14 Chapter 14 - Sebuah Keputusan...

"Laporkan apa pun pada saya. Awasi dia dengan mata kalian, jangan sampai terluka. Mengerti?" perintah Zen pada kelima anak buahnya untuk menjaga Daisy dari Reza.

Mereka semua mengangguk mengerti lalu bubar ke tempat masing-masing.

"Zen, apa nggak berlebihan? Aku baik-baik aja, kok. Lagian, wajar kan kalau Reza sampai seperti itu?"

"Wajar seperti apa yang sampai buat kamu ketakutan seperti kemarin? Hah?" Nada kesal Zen terdengar jelas sehingga membuat Daisy diam dan tak ingin membalas ucapan Zen. Ia akan menurutinya jika itu yang terbaik baginya.

Sampai kampus, Zen selalu menunggu Daisy menghilang menuju kelasnya. Setelah itu adalah tugas anak buahnya. Sebab sebuah penyadap suara saja tak akan berhasil untuk keselamatan Daisy.

Daisy bertabrakan dengan Reza. Bukan lagi sebuah kebetulan, sudah pasti Reza membuat kesengajaan. Di sini Daisy sudah waspada lebih dulu. Ia jadi begitu tahu sifat asli Reza yang pendendam seperti ini.

Kedua tangan Daisy tetap berada di dalam jaketnya. Ia menggenggam lada bubuk di botol yang ia buat sendiri untuk berjaga-jaga jika sesuatu terjadi padanya.

"Sorry, mantan pacar," ujar Reza mengejek. Nadanya begitu sinis, membuat beberapa teman Reza yang juga Daisy kenal tertawa.

"Yah, oke," balas Daisy mengedikkan bahunya, cuek dan dingin. Ia lalu melewati Reza dan teman-temannya, lalu duduk di kursinya, bersebalahan dengan Ama.

Rasanya, Daisy ingin sekali meninju wajah Reza. Tapi ia menahan diri agar terlihat biasa. Zen cukup memberinya beberapa pelajaran secara tak langsung. Diam, bukan berarti kalah. Diam, bukan berarti lemah. Dan diam, bukan berarti tak berani. Daisy hanya menunggu waktu yang pas, selagi ia mengumpulkan keberanian dalam bela diri.

Nasib sial memang sepertinya menimpa Daisy. Ia harus belajar secara kelompok dengan Reza. Di mana undian acak yang diadakan dosen tentu membuat seluruh mahasiswa tak suka. Tapi beruntungnya, Ama bersamanya, jadi Daisy tak seorang diri di sana.

"Jadi, ini adalah puisi tentang cinta. Kalian harus menyumbang satu-satu setiap baitnya. Karena kalian berlima dan ada yang bernama, jadi satu orang satu bait. Paham, ya?" perintah sang dosen saat pembagian kelompok sudah selesai.

Yang lain bersorak dan ada pula yang senang. Daisy sendiri tidak suka membuat puisi tentang cinta. Apalagi ketika ia harus satu kelompok dengan mantan kekasihnya.

"Ayo, guys! Yang jadi ketua, gue aja ya. Karena gue yakin di antara lo semua, nggak ada yang mau jadi ketua!" ujar Ama memulai percakapan.

Daisy dan Reza diam. Lalu dua teman yang lainnya, Sasa dan Novan pun ikut-ikut saja.

Saat Ama menyelesaikan satu bait pertama, maka ia menyalurkannya pada Daisy untuk diteruskan. Lalu menuju Novan, Sasa dan terakhir Reza. Ya, Ama sendiri yang menentukan bahwa biar Reza saja yang bagian akhirnya. Sebab Ama tahu pertentangan dan masalah Daisy dengan Reza.

Satu setengah jam selesai membuat puisi, cukup rumit tapi pada akhirnya tercampur sempurna, dosen pun memberikan keringanan bahwa tugas bisa dikerjakan di rumah secara berkelompok, namun jika sudah selesai, bisa di kumpulkan lebih awal dan akan dibacakan minggu depan yang akan datang.

Daisy mengembuskan nafasnya lega. Ia melangkah bersama Ama ke kantin untuk menikmati makan siang di sana. "Makasih ya, Ma, lo paling tahu soal masalah tadi," ujar Daisy.

"Santai. Untungnya semua pada nurut sama gue."

Hanya senyum yang bisa Daisy berikan sambil menikmati es teh manisnya. Lalu ia merasa seseorang mengawasinya, benar saja, Reza yang rupanya memperhatikannya dari kejauhan. Duduk bersama teman-temannya.

