13 Chapter 13 - Tatapan Mengancam Itu...

"Daisy," Zen mengetuk kamar Daisy ketika malam waktunya beristirahat.

Daisy membuka pintu kamarnya yang hanya menampilkan pakaian tidurnya mengenakan daster. Tampak di mata Zen Daisy begitu cantik dan manis. Daster dengan motif parang berwarna cokelat tua itu benar-benar mengesankan di mata Zen.

"Ada apa?" tanya Daisy mengantuk.

"Aku tidur di kamarmu," ujar Zen lalu masuk ke dalam kamar Daisy begitu saja.

"H-hei! Nggak bisa! Ki-kita belum jadi apa-apa. A-ku..."

Terlambat. Saat Daisy mencoba mencegah Zen beranjak naik ke ranjangnya, Zen sudah tertidur di atasnya. Lalu Zen langsung tertidur di sana tanpa atasan. Terlihat jelas bahwa Zen benar-benar mengantuk dan hilang ditelan bumi begitu saja.

Daisy mengembuskan nafasnya kesal.Ia akhirnya pasrah pada keadaan dan ikut tertidur di sisi Zen.

***

Belum bersinar, Zen terbangun karena bau masakan yang ia cium melalui rongga hidungnya. Diliriknya ke sisinya bahwa Daisy tidak ada di sana. Padahal waktu masih menunjukkan pukul setengah enam pagi. Zen mengembuskan nafasnya, terduduk seraya mengumpuljan nyawanya.

"Dia udah bangun. Semalam apa aku langsung tidur?" tanya Zen pada dirinya sendiri.

Dari pada memikirkan jawaban sendiri, Zen akhirnya keluar dari kamar Daisy. Bau masakan Daisy begitu menyengat saat ia beranjak ke dapur. Dilihatnya secangkir kopi hitam yang asapnya mengepul sudah tersedia di atas meja sana.

Zen tidak menyapa Daisy. Malahan ia sengaja memandangi wanita itu sampai akhirnya Daisy terkejut ketika akan menghidangkan masakannya.

"Trims untuk kopinya," ujar Zen seraya melayangkan kopinya ke Daisy.

"Sama-sama, KANYA!" ucap Daisy mencibir di bagian akhir kata.

Zen tersedak dan ia memandang Daisy. Mendadak Daisy menyebutkan nama Kanya. Bukan Zen yang salah dengar, melainkan sesuatu terjadi semalam. Ia memang habis minum alkohol, tapi hanya dikit.

"Kenapa? Terkejut?" tanya Daisy sarkasme.

"Apa maksudmu, Daisy?"

Daisy lalu duduk di hadapan Zen. Menyiapkan sarapan dan menatap Zen serius. "Kamu punya waktu untuk menjelaskan sama aku, siapa Kanya itu, Zen!"

Bukannya marah, malah Zen terpesona melihat sikap garangnya Daisy. Nada keingintahuan, cemburu dan emosi bisa Zen lihat di sana, di mata Daisy. Lalu ia sedikit bingung menjelaskan pada Daisy tentang Kanya. Seharusnya tidak sekarang atau belum, untuk Daisy mengetahui ini.

"Ceritakan apa yang terjadi semalam, sampai kamu menyebut nama Kanya di hadapanku," ujar Zen sedikit mengulur waktu.

Daisy berdecak sambil memutar bola matanya. Ia pun menyandarkan kedua bahunya di kursi dan menarik juga mengembuskan nafasnya. "Kamu semalam masuk ke kamarku, dengan bau alkoholmu itu, terus tidur dan mengigau nama Kanya. Jadi, siapa dia?"

"Mantan pacarku. Sebentar lagi akan menikah. Udah, itu aja yang bisa aku katakan padamu," ujar Zen lalu mulai aktivitas sarapannya.

"Apa kamu belum rela dia menikahi orang lain?" tanya Daisy.

Zen tidak menjawab pertanyaan Daisy. Ia memang sengaja tidak berbicara ketika makan. Begitu Daisy paham, ia pun lalu ikut menyusul Zen untuk sarapan.

Setidkanya alasan itu benar-benar tidak membohonginya, pikir Zen sendiri.

***

"Ingat, kalau kamu macam-macam, aku bisa langsung terbangkan helikopter ke kampusmu, Daisy," ancam Zen saat ia mengantar Daisy ke kampusnya. Zen sudah cukup percaya pada perekam suara kecil yang ia taruh di liontin kalung Daisy. Tentu Daisy tidak tahu itu, apalagi kalung itu Zen berikan pada Weiske untuk diberikan pada Daisy. Sebab jika Zen yang memberinya langsung, sudah pasti Daisy tak akan memakainya.

