2 Chapter 2 - Daisy Anak Saya?

"Daisy anak saya?"

            "Iya, Ibu. Saya akan menjadikannya istri. Pengobatan dan segala kebutuhan hidup Ibu akan terpenuhi. Saya menjamin itu," jelas Zen ketika ia menemui Ibu Daisy beberapa jam sebelum Zen bertemu Daisy di apartemennya.

            Ibu Daisy, Weiske, tidak tahu harus berkomentar apa. Memang keuanganlah yang menjadi masalah baginya sekarang. Tapi Weiske juga tidak begitu rela jika harus merelakan anak tunggalnya menikah secepat ini.

            "Saya... saya nggak tahu harus bilang apa, Nak Zen. Daisy menikah bukanlah hal yang saya inginkan sekarang. Pendidikannya-"

            "Akan terjamin. Kehidupannya akan terjamin, saya berjanji," potong Zen cepat.

            Tanpa berpikir panjang lagi, atau membebani pikirannya dengan amat sangat, pada akhirnya Weiske merestui.

            "Berjanjilah, Nak Zen."

            Zen mengangguk penuh dan tersenyum.

***

            "Kamu merekam pembicaraanmu dengan Ibu saya?" tanya Daisy begitu ia melihat rekaman yang Zen lakukan secara sepihak.

            "Sebenarnya saya hanya ingin membuktikannya ke kamu. Barangkali kamu nggak percaya sama saya."

            Daisy menggelengkan kepalanya. Ia tidak tahu dengan siapa ia berbicara. Laki-laki seperti apakah yang ada di hadapannya saat ini.

            Di tutupnya handy cam itu dan di serahkannya ke Zen. Zen menatap Daisy tanpa lepas barang sedetik pun. Ia menunggu apa yang akan Daisy katakan padanya.

            "Saya ingin bertemu dengan pacar saya," pintanya.

            "Kita berdua yang akan bertemu dengannya. Tapi nggak sekarang. Kamu harus ikut saya."

            "Kamu gila? Kalau saya datang dengan kamu di depan pacar saya, apa yang harus saya katakan?"

            "Calon suami. Itulah intinya, Daisy. Kamu akan jadi milik saya."

            Obrolan yang Zen duga tak akan ada habisnya, pada akhirnya ia memilih mendiami Daisy. Zen tidak ingin terlalu banyak bicara pada wanita itu. Setidaknya Zen harus mengontrol diri. Sebab selama ini ia berhasil menghindar dari wanita yang banyak bicara. Terlebih ia tidak ingin tersulut emosi oleh sikap keras kepala Daisy.

            Memasuki kantor megah, Daisy celingak celinguk ke segala tempat. Ia mengamati setiap sisi bangunan kantor Zen. Lalu Daisy masuk ke dalam ruangan pribadi Zen dan hanya tinggal mereka seorang.

            "Ini ruangan saya. Juga kantor saya," kata Zen.

            "Tunggu. Saya belum tahu nama kamu," ucap Daisy. Mendengar itu, Zen tertawa. Benar, Daisy belum mengetahui namanya. Bahkan bertanya lebih awal saja tidak dilakukannya.

            "Zen. Zen Derico Anwar," ucap Zen kemudian.

            Daisy menelan salivanya begitu ia mendengar suara berat Zen menyebut namanya lengkap. Ia lalu mendadak jatuh terduduk di sofa yang ada di ruangan Zen.

            "Kamu akan menemani saya di sini, di kantor ini. Ada laptop di ujung sana, kamu bisa pakai sesukamu. Tapi kamu harus berhati-hati." Zen berbicara seraya berkonsentrasi pada dokumen di hadapannya. Sebuah dokumen yang harus ditandatanganinya.

            Daisy mengambil laptop itu. Tanpa pikir panjang, ia mengakses beberapa sosial medianya agar bisa menghubungi orang terdekatnya.

            Sayangnya Zen sudah tahu apa yang akan dilakukan Daisy. Laptop yang Daisy gunakan, sudah terhubung ke laptop Zen. Zen tentunya tahu apa yang Daisy buka, bahkan diketiknya.

            "Jangan macam-macam, Daisy," suara Zen begitu khas, membuat Daisy tersentak karena begitu serius dengan sosial medianya.

            "Macam-macam apa?"

            Zen tak menjawab. Ia tidak ingin membuat akses itu hancur begitu saja. Jadi, Zen mengalihkan topik. Hanya perlu menunggu sesuatu tentang apa yang akan di lakukan Daisy, tapi Zen satu langkah lebih cepat di depannya.

            "Saya butuh jawabanmu. Bisa sambil kamu pikirkan, setelah jam kerja saya selesai, kita akan ke butik."

            "Saya kan, sudah bilang, memangnya persetujuan saya penting? Toh, kamu akan tetap menikahi saya. Dan apa? Ke butik? Nggak! Saya nggak mau!"

            "Jangan membantah! Sekali lagi saya mendengar kamu membantah, kamu akan merasakan risiko yang akan saya lakukan."

            Ancaman Zen membuat Daisy ketakutan. Ia tidak tahu apa yang akan Zen lakukan, tapi ia akan mencoba untuk tidak membantahnya.

***

            Ketika Daisy sedang mandi, Zen berbicara pada Tino. "Sudah kamu dapatkan?" tanya Zen.

