7 Chapter 7 - Bercinta Dengan Daisy...

Mencoba beberapa gaun membuat Daisy kelelahan. Banyak gaun yang menurut Zen tidak pantas untuknya. Tidak pantas yang di maksud Zen adalah kurang seksi. Zen ingin sekali membuat Daisy terlihat seksi di matanya walau beribu orang nantinya juga melihatnya. Selama keseksian itu ada Zen di antaranya, tidak masalah. Namun jika keseksian itu ada namun Zen tidak berada di dekat Daisy, ia akan marah.

Daisy mengeluh. Baginya ia menginginkan sesuatu yang sederhana, namun Zen tidak menginginkannya.

Pada akhirnya, di gaun yang ke dua puluh delapanlah Zen menemukan kecocokan pada tubuh Daisy.

"Paking yang itu," perintahnya pada si pelayan.

"Tapi harganya mahal, Pak."

Zen lalu menatap si pelayan itu kesal. Memang, Zen tidak berpenampilan layaknya miliarder saat fiting baju, ia sengaja melakukan itu. Makanya si pelayan seperti beranggapan seolah Zen tak mampu membeli.

"Memangnya berapa?" tanya Zen kemudian, mengikuti alur si pelayan.

"Seratus lima puluh juga, Pak." Untuk acara pertunangan memanglah sangat mahal. Tapi bukan masalah bagi Zen. Memang kelihatannya gaun itu terbuat dari sesuatu hal yang membuatnya mahal.

"Paking saja." Sekali lagi Zen memerintahnya. Si pelayan pergi ke kasir sementara Daisy menatap Zen.

"Terlalu mahal," nilai Daisy.

"Bukan masalah buat saya... maksud saya, aku." Zen, belum terbiasa dengan panggilan itu. Jadi kadang ia salah-salah namun tetap membenarkannya.

"Zen, tapi..."

"Sudahlah, Daisy. Berapa pun harga asal bisa bersama kamu, aku rela."

Daisy menelan salivanya. Jantungnya berdetak cepat ketika ia dengan jelas mendengar apa yang dikatakan Zen. Belum pernah ada yang mengatakan seperti itu di hadapannya. Bahkan Reza, mantan pacarnya saja tidak.

Dalam perjalanan pulang, Daisy mencoba mencairkan suasana. Ia memberanikan diri memutar musik di mobil Zen. Sebab selama ini hanya keheningan saja yang mengisi.

Sampai pada akhirnya Zen mengecilkan volum, Daisy menggerutu. "Kamu kuno banget, serius," timpal Daisy.

"Terlalu berisik selera musikmu itu. Jadi aku kecilkan aja."

Walau begitu, Zen mencoba mengikuti dentuman musik itu. Baik kepala yang bergoyang sedikit, atau jemarinya saat mengendarai mobil.

Tidak langsung ke rumah Daisy, Zen menginginkan Daisy berada di apartemennya. Daisy menurut saja. Namun suasana memang menjadi berbeda ketika Zen melepaskan bajunya di hadapan Daisy. Membuatnya hanya bertelanjang dada.

Daisy mencoba bersikap biasa. Seharusnya memang begitu karena ia sudah terbiasa dengan hal yang dilakukan Zen. Hanya saja Zen terlihat berbeda.

Tubuhnya lebih terlihat menggairahkan. Ototnya mengencang. Apalagi perutnya yang membentuk dengan sebutan sixpack itu benar-benar menggoda wanita mana pun.

"Kamu bisa masak sesuatu, kan? Aku lagi nggak ingin beli atau makan makanan di luar, jadi gunakan apa yang ada di kulkas untuk bisa kamu masak," ujar Zen membelakanginya yang sedang menonton balkon.

Daisy tak menjawab. Ia lebih baik disibukkan sesuatu dari pada harus memandang betapa seksinya Zen saat ini. Lagi pula, ia bisa memasak. Wanita harus bisa memasak, setidaknya itulah yang selalu ia tanamkan dalam hidupnya.

Entah apa yang dimasak Daisy, Zen merasakan harum aroma kenikmatan dalam rongga hidungnya saat ia merasakan masakan itu mengisi seluruh apartemennya.

Zen mendekat, lalu ketika Daisy sedang mengaduk sesuatu, Zen memeluknya dari belakang. Daisy yang awalnya tidak tahu, menjadi kaku begitu saja. Rasanya aneh baginya.

"Kenapa wangi sekali?" tanya Zen mendekat ke arah telinganya.

"I-ini wajar, Zen. Namanya masakan."

"Bukan... kalau sekarang, kamu yang termasuk wangi," pujinya.

Begitu lihainya Zen memeluk Daisy. Seolah mereka sudah lama sekali bersama. Seakan mereka sudah seperti pasangan di luar sana. Sementara Daisy sangat kaku. Bagaimana tidak, ini memang pertama kali baginya diperlakukan laki-laki seperti ini.

