9 Chapter 9 - Dera...

Bukan. Bukan Daisy. Entah siapa tapi yang jelas yang datang dan mengetuk adalah seorang wanita. Tersenyum begitu ia membuka pintu ruangan Zen.

Zen yang menatapnya dengan ekspresi lega baru sadar bahwa sekarang sedang ada jadwal wawancara dengannya. Ia memang merekrut karyawan baru untuk bagian akuntansi.

Neva yang tahu bahwa ini adalah urusan pekerjaan, maka ia undur diri dari tempat anaknya.

"Silakan duduk," perintah Zen pada wanita itu. "Lalu perkenalkan namamu."

"Nama saya Dera, Pak." Caranya berbicara benar-benar seperti dibuat-buat. Seperti Dera langsung menyukai Zen begitu saja. Zen yang tahu betul akan itu, maka ia mencoba bersikap profesional. Tapi ia merasa tak asing dengan nama Dera. Walau bagaimana pun, baginya, Daisy adalah segalanya untuk sekarang dan selamanya.

Wawancara berlangsung selama lima menit. Dera keluar begitu wawancara selesai. Zen menyuruhnya menunggu di lobi kantor sementara ia akan memikirkan tentang riwayat pekerjaan Dera.

Zen tidak ingin memperkerjakan seseorang dengan mudah begitu saja. Baginya kinerja adalah segalanya untuk membentuk sebuah perusahaan agar berhasil meraih keuntungan yang mungkin bisa lebih dari saat ini.

Melihat riwayat Dera, memang wanita itu memiliki banyak referensi pekerjaan yang sangat baik. Tapi bukan berarti Zen akan menerimanya langsung. Ia butuh Dera untuk mengerjakan tugas akuntansi di kantornya setelah ini.

Zen memerintah bagian HRD untuk mengurus Dera. Sebab wawancara dengannya saja sudah cukup. Karena ada baiknya juga jika ia menjaga jarak dengan wanita mana pun, kecuali wanita malam.

Dito masuk begitu saja dengan kantung kertas yang ia bawa. Tersenyum seperti penuh kemenangan dan duduk di hadapan Zen. "Ngapain lo?" tanya Zen sibuk dengan komputernya.

"Gue mau traktir lo minum!" seru Dito.

"Dalam rangka apa?"

"Gue baru aja menangin proyek, nih. Sebentar lagi pembangunan hotel. Nih, gue bawa bir kesukaan lo!" Dito benar-benar tampak senang dan bahagia. Ia begitu bersemangat sembari mengeluarkan bir favorit Zen.

Zen pun pada akhirnya membelakangi pekerjaannya dulu. Toh, ia tak sedang sibuk sekali.

"Dit, gue minta bantuan lo, nih," ujar Zen.

"Apa?"

"Dera. Dera Lukman. Lo kenal, nggak?" tanya Zen. Dito pun tersedak begitu Zen menyebutkan nama Dera secara lengkap. Ia lalu menatap Zen dan menaruh birnya. "Kenapa lo? Ada yang aneh?"

"Lo tanya dia ke gue karena suatu hal, kan? Pasti ada yang aneh sama cewek itu."

Zen mengangguk. "Masalahnya gue kayak samar aja gitu pas tahu nama lengkapnya."

"Masalahnya apa dulu sampai lo nyebut dia?"

"Dia habis wawancara di sini. Sekarang lagi ngerjain soal dari bidang akuntansi," ujar Zen.

Mata Dito membelalak. "Lo yakin? Maksud gue, mau nerima dia di sini?"

Zen mengedikkan bahunya. "Ya gimana? Kinerjanya bagus, referensinya juga oke. Lo pahamlah gue rekrut orang kayak apa"

"Nggak, nggak. Kalau bisa jangan terima dia jadi bagian perusahaan lo!"

"Why? Karena gue merasa janggal juga sama tu anak."

"Lo ngerasa janggal tapi masih aja mau rekrut dia? Gila lo!" rutuk Dito kesal.

Zen menunggu Dito menjelaskan dengan wajah jengkel karena dihujani makian oleh Dito. Sampai Dito mengambil nafasnya, lalu membuangnya dan menyesap birnya sebentar.

"Dia satu SMA sama kita. Cewek hipersex. Lo nggak ingat apa, kalau dia pernah beberapa kali bercinta sama lo?"

Tiba-tiba Zen meremas kaleng birnya hingga airnya keluar. Ia benar-benar telah kecolongan untuk kali ini.

***

Minggu depan Zen dan Daisy bertunangan. Ia sudah membeli cincin dan segala persiapannya. Bahkan sekarang Daisy menjadi penurut. Ia bahkan menginap di apartemen Zen sesuai dengan keinginan Zen untuk seminggu sampai pertunangan itu dimulai.

"Kamu kelihatan tegang," ujar Daisy menilai.

"Nggak. Aku biasa aja."

"Ada masalah?"

Zen menggeleng. Ia tak ingin membicarakan masalah dua wanita itu pada Daisy. Kanya dan Dera muncul, membuatnya tak bisa berpikir tenang.

Daisy diam. Ia memilih tak banyak bicara di kala Zen sedang tak ingin berbicara. Karena disemprot amarah dan emosi dari Zen sangat tidak menyenangkan.

