium bau masakan yang membuat dirinya merasa sudah tidak asing lagi dengan aroma tersebut.

"Hm ... gue tahu nih dari wangi-wanginya," gumam Rai sembari tersenyum.

Kemudian dengan cepat laki-laki tersebut menginjakkan kakinya menuju ke suatu tempat di mana sumber wewangian itu berasal. Hingga tanpa sadar kini sudah berada di dapur, di sana Rai sudah bisa melihat mama Mitha yang sedang berkutat dengan bahan-bahan masakan.

"Pagi Ma," sapa laki-laki itu dengan senyuman manisnya. "Pasti Mama habis masak kesukaan Rain, ya?"

Wanita tersebut yang baru saja menyadari kehadirannya pun dibuat terkejut dengan keberadaan laki-laki itu di belakangnya. "Ya ampun, Rai. Kamu bikin Mama kaget aja," ujarnya yang kini sedang memegang dadanya karena terkejut.

"Maaf ya, Ma. Rai enggak bermaksud buat bikin Mama kaget kok."

"Udah, enggak apa-apa kok," ujarnya tersenyum kepada anak laki-laki yang berada di hadapannya saat ini. "Eh, Rai tolong anterin ini ke kamar Rain ya? Sekalian bangunin dia, soalnya kalau week-end gini dia bangunnya siang."

"Ya ... kamu tahu sendirilah ya?" lanjutnya dengan kekehan yang khas. Sedangkan Rai yang melihatnya pun menjadi ikut terkekeh, laki-laki itu tidak akan mungkin menolaknya.

"Iya Ma, kalau gitu Rai keatas dulu ya," ujarnya kepada Mitha yang saat ini sedang tersenyum kepadanya.

Lagi, Rai menerima tatapan itu yang selalu Fadly tunjukkan kepadanya. Seketika laki-laki itu menjadi bertanya-tanya apa yang ada di dalam pikiran mereka saat melihatnya dengan pandangan seperti itu.

Bicara soal panggilan 'Mama' untuk Mitha, sejak kecil Rai selalu memanggil kedua orang tua Rain dengan panggilan Papa dan Mama. Itu karena kedekatan dua keluarga yang juga membuatnya semakin dekat dengan gadis yang sudah menjadi sahabatnya sejak bertahun-tahun lamanya.

Atas perintah Mitha, akhirnya Rai telah sampai menginjakkan kakinya di depan pintu kamar dari seorang gadis yang belum juga terbangun di pagi hari seperti ini. Ia sudah sangat tahu kebiasaan buruk dari Rain sehingga dirinya tidak pernah berpikir untuk menjadikannya sebagai miliknya.

Ia sudah berdiri dihadapan pintu kamarnya. Rai melihat pintu itu yang masih tertutup rapat, sepertinya gadis tersebut masih bermimpi. Seketika dirinya membayangkan bagaimana seorang Rain yang tertidur dengan begitu nyaman ditemani sebuah selimut yang menutupi seluruh tubuhnya.

Sebuah senyum smirk pun tercetak jelas, "Dasar pemalas," gumam Rai.

Laki-laki itu menundukkan kepalanya menatap nampan yang dibawanya tersebut seraya menghela nafas. Sepertinya tidak ada cara lain selain mencoba membuka pintu kamar gadis itu, selain dengan cara mendobrak misalnya.

Rai tidak peduli, ia benar-benar akan melakukan hal gila seperti itu di pagi hari seperti ini membuatnya langsung bersiap-siap untuk menjalankan rencananya. Dirinya akan berteriak terlebih dahulu, tetapi sebelum itu laki-laki tersebut melihat sekitar untuk memastikan sesuatu.

"YUHU, MAKANAN KESUKAAN PUTRI RAIN SUDAH DATANG!" Rai akan terus berteriak sampai gadis itu merasa terganggu dengan tidur nyenyaknya. "MAKANAN PEMALAS YANG COCOK UNTUK SESEORANG YANG MALAS."

Rai berteriak seraya mengetuk pintu kamarnya tersebut dengan begitu kencang, ia begitu puas melakukan hal gila seperti ini. Asal itu untuk Rain, dirinya bisa melakukan apa saja karena bersama gadis itu laki-laki tersebut bisa menjadi apa adanya.

Menatap nampan yang sedang dibawanya saat ini, ia begitu sangat bersemangat untuk melihat wajah bantal dari seorang Rain. Dirinya seakan merasa bangga bahwa selama ini Rai mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh orang lain.

"RAIN BUKA PINTU, WAKTUNYA SARAPAN PAGI!!!"

Laki-laki itu menghela nafas, ia benar-benar kelelahan karena terus saja berteriak membuat Rai langsung memejamkan matanya sejenak sebelum akhirnya memilih untuk kembali turun untuk menemui Mitha.

Namun, ketika hendak menuruni tangga ia mendengar suara teriakan seseorang dari dalam kamar itu membuat Rai langsung kembali berbalik mendekati pintu tersebut. Dirinya menyimpan nampannya terlebih dahulu di atas meja yang berada di dekatnya.

Kemudian ia mengetuk pintu kamarnya dengan begitu keras seraya berkata, "Rain, kamu kenapa?!" ujarnya khawatir.

"Rain, kamu kenapa Rain?!" lanjutnya lagi dengan begitu panik.

Tidak ada sahutan dari dalam sana membuat Rai berdecak. Ia mengusap wajahnya dengan frustasi, kemudian dirinya memiliki sebuah ide yang terlintas dipikirannya begitu saja membuatnya harus mencari sesuatu yang bisa membantunya.

Rai menghela nafas menatap pintu kamar gadis itu dengan kekhawatiran yang luar biasa. Ia khawatir terjadi sesuatu kepada Rain sehingga dirinya menjadi merasa bersalah karena tidak bisa menolongnya.

"RAIN, AKU MAU DOBRAK PINTUNYA YA!"

Setelah itu laki-laki tersebut langsung mengambil tindakan dengan cara memberi jarak antara dirinya dengan pintu tersebut sebelum akhirnya Rai pun benar-benar melakukannya. Ia langsung berlari dengan sekuat tenaga hingga sesuatu yang menghalanginya pun berhasil dirinya buka.

Sesaat setelah pintu berhasil terbuka ia melihat sahabatnya yang sedang meringis kesakitan, sepertinya gadis itu terkilir membuat Rai langsung segera menghampirinya. Saat itu juga laki-laki tersebut langsung memegang kedua pundak gadis itu.

"Rain, kamu kenapa?" tanya Rai yang kini sedang memeriksa keadaan gadis dihadapannya itu. "Mana yang sakit, hm? Bilang sama aku kalau kamu sakit, ya?"

"Aku gak apa-apa kok, Rai." Gadis itu mencoba berusaha untuk berdiri akan tetapi selalu tidak berhasil membuat laki-laki tersebut yang melihatnya langsung berdecak. "Ah, sshhh."

avataravatar
Next chapter