Daisy yang belum siap itu lantas bergerak dan berpindah untuk mencari kesibukan sendiri. "Maaf, aku... belum terbiasa," kata Daisy.

Zen tetap mendekat. Bukan lagi memeluk, melainkan mengunci akses gerak Daisy. Memojokkannya di meja dapur dan menatapnya dengan gairah.

"Apa... kamu pernah?" tanya Zen.

Daisy menggeleng. "Tapi aku nggak akan melakukannya, Zen. Aku akan melakukannya saat aku menikah nanti. Dengan orang yang kucinta," jelasnya lalu berhasil meloloskan diri dari Zen.

***

Mudah sekali memang membuat amarah Zen meninggi. Hanya dengan kalimat terakhir yang diucapkan Daisy, ia bahkan sudah tersulut emosi.

Yang tadinya Daisy seharusnya pulang, lantas sejak itu Zen mengurung Daisy di apartemennya. Daisy hanya diam. Ia sudah terbiasa walau rasanya memang sangat kesal dengan apa yang dilakukan Zen.

Zen bahkan meninggalkannya begitu saja dengan penjagaan ketat. Lalu beberapa hari juga Zen lebih sering berganti-ganti wanita malam. Membuat darah Daisy berdesir.

Tiap malam Daisy harus mendengarkan bagaimana wanita malam itu mendesah dengan kenikmatan. Membuat Daisy berpikir yang bukan-bukan dan bahkan ada rasa penasaran dalam dirinya seperti apa rasanya bercinta dengan Zen.

"Lagi?" tanya Daisy pada Tino saat ia mendengar Zen kembali pulang dengan wanita malam. Terdengar helaan napas Daisy begitu ia tahu Zen dengan wanita malam lagi.

"Ini sudah kebiasaannya, Nona. Seharusnya Anda nggak perlu membuatnya marah," ujar Tino menasihati.

"Seharusnya dia bisa lebih mengontrol emosi. Bukannya terus menerus bercinta dengan wanita lain sementara pasangannya di sini!" gerutu Daisy.

Tino mencoba menatap Daisy serius. Membuat Daisy kebingungan. "Apa?"

"Maaf Nona, tapi apakah Anda sudah mulai mencintai Bos?" tanya Tino hati-hati.

Daisy dan Tino memang kerap kali terlibat dalam pembicaraan. Hanya saja pembicaraan itu selalu Daisy yang memulainya. Sebab bagi Tino, bukan kewajibannya berbicara pada Daisy kalau bukan Daisy-lah yang mengawalinya.

Mendengar pertanyaan Tino, Daisy diam. Lalu perlahan Tino undur diri, membiarkan Daisy terlibat dalam pikirannya sendiri.

Suara pintu kamar Zen terbuka. Daisy mendengar itu tapi ia tak menoleh sementara ia menikmati pemandangan dari balkon.

"Tadi itu hebat! Aku nggak akan lelah buat melayani kamu, Zen," ujar wanita malam itu saat sebelum ia pergi.

"Keluarlah. Uang sudah saya transfer."

"Telepon aku kalau kamu butuh servis yang lebih luar biasa. Oke?" Zen tak membalasnya. Ia hanya segera membuat wanita malam itu keluar dari apartemennya hingga suara pintu tertutup Daisy dengar.

"Apa kamu menjamin juga wanita-wanita malam itu agar nggak buka suara tentang jati diri kamu?" tanya Daisy tanpa melihat Zen.

Butuh waktu lama bagi Zen untuk menjawabnya karena ia sedang membuka kulkas untuk mengambil birnya.

"Bahkan media tahu aku menyewa wanita-wanita itu," jawabnya kemudian. Tiba-tiba Zen ikut bergabung dengan Daisy di balkon. Ia menawari soda pada Daisy karena tahu Daisy tidak minum bir.

"Oh. Jadi benar ya, dengan uang kamu bisa melakukan semua hal yang kamu inginkan."

Zen hanya berdeham.

"Seandainya aku punya banyak uang dan bisa menyingkirkan kamu..." ujar Daisy berangan.

Suara keras dari bir yang Zen taruh di meja membuat Daisy terkejut. Lagi-lagi ia membuat Zen kesal. Seperti tak ada habisnya bagi Daisy membuat Zen marah.

"Sekali lagi kamu bicara hal aneh yang buat aku marah dan nggak suka, sudah pasti aku akan bercinta denganmu, Daisy!" ancam Zen lalu berdiri dan meninggalkan Daisy.

Daisy pun ikut berdiri dan mengejar Zen. Menghentikan Zen dengan dirinya di hadapan Zen.

"Oh, ya? Kenapa harus menunggu aku bicara hal aneh dulu baru kamu akan bercinta dengan aku? Kenapa nggak sekarang? Saat ini juga? Karena aku rasa, aku akan selalu buat kamu marah, Zen."

avataravatar
Next chapter