Sampai apartemen, di depan pintu sudah ada Dera di sana. Berpakaian layaknya kantor. Zen mematung. Ia tidak tahu atau diberi informasi kalau Dera akan ke apartemennya. Lagi pula untuk apa?

Daisy menoleh pada Zen yang diam. "Zen? Apa itu tamumu?" tanya Daisy.

Zen mengerjapkan matanya berkali-kali. Lalu ia membuka pintu apartemennya, membiarkan Daisy masuk lebih dulu.

"Ada apa, Dera?" tanya Zen selayaknya atasan dan bawahan.

"Ada dokumen yang harus ditanda tangani, Pak. Hitungan proyek yang akan kita garap. Kami memerlukan tanda tangan, Bapak."

"Memangnya nggak bisa menunggu saya di kantor, sampai-sampai kamu harus ke tempat saya? Karyawan lain saja nggak berani untuk menginjakkan kaki mereka ke apartemen saya!" bentak Zen kesal.

Dera tersenyum. Senyum penuh makna yang membuat Zen lebih emosi. "Ini saya ambil. Nanti biar anak buah saya yang mengantar ke kantor! Kamu bisa pergi!" usir Zen kemudian.

Langkah Dera menjauhi Zen terhenti. Berbalik dan kemudian melambaikan tangan pada Zen karena Zen masih menatapnya dengan kebencian di dada.

Ini salahnya telah memperkerjakan Dera di perusahaannya. Sekarang ia masih buntu untuk membuatnya enyah dari perusahaannya.

"Dia karyawan baru?" tanya Daisy yang ternyata sedang duduk di ruang tamu dengan televisi menyala.

"Ya. Karyawan nggak sopan!"

"Masih baru, bukan berarti nggak sopan. Mungkin perlu ditraining lebih lanjut setelah ini."

Zen tak menggubris ucapan Daisy. Ia lalu menelepon seseorang. "Tolong, jangan biarkan Dera keluar lalu menuju apartemen saya untuk besok-besok. Saya nggak mau privasi saya terganggu. Kamu training dia lebih dalam supaya mengerti SOP perusahaan kita!" Entah dengan siapa Zen memerintah, yang jelas setelah itu ia menutup panggilan itu.

"Aku ke kamar dulu. Aku harus membaca dokumen ini lebih serius, Daisy," katanya pada Daisy.

"Ya, oke."

Awalnya Zen ragu-ragu meninggalkan Daisy sendiri. Namun ia merasa Daisy sudah terbiasa dengan sikap dinginnya. Jadi Zen akhirnya meninggalkan Daisy begitu saja.

Dokumen dari Dera bukanlah hanya dokumen penandatanganan proyek. Melainkan ada surat dari Dera. Zen benar-benar dibuat kesal oleh wanita satu itu.

Ia pun membaca surat itu.

 

Dear, Zen... Kita bertemu seolah nggak kenal satu sama lain, ya? Atau memang kamu yang nggak mengenal aku? Aku nggak tahu. Tapi memang kita nggak dekat sejak SMA dulu. Hubungan kita hanya sebatas sex. Kebutuhan yang terus dan selalu kita butuhkan satu sama lain. Well, Zen... Aku merindukan itu. Apakah kamu juga? Kita bisa aja melakukan hal yang kita lakukan di SMA itu sekarang. Itulah kenapa aku berani ke apartemenmu. Aku ingin sekali berada di atasmu, di bawahmu, atau di tempat di mana keperkasaanmu membawaku menuju surga. Apa bisa sekali lagi atau berkali-kali lagi kita melakukan itu? Aku nggak masalah kalau maumu adalah kita melakukannya diam-diam. Katakanlah seperti kamu diberi keuntungan, begitu juga aku. Kamu tahu nomor ponselku, Zen. Di belakang surat ini juga ada alamat tempat aku tinggal. Yah, sekarang aku juga tinggal di apartemen. Tapi beruntungnya kamu, aku nggak satu apartemen denganmu. Nggak ada pacar dalam hidupku, semua hanya singgah untuk bisa kunikmati. Aku menunggu kenikmatan darimu, Zen.

Dera.

 

Jantung Zen berdegup kencang. Membaca surat itu membuatnya teringat masa-masa SMA dulu bersama Dera di ranjang. Kenikmatan yang memang Zen rasakan hanya Dera yang mampu membuatnya berguncang hebat. Sayangnya, Zen tidak jatuh cinta padanya. Lalu sekarang, Dera menawarkan dirinya kenikmatan itu lagi. Hal yang memang Zen inginkan adalah bercinta dengan Daisy. Tapi ia belum bisa menyentuh Daisy sejauh itu. Ia mulai mencintai Daisy dan tak ingin merusak kesuciannya. Tapi dengan Dera, Zen merasa dilema.

Tawaran Dera menggiurkan, tapi Zen takut ia akan terlalu jauh dengan Dera. Apalagi ketika ia mengatakan pada Daisy bahwa ia menjunjung tinggi kejujuran. Bahkan mengenai Kanya saja ia belum ada keberanian untuk mengatakannya.

"Daisy... apa jadinya kalau kamu sampai tahu rahasiaku nantinya?" tanya Zen pada dirinya sendiri.

avataravatar
Next chapter