Jujur saja, Daisy bisa merasakan ketajaman tatapan Reza di tambah pesona ketampanan Reza. Bagaimana pun, Daisy pernah bersamanya. Ciuman terakhir itu juga masih terasa walau sedikit, sebab bibir Daisy terakhir sudah dijamah oleh bibir Zen.

"Reza itu ya, apa nggak ada kerjaan lain selain lihatin lo, ya?" tanya Ama yang rupanya ikut memperhatikan mereka.

"Tahu, deh. Coba deh, lo cariin dia pacar," ujar Daisy asal.

"Gila lo! Dekat aja nggak, masa tiba-tiba gue cariin dia pacar. Ck!"

Daisy tertawa sambil mengabaikan tatapan Reza. Ia pokoknya sudah siap dengan lada bubuk yang selalu ia bawa ke mana-mana. "Fira emangnya udah nggak ngejar dia?" tanya Daisy ingin tahu.

"Nggak tahu gue. Belum ramai soal kayak gitu, sih. Cuma ya, tetap di sini sih, lo tahu sendiri dia masih suka sama Reza, kan."

Daisy mengangguk paham.

"Lo nggak cemburu?" tanya Ama.

"Dikit sih, tapi ya udahlah, kayaknya gue juga nggak pantas sama dia."

"Hmm... jadi, lo mengakui kalau sekarang lo pantas dan cocok sama Zen?" goda Ama mengerlingkan matanya.

Mendadak wajah Daisy memerah, tapi ia tidak mengetahuinya. Memikirkan perkataan Ama membuatnya bimbang. Hati dan perasaannya tidak paham apakah ia menyukai Zsn atau tidak. Tapi bersama Zen, harus ia akui, ia merasa nyaman.

"Apaan sih, Ma! Biasa aja, ah," elak Daisy malu-malu.

"Lo harus lihat kalau muka lo sekarang lagi merah! Ha ha ha!"

***

Zen tersenyum mendengar segala percakapan Daisy. Ia terkesima dan mendadak perutnya diisi oleh sesuatu yang berterbangan. Menjadikannya cukup bersemangat untuk bekerja.

Ketukan pintu membuat lamunan Zen buyar, ia menyuruh orang yang mengetuk pintunya untuk masuk. Ternyata Dera. Pakaiannya kini sangat tertutup, tapi tetap saja mengetat jelas mencetak bagian-bagian tertentu tubuhnya. Zen mencoba memasang ekspresi seprofesional mungkin.

"Zen..."

"Tolong, bersikaplah profesional, Dera," ujar Zen memotong ucapan Dera.

Dera berdeham dan memberikan dokumen yang ia bawa kepada Zen. "Silakan tanda tangan di situ, Pak."

Zen meraih dokumen itu, membacanya terlebih dahulu sebelum menandatanganinya. Ia sangat berhati-hati sekali agar tidak salah melangkah. Setelah selesai, Zen memberikan dokumen itu kembali. Pikirnya sudah selesai, tapi Dera tak juga beranjak dari tempatnya.

"Ada apa?" tanya Zen.

"Nanti malam, di resto apartemenku, jam tujuh. Apa bisa?"

"Acara apa?"

"Aku... ingin mengatakan sesuatu."

Zen tidak menjawab. Malahan ia fokus pada lembaran kertas yang ia pegang.

"Nggak masalah kamu nggak jawab sekarang. Jawabanmu aku tunggu nanti saat malam tiba," ujar Dera lalu meninggalkan Zen.

Dipejamkannya mata Zen dan menghela nafas. Apalagi yang akan ia hadapi nanti malam? Datang atau tidak, Zen lebih penasaran dengan apa yang ingin Dera katakan.

***

Malam itu tiba. Zen mondar mandir di kamarnya, bimbang antara harus datang atau tidak. Lalu tiba-tiba pintunya terketuk,ternyata suara Daisy menyuruhnya makan malam. Akhirnya Zen menggelengkan kepalanya cepat. Ia sudah memutuskan dirinya bahwa ia tidak akan datang dan tidak ingin berurusan dengan Dera selain masalah pekerjaan.

"Kamu masak apa?" tanya Zen sedikit lebih melibatkan diri untuk berbicara agar pikirannya tidak menuju ke Dera.

"Sup ayam, oseng tempe kecap dan kulit tepung goreng," ujar Daisy yang jelas terlihat lebih membuat Zen lapar akannya dari sekadar mengisi perutnya.

avataravatar
Next chapter