5 Chapter 5 - Dia Calon Istri Saya...

"Dia calon istri saya, Mam," ujar Zen memperkenalkan Daisy pada Neva. Daisy bersalaman dan tersenyum manis pada Neva. Neva pun membalasnya. Pandangan Neva tertuju pada putranya, Zen. Lalu kembali lagi pada Daisy.

"Kenapa repot-repot pakai gaun, Daisy?" tanya Neva. Daisy pun menoleh pada Zen, Zen hanya menganggukkan kepalanya. "Ini permintaan Zen, Tante."

"Ya, sudah. Ayo, kita ke ruang keluarga."

Saat di ruang keluarga, Zen terkejut karena beberapa keluarganya ada di sana. Ia tidak berpikir Neva akan mengundang keluarga yang lain. Apalagi mengetahui tidak ada kendaraan di halaman rumah.

Mama pasti sudah merencanakan ini semua, pikir Zen.

Semua bersalaman. Tentu saja ada yang heboh dan bertanya banyak hal. Bahkan Zen membiarkan Daisy ikut berkumpul dengan keluarganya. Sementara Zen melangkahkan kaki menuju Neva.

"Bagaimana? Semua jadi tahu, bukan?" tanya Neva tampak senang.

"Bukan begini, Mam. Kenapa Mama nggak bilang saya dulu kalau mengundang semua keluarga? Daisy hanya tahu kalau dia akan bertemu dengan Mama aja," kata Zen kesal.

"Tenang, Zen. Mama nanti yang akan bicara pada Daisy, ya. Dia akan mengerti. Bahwa setelah di rumah ini, semua adalah rencana Mama."

Zen tidak bisa berkata-kata lagi. Ia pun mendengkus kesal dan pergi meninggalkan Neva untuk bergabung dengan Daisy.

Di sentuhnya pinggul Daisy begitu Zen merasa Daisy kurang begitu nyaman dengan keramaian asing yang mencoba akrab dengannya. Lalu Daisy merasa sedikit lega karena kedatangan Zen. Ia pun hanya tersenyum. Senyum yang terpaksa.

"Jadi, kapan kalian menikah?" tanya Julis, sepupu Zen.

***

Perjalanan pulang menjadi keheningan tanpa pembicaraan. Zen tidak berbicara, begitu pun Daisy.

Sampai apartemen, Daisy masuk duluan. Lalu Zen menyusul dengan menutup pintu keras. Daisy tersentak kaget dan mundur selangkah demi selangkah.

"A-ada apa?" tanya Daisy bergetar.

"Apa yang kamu bilang pada semuanya? Belum berencana menikah? Itukah rencanamu mempermalukan saya?"

Memang, setelah apa yang Julis tanyakan juga jawaban dari Daisy membuat darah Zen berdesir.

"Kami... belum merencanakan untuk menikah." Jawaban Daisy terus terngiang di pikiran Zen.

"Zen... kita memang belum ada rencana, kan?" tanya Daisy takut-takut.

Bukannya membalas ucapan Daisy. Zen benar-benar membuatnya terpojok. Terpenjara dan tak bisa berbuat apa-apa. Matanya menatap Daisy tajam. Lalu Zen melepaskan jas beserta dasinya tanpa memalingkan pandangannya.

"A-apa yang kamu lakukan?" tanya Daisy.

Lagi, tidak ada jawaban dari bibir Zen. Sekarang Zen bahkan melepaskan kemejanya. Membiarkan bawahannya saja yang tertinggal. Aroma tubuh Zen bahkan menguar di rongga hidung Daisy.

"Buka gaunmu," perintah Zen.

"Ta-tapi, Zen. A-aku..."

"Saya bilang buka!" bentak Zen kesal. Namun Daisy tetap tak mau membukanya. Ia malah menangis dan Zen semakin menjadi.

Pada akhirnya gaun yang membalut Daisy, Zen lepas paksa. Terkoyak begitu saja tanpa memikirkan betapa sakitnya tubuh Daisy merasa dikasari.

"Aarrrgghhh!" teriak Daisy semakin menangis. "Ga-gaun itu mahal, Zen. Jan-ngan!"

Namun memang sudah terlambat. Berapa pun harganya, Zen tidak peduli walau sekali pun ia yang membelinya. Baginya uang bukanlah apa-apa untuknya.

Kini Daisy benar-benar hanya dibalut dalaman bawahannya. Ia memang tidak memakai bra lantaran gaunnya sudah memiliki bra spons yang melekat. Dan kedua tangannya kini menutupi buah dadanya.

Nafas Zen benar-benar tak menentu. Betapa pun kasar yang ia lakukan, tapi ia tak mampu menahan gejolak darahnya yang mengalir desir saat melihat diri Daisy telanjang di hadapannya.

Buah dada yang tidak seluruhnya di tutupnya itu membuat Zen sulit berkonsentrasi.

Tanpa permisi, tanpa sebuah izin, Zen memagut bibir Daisy. Awal yang lembut, lalu menjadi kasar. Yang tadinya seolah coba-coba, menjadi seolah lapar. Zen menyukai itu.

Daisy tidak melawan, tapi air matanya bisa Zen rasakan cukup deras. Hingga Zen menjauh, seperti sadar sesuatu, lalu ia meraih kemejanya dan membuka kedua tangan Daisy.

