16 Chapter 16 - Daisy's POV...

Hari ini aku terbangun jauh lebih pagi dari biasanya. Bersyukur karena aku terbangun di dalam kamarku sendiri, rumah Ibuku. Ah, rasanya bagai mimpi bisa berada di rumah Ibu. Seperti sudah lama tidak menempatinya sejak Zen, dengan kekuasaannya menjadikanku menetap di apartemennya. Herannya, Ibu bahkan tidak marah, terkesan pasrah dan menurut saja. Mungkin juga Zen menjamin segala kehidupanku dan Ibu.

Sayangnya, aku terbiasa bangun tidur di apartemen Zen. Memasak untuknya, lalu sarapan bersama. Rindu? Entahlah... Aku masih sulit menjabarkan seperti apa perasaanku saat ini saat bersama Zen. Ada rasa tenang, aman dan nyaman. Mungkin juga karena aku tidak begitu mendapatkan banyak hal dari Reza. Tapi ya, sudahlah.

Tentunya hari ini hari libur, maka dari itu aku meminta Zen untuk setiap Jumat malam sampai Minggu, aku menetap di rumah Ibu. Dan yah, Zen tidak lantas membiarkanku begitu saja tanpa anak buahnya. Ada dua anak buahnya yang di sini. Tino dan Yanto, mereka diutus Zen untuk menjagaku saat tidak bersama Zen.

Lari pagi adalah hal yang kuinginkan ketika ada di rumah. Jadi aku memutuskan berlari seorang diri dengan pengawal yang tetap mengawasi.

"Kalian udah lama kerja sama Zen?" tanyaku pada Tino saat kami memutuskan duduk di bangku taman.

"Saya udah delapan tahun bersama Bos, Nona," jawab Tino. Sementara itu, Yanto memilih diam. Memang ia yang paling sering diam di antara yang lain. Tapi tenaganya, tak tertandingi.

"Coba cerita hal apa yang membuat kamu sampai seloyal itu sama Zen, Tino."

Awalnya Tino seperti enggan menceritakan tentangnya dan Zen, tapi aku tahu semua orang pasti membutuhkan waktu untuk berpikir sebelum menjawab.

"Saya ditemukan Bos saat lagi dihadang sama gengster sekolahan, Nona. Padahal usia kami hanya berbeda tiga tahun. Lalu Bos menolong saya dan membuat kesepakatan. Jadi ya, seperti inilah saya. Beliau banyak menolong saya."

Aku menganggukkan kepalaku. Ternyata Zen memiliki hati yang mulia. Tapi entah kenapa saat bersamaku, ia selalu bersikap seolah dingin. Hanya kadang-kadang saja.

Kesepakatan yang Tino katakan membuatku sedikit ingin menilik lebih jauh. Tapi melihat cara Tino menjelaskan, jelas sekali ia tidak aku untuk bertanya lebih dalam. Jadi, kuputuskan untuk mengalihkan topik dengan makan bubur ayam di taman.

"Nona, Bos ingin bicara." Tino menyerahkan ponselnya kepadaky saat aku masih berusaha menghabiskan semangkuk bubur. Aku tidak membawa ponsel, jadi sudah pasti Zen mencariku.

"Ya?"

"Sore nanti tolong beritahu Ibumu, kita akan makan bersama keluargaku," ujar Zen memberitahu.

Mataku spontan membelalak. Aku terkejut karena seperti sudah lama tidak bertemu dengan keluarganya. "Lagi?" tanyaku tak percaya.

"Memangnya kenapa? Aku pikir akan lebih baik kalau melakukan hal itu sebulan sekali. Buat menyambung silahturahmi."

Aku terdiam. Memang tidak ada yang salah dalam kalimatnya. Tapi apa dia bilang? Sebulan sekali? Bulan lalu saja tidak melakukannya, kenapa bulan sekarang melakukannya? Aneh.

"Jangan bantah. Oke? Berikan lagi pada Tino," ujar Zen menghentikanku untuk mencoba membantah namun gagal.

***

Aku tidak percaya aku berada di rumah Tante Neva. Lagi. Rasanya sedikit canggung karena keramaian keluarganya, sementara aku, hanya aku dan Ibu. Kami memang memiliki keluarga, tapi Ibu menentang tidak ingin bertemu dengan beberapa lainnya karena masalah keluarga di masa lalu.

Gaun yang Zen belikan terlalu berlebihan. Memang sesuai seleraku, tapi hanya untuk makan malam? Rasanya memang benar-benar terlalu berlebihan. Maaf, aku mengulangi kata yang sama.

"Kamu cantik," pujinya di telingaku.

Aku... menelan saliva dengan susah. Dipuji di telinga, membuat darahku berdesir, lalu mengirimkan reaksi yang berlebihan pada perutku. Perasaan apa ini? Rasanya senang? Gembira? Tak terdeskripsikan.

"Trims," balasku.

"Dan seksi..." lagi, ia menyambung pujian itu membuatku hampir tumbang.