            "Sudah, Bos. Ternyata satu kampus. Namanya Reza. Ini dokumen lengkapnya. Dan maaf karena telah melewatkan ini, Bos," ucap Tino.

            Zen hanya mengangguk dan mengambil dokumen itu. Ia lalu menyuruh Tino pergi dan pada saat itu, muncullah Daisy hanya dengan berbalut handuk.

            Jantung Zen berdetak cepat. Nafasnya tercekat. Ia hampir tak bisa mengontrol dirinya untuk menelanjangi Daisy.

            "Sari!" panggil Zen kemudian.

            "Ya, Pak?"

            "Tolong, beri dia pakaian yang sudah seharusnya. Dandani sederhana saja," perintah Zen bahkan tanpa menatap Daisy. Pada akhirnya Zen membeli pakaian tanpa harus Daisy ikut bersamanya, sebab Daisy benar-benar menolak untuk ikut ke butik bersamanya saat tadi mereka ada di kantor.

            "Baik, Pak."

            Satu jam menunggu tak akan membuta Zen lelah. Ia bahkan menunggu sembari membaca dokumen tentang pacar Daisy.

            "Kamu cantik," puji Zen begitu mereka ada di sebuah restoran tertutup.

            Daisy mengerjapkan matanya. "Kapan saya bisa pulang?" tanya Daisy.

            Zen mengembuskan nafasnya. Ia sudah tahu bahwa ia akan berhadapan dengan wanita keras kepala. "Sesudah setelah kamu memberi jawaban dan menandatangi dokumen itu."     Memang sampai sekarang Daisy belum mengatakan apa-apa, bahkan menandatangi dokumen itu. Entah apa yang membuatnya begitu lama mengambil keputusan, padahal ia tahu bahwa Zen tak akan melepasnya begitu saja.

            "Apa saya harus putus dengan pacar saya?"

            "Kamu calon istri saya, laki-laki mana yang membiarkan calon istrinya memiliki pacar?"

            "Apa saya harus mengandung anak kamu nantinya? Apa-"

            Satu jari telunjuk Zen ia taruh di bibir Daisy. Menempel begitu saja. Lembut dan bahkan Zen bisa merasakan jari telunjuknya berkedut. "Pertanyaanmu bisa kamu tulis di sebuah kertas yang ada di kamarmu. Hanya pertanyaan yang tidak di bahas di dokumen itu. Mengandung anak termasuk ada di dalamnya, jadi kamu pasti tahu jawabannya," jelas Zen.

            Daisy membeku.

            "Aku... bagaimana kuliahku?" tanya Daisy.

            "Pertanyaan bagus. Kamu tetap akan kuliah dan akan saya antar jemput."

            Makan malam berlangsung dengan keheningan selepas pembicaraan yang tak ada habisnya bagi Zen. Daisy selalu saja bertanya dan Zen menyukai itu. Apalagi Daisy bukanlah wanita yang mudah ditaklukkan.

            Hidangan terakhir sebagai pencuci mulut membuat Zen berhenti menikmati. Ia mengusap bibirnya dengan serbet yang sudah disediakan. Lalu matanya menemukan mata Daisy yang tengah menatapnya juga.

            "Apa?" tanya Zen.

            Daisy hanya menggelengkan kepalanya lalu menunduk melanjutkan makanan pencuci mulutnya.

            "Daisy, dengar... Saya nggak mau bikin kamu tertekan. Semua kebutuhan dan fasilitas buat kamu sudah tersedia, kamu cukup menikmatinya dan menuruti apa yang saya katakan," jelas Zen begitu ia selesai dengan sentuhan terakhir makanan pencuci mulutnya.

            "Ya. Oke."

            "Hanya itu?"

            "Memangnya kamu mau saya jawab apa? Kamu kan, meminta saya untuk menuruti keinginanmu," timpal Daisy.

            "Mari kita pulang," perintah Zen kemudian. Mendadak ia merasa emosinya memuncak begitu mendengar ucapan Daisy. Ia pun berdiri dan keluar resto. Daisy mengekorinya dengan penjagaan ketat di belakangnya.

            Sampai apartemen, Zen melepaskan jas dan dasinya. Tadinya setelah makan malam, ia hendak menemui klien spesialnya, mengenalkan Daisy sebagai calon istrinya. Sayangnya Daisy secara tak sadar sudah membuat Zen kesal dan emosi.

            Daisy pun segera masuk ke kamarnya tanpa sepatah kata pun. Sementara Zen dengan minuman alkoholnya dan duduk di balkon. Ia lalu menekan ponselnya dan menghubungi seseorang.

            Zen butuh pelepasan. Artinya Zen butuh wanita malam.

            Daisy tak bisa membuat nafsunya lepas, untuk sementara ini. Setidaknya Zen ingin menjaga Daisy tetap suci dalam arti menunggu sampai Daisy jatuh cinta padanya. Maka dari itu Zen meminta penjaganya untuk mencari satu wanita malam yang bisa membuatnya puas malam ini saja.

            "Satu aja, Tino. Saya butuh sekarang," perintah Zen.

            "Bagaimana dengan Nona Daisy, Bos?"

            "Biarkan saja. Tolong segera, secepat mungkin."

avataravatar
Next chapter