Daisy pun tak menolak. Ia hanya diam dengan sesenggukan tangisan yang masih tersisa. Lalu dalam keheningan Zen memakaikan Daisy kemejanya itu. Tampak kebesaran di tubuh Daisy.

"Masuklah ke kamarmu," perintah Zen yang berbalik tak ingin memandang Daisy.

***

Zen mengantar Daisy ke rumahnya. Di sambut Weiske dengan pelukan hangat dan rindu. Selama kejadian itu, Zen dan Daisy hanya berbicara seadanya. Mereka sama-sama lagi terlibat pada perasaan masing-masing.

"Pastikan Daisy tetap di sini, Bu. Saya akan antar jemput dia buat kuliah. Nanti ketika tiba Sabtu, Jumat malam saya jemput," kata Zen saat Daisy sudah masuk ke kamarnya.

"Terima kasih, Nak. Pasti Ibu jamin itu."

"Uang untuk berobat Ibu juga sudah saya transfer. Semoga lekas sembuh. Saya permisi."

"Terima kasih, Nak Zen. Hati-hati," ucap Weiske begitu Zen berpamitan dan bersalaman dengannya.

***

Zen menghabiskan waktunya tanpa Daisy di clubbing. Menenggak minuman keras lebih banyak dengan ditemani wanita-wanita malam di sisi kanan dan kirinya. Tapi Zen tidak menyentuhnya. Sama sekali. Pikirannya sudah di mabukkan oleh Daisy.

Hanya Daisy seorang.

Cara Zen mabuk bukanlah hal yang asal-asalan. Ia bahkan memiliki privat room khusus untuk dirinya. Sementara wanita-wanita malam itu, memang atas perintahnya untuk menemaninya. Namun siapa sangka jika ternyata Daisy tiba-tiba datang membuka pintu privat room Zen.

"Kamu bisa kan, mengantarnya sampai apartemen?" tanya Dito yang rupanya menghubungi Daisy untuk menilik Zen di clubbing.

"Memangnya ke mana anak buahnya?" tanya Daisy tanpa memalingkan matanya dari Zen.

"Zen ke sini atas kemauannya sendiri. Pastinya dia nggak minta anak buahnya untuk ikut. Saya sendiri ada urusan lain."

"Dengan wanita malam?" tanya Daisy mengejek. Padahal Daisy sendiri tidak mengenal Dito, tapi sedikit banyak Zen pernah menceritakan tentang mereka.

Dito mengedikkan bahunya tak ingin menjawab. "Saya harus pergi. Terima kasih, Daisy. Senang bertemu denganmu," ujar Dito tersenyum penuh arti padanya.

Daisy menoleh Zen yang masih setengah sadar. Zen sendiri mencoba memperbaiki penglihatannya akibat alkohol yang sudah bekerja pada tubuhnya.

"Daisy? Itukah kamu?" tanya Zen.

"Ayo, pulang!" ajak Daisy yang berusaha merangkul Zen, membimbingnya hingga ke parkiran mobil. Tentu saja kepala Zen ia tutupi dengan topi agar tidak ada yang tahu bahwa ia seorang miliarder.

"Kita akan menikah! Saya sudah merencanakannya, Daisy. Bukan belum seperti yang kamu katakan! Ingat itu!" seru Zen ketika di dalam mobil dalam perjalanan. Sementara itu Daisy sibuk mengemudi mobil seraya mendengarkan celotehan Zen.

Hanya kalimat penegasan itulah yang selalu Zen katakan. Hingga Daisy paham apa alasan Zen sampai harus mabuk seperti ini. Walau begitu, Daisy merasa bersalah kepadanya.

Sampai apartemen, Daisy membaringkan Zen. Melepaskan segala pakaian serta sepatu yang Zen kenakan. Ia lalu membiarkan Zen telanjang dada dan hanya mengenakan celana panjangnya saja. Selebihnya Daisy tidak tahu harus berbuat apa.

Hingga Daisy akan beranjak, Zen memegang pergelangan tangannya. "Di sini aja. Semalam, please," pinta Zen. Matanya menutup, tapi ia berbicara seolah benar-benar paham keberadaan Daisy.

Daisy duduk di tepi ranjang. Ia pun mulai membuat dirinya tertidur di sisi Zen.

Pagi yang cukup cerah membuat Zen terbangun dari tidurnya. Kepalanya pusing. Lalu ia merasakan tangannya memegang tangan seseorang. Daisy. Sedang apa dia di sini? Batin Zen bertanya.

Perlahan-lahan Zen melepaskan tangan Daisy. Ia lalu berdiri dan membopong Daisy ke ranjangnya. Membiarkannya tertidur tanpa terbangun. Lalu Zen menuju dapur dan membuat kopi. Tidak langsung meminumnya, Zen mencoba menormalkan dirinya.

Mengingat apa yang terjadi semalam. Sampai ponsel di sakunya berdering, Dito meneleponnya.

"Udah bangun lo? Lo di apartemen, kan? Daisy di sana?" tanya Dito memberondongnya.

"Hah? Maksud lo?"

Lalu Dito menjelaskan kejadian semalam pada Zen secara jelas. Zen hanya mengembuskan nafas lalu ia menatap Daisy yang sudah ada di ambang pintu kamarnya. Berdiri dengan wajah masih mengantuk namun kesal.

"Gue tutup teleponnya, dia udah bangun. Bye!" Zen pun menaruh ponselnya di saku seraya matanya menatap Daisy lekat.

avataravatar
Next chapter