"Aduh, jangan gila deh! Bisa malu aku kalau kamu sampai berbuat hal konyol itu," rutuk Daisy kesal.

Zen mengedikkan bahunya. "Tergantung dari kamunya, Daisy. Aku bakal bertindak sesuai apa yang harus aku lakukan."

"Oke! Oke! Udah ya, pergi sana. Aku mau kuliah!" Daisy pun keluar dari mobil. Sosoknya sudah dipandang sedari tadi oleh beberapa orang di kampusnya. Memandangnya dengan keingintahuan. Apalagi ketika mata Daisy bertemu mata Reza, mantan kekasihnya. Zen melihat itu dan memperhatikannya sampai Daisy memilih jalan masuk ke lorong kampus menuju kelasnya.

Mulai hari ini, aktivitas Daisy akan menjadi hal utama yang akan ia dengarkan.

***

"Lo yakin, itu calon suami lo?" tanya Ama, sahabat Daisy.

"Yah, bisa dibilang begitu."

"Kok, lo kayak nggak semangat gitu, sih?"

"Duh Ama, masalahnya dia itu super ngeselin. Kalau gue cerita bagaimana bisa gue berakhir sama dia, lo nggak bakal percaya!"

"Ceritain, dong!" Ama terlihat antusias, sementara Daisy memilih tidak mengatakan yang sebenarnya. Sebab bagaimana pun, ia tidak ingin terlalu membuka rahasia yang seharusnya tidak ia buka.

Ama menyikut Daisy untuk melihat kedatangan Reza masuk ke kelas. Yah, mata kuliah yang sama menyebabkan mereka harus bertemu di kelas yang sama.

"Dia jadi lebih pendiam dari biasanya," bisik Ama.

Daisy memperhatikan Reza sehingga mereka saling berpandangan. Lalu Daisy membuang pandangannya lebih dulu, ia takut jika ia menyapa Reza, Zen akan tahu dan marah. Ia lebih memilih keselamatan dari pada ancaman Zen menjadi nyata.

Kelas berakhir dan Daisy harus keluar dari sana. Ia tidak menyangka bahwa di belakangnya Reza mengekorinya. Mendadak Daisy jadi bingung sampai akhirnya Reza meraih tangannya dan membawanya ke koridor yang sedikit agak jauh dan sepi.

Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Daisy. Ia melihat Ama menunggunya dan memperhatikan mereka. Pikiran Daisy jadi tak wajar, mengerikan melihat Reza menjadi lebih diam dan tajam sekali pandangannya.

"Hai, apa kabar?" tanya Reza.

Nada suara Reza yang Daisy ketahui tidak sedingin ini. Untuk menyapa dan bertanya kabar saja sampai harus seperti ini, membuat Daisy bergidik ngeri. Padahal Reza adalah mantan kekasihnya yang pertama. Tapi kesan yang Reza berikan selama ini mendadak hilang begitu saja.

"Baik. Ada apa, Rez?"

"Kamu... apa kamu bahagia sama pacar barumu itu?" tanya Reza.

Tidak tahu harus menjawab apa. Daisy masih belum paham dengan perasaannya sekarang. Terkadang ia senang bersama Zen, tapi juga menyebalkan ketika sikap kasarnya keluar. Daisy masih bingung.

"Ya, aku bahagia. Ada apa?" Akhirnya Daisy memilih menjawab bahwa ia bahagia. Pastinya akan lebih membahayakan lagi jika ia menjawab tidak bahagia pada Reza.

Wajah Reza terlihat marah, tapi seperti ditahannya. Lalu Reza melengos begitu saja dan meninggalkan Daisy. Daisy bahkan bisa melihat kedua tangan Reza mengepal dan membuatnya ngeri.

Deringan ponsel Daisy berbunyi. Nama Zen tertera di sana. Daisy pun menjawabnya. "Ya?" Daisy memandang kepergian Reza sampai di detik ia menjawab panggilan Zen, Reza berhenti tanpa memandangnya.

"Oke, aku keluar sebentar lagi," ujar Daisy sambil mematikan panggilannya.

Daisy akhirnya mempercepat langkahnya mendahului Reza yang masih diam di tempat. Mendadak ia jadi takut dengan tatapan Reza yang tak biasa itu. Hingga ketika Daisy sampai di mobil Zen, sebelum masuk, ia memandang ke tempat di mana Reza masih memandanginya.

Nafas Daisy tersengal-sengal ketika ia masuk ke mobil. Wajahnya sedikit pucat, membuat Zen akhirnya melirik ke tempat Reza. Ia sudah mendengar semuanya, sekarang... tinggal Zen melakukan penjagaan ketatnya.

avataravatar
Next chapter