Astaga, suaranya benar-benar sangat berat. Seksi dan aku tidak munafik kalau Zen memang tampan dalam balutan apa pun. Wajahnya bahkan terlihat lebih ceria dari biasanya.

"Jadi, ada apa ini? Apa aku memang sedang nggak tahu sesuaty?" tanyaku merasa janggal dengan semua ini.

"Soon, you will know."

Duduk berhadapan dengan Zen dan orang tuanya, dengan Ibu di sisiku membuatku gugup. Lalu di sekeliling kami keluarga Zen. Sangat sunyi. Oh, tidak! Maksudku, sunyi tapi ada alunan instrumen yang mendayu. Instrumen lagu-lagu cinta yang bahagia.

Harus aku akui. This is sweet, nice and adorable.

"Ibu Weiske, saya sebagai orang tua laki-laki, mewakili Zen, ingin meminta persetujuan Ibu, bahwa Zen ingin mempersunting Daisy sebagai istrinya kelak. Apakah Ibu bersedia?"

Mendadak, Om Gerald bertanya begitu. Tunggu, ini artinya... aku dilamar? Apakah ini yang namanya lamaran? Lalu yang kemarin itu bukan lamaran? Apa-apaan ini? Kenapa semendadak ini? Kenapa rasanya di sini akulah yang paling bodoh?

"Ya, Pak Gerald, saya bersedia anak saya, Daisy menjadi istri dari Nak Zen," jawab Ibu tanpa ragu.

Aku memang terkejut. Marah dan kesal. Tapi kenapa rasanya aku tidak bisa meluapkannya? Melihat bagaimana Ibu bisa menjawab dengan ketenangan, tanpa ragu... apakah beliau senang dengan aku yang akan menjadi istri dari Zen?

Astaga! Memang sedari awal Ibu sudah menyukainya! Mendadak aku tidak tahu semuanya. Semua ini... semua ini sudah Zen atur. Ibu bahkan kurasa sudah mengetahuinya juga.

***

Kupilih untuk pulang ke apartemen. Aku harus bertanya pada Zen. Ibu bahkan tidak masalah aku ingin tinggal di mana. Asal bersama Zen, beliau merasa tenang.

Seriously, my mum likes him a lot!

Sampai apartemen aku menyilangkan kedua tanganku di dada. Menatap Zen yang menggulung lengan kemejanya sampai sikunya. Wajahnya tampak biasa. "Ada apa?" tanyanya.

"Apa tadi itu? Lamaran?" tanyaku.

Hanya kedikkan bahu Zen sebagai jawaban. Ia lalu menuju dapur dan meraih birnya.

"Tanpa persetujuanku?" tanyaku lagi.

"Aku nggak harus meminta persetujuanmu, Daisy," jawab Zen datar.

"Tapi..."

"Dengar... lamaranku sudah diterima. Aku nggak terima penolakan atau semacamnya dari kamu. Oke? Istirahatlah," katanya memotongku.

Kuhentakan kakiku yang masih memakai heels, lalu aku membanting pintu kamarku dengan kasar.

Today is a bad day! I hate you so much, Zen!

***

Seharian aku tidak keluar kamar. Kemarin adalah hari terburukku. Padahal aku ingin sekali sebuah lamaran yang di mana aku ikut andil di dalamnya, bukan hanya patuh dan mengikuti saja. Tapi Zen, dengan semena-mena tidak menerima penolakan.

Aku jadi bimbang, apakah ia memang mencintaiku atau hanya terobsesi padaku.

"Kalau kamu nggak keluar kamar, terserah. Tapi kalau sampai malam aku tahu kamu nggak keluar kamar juga, aku bakalan dobrak pintu ini, Daisy. Dan... membuat kamu tidur seranjang denganku," ancam Zen dari balik pintu kamarku.

Awalnya aku biasa, tapi ketika aku mendengar bagian akhir kalimatnya, aku jadi teringat pertama kali aku tanpa busana di hadapannya. Memenuhi permintaannya yang marah dan kesal karena sikapku.

Terpaksa, aku membuka pintu kamarku. Kecil, hingga hanya setengah wajahku yang terlihat.

"Udah kubuka, dan jangan buat aku tidur sama kamu lagi, Zen," kataku kemudian.

Tanpa membalas ucapanku, Zen hanya diam dan melengos dari depan kamarku. Aku membiarkan pintu kamarku terbuka dan aku sendiri kembali ke kasurku, membaca buku.

"Daisy!" panggil Zen.

Astaga, belum juga aku naik ke kasur, suara panggilannya benar-benar membuatku terkejut.

"Hmm?" gumamku.

"Aku nyuruh kamu buka pintu kamar, bukan untuk kamu mengurung diri lagi, keluar dan duduk di hadapanku," perintahnya.

"Sekarang apa?" tanyaku seperti robot yang menuruti pemiliknya.

"Rileks, kamu terlalu tegang sejak lamaran kemarin," katanya.

Ingin kubantah, tapi aku mengurungkan niatku. Sebab percuma melawan Bos besar yang memiliki segalanya dan berkuasa atas apa pun juga.

avataravatar
Next chapter