12 Chapter 12 - Ciuman Pertama Mereka...

"Kamu tahu?" tanya Kanya sebagai respons dari apa yang Zen katakan.

Zen hanya mengedikkan bahunya. Terkesan sangat cuek dan benar-benar tidak peduli. "Orang mana pun, melihat kalian seperti sekarang ini, pasti udah tahu, Kanya."

"Dan kamu nggak apa-apa?" tanya Kanya lagi.

"Kenapa aku harus kenapa-kenapa sementara nggak aku nggak ada perasaan apa pun sama kamu, Kanya?"

Kanya diam, begitu pun calon suaminya. Melihat ekspresi Kanya yang seperti itu, membuat Zen menahan senyumnya. Tentunya Kanya menginginkan respons Zen yang seolah cemburu dan tidak terima, sayangnya Kanya mendapatkan kebalikannya.

***

Setelah pertemuan dengan Kanya dan Roy, calon suaminya, ternyata membawa dampak buruk bagi Zen. Padahal tadi perasaannya mengatakan tak apa, tapi melihat kepergian Kanya dan Roy, membuat sebagian hatinya sedikit terkoyak.

Bir kaleng sebagai teman yang selalu ada di kulkasnya, diambilnya. Diteguknya sampai benar-benar berhasil menghilangkan rasa penatnya di kepala. Seharusnya Zen tidak merasakan ini, rasa cemburu atau apa pun, sebab Kanya bahkan bukan miliknya lagi sejak ia menolak dinikahkan Zen. Dan Vista... putranya itu, sebentar lagi akan memiliki sosok Ayah baru yang pastinya akan lebih bertanggung jawab untuknya.

Ponsel Zen berdering, nama Dito, sahabatnya memanggil. Zen menjawabnya dan keramaian dari seberang terdengar jelas.

"Hei, Zen! Lo lagi di mana?"

"Kantor. Ada apa, Dit?"

"Bisa jemput gue di airport? Gue baru balik nih, dari luar kota. Sekalian gue traktir makan dan minum, gue baru berhasil menangin proyek," ujar Dito di seberang.

Ada banyak hal yang bisa membuat Zen kembali tersenyum. Seperti saat ini, mendengar kabar dari sahabatnya bahwa ia menang sebuah proyek, ditraktir dan pastinya akan lebih membuat Zen nyaman untuk bercerita.

"Oke, tunggu di sana. Gue otw."

Sesibuk apa pun Zen, ia tetap akan memantau Daisy. Dalam perjalanannya menuju bandara, Zen menghubungi Daisy setelah ia meminta laporan pada Tino, anak buahnya, tentang perkembangan Daisy sejak ia tak bersama Zen.

"Apa, Zen?" tanya Daisy sebagai sapaan pembuka.

"Kamu baik-baik aja?"

"Ya. Kenapa sih, kamu nggak tanya aja sama Tino? Dia udah pasti di depan rumahku!"

Zen tersenyum. Daisy rupanya tidak tahu bahwa Zen baru saja menghubungi Tino menanyai tentangnya. "Aku hanya ingin mendengar suara dari kamu," balas Zen.

"Gombal. Udah ya, aku lagi ngerjain tugas!"

Panggilan Zen dimatikan Daisy secara sepihak. Sebenarnya Zen marah, tapi ia membiarkannya dan akan menghukum Daisy setelah ia nanti akan bertemunya. Lagi pula, malam ini Zen akan membawa Daisy kembali ke apartemennya.

Setelah menjemput Dito, mereka pun meninggalkan bandara dan pergi menuju restoran mahal ala Jepang yang sedang Dito ingini. Zen bahkan menyuruh Dito yang menyetir mobil untuk menuju ke sana.

"Gimana perkembangan lo sama Daisy?" tanya Dito ingin tahu.

"Yah, biasa aja. Dia masih keras kepala dan cuek."

"Lo nggak akan nyerah, kan?" tanya Dito.

"Nggak. Sekarang amarahnya mulai mereda, gue yakin sebentar lagi dia bakal jatuh cinta."

Dito menepuk-nepuk pundak Zen. Memberinya semangat dan memotivasinya untuk lebih berjuang. "Buat dapatin berlian, lo harus berjuang sungguh-sungguh, kan?"

Zen mengangguk. Tapi tentu pikirannya terganggu sesuatu akan Kanya. Dito tahu bahwa Zen memikirkan sesuatu, sehingga ketika ia bertanya, Zen pun memberikan jawaban yang sedetail mungkin.

"Bagus dong, lo nggak perlu susah payah menghindar lagi, kecuali kalau soal anak," tanggap Dito.

"Sebagian diri gue masih nggak rela Dit, kalau Kanya bakal nikah sama cowok lain."

"Ckckckck, jangan jadi pengecut! Biarin aja dia dengan pilihannya dan lo dengan pilihan lo! Emangnya lo mau Kanya merasakan hal yang sama kalau dia tahu lo mau menikah sama cewek baru?"

Zen menggeleng. Di pikirannya yang buntu, ia baru sadar akan hal itu. Kanya tidak merasakan itu, sebab ia belum mengetahui bahwa Zen memiliki wanita yang ia sembunyikan untuk masa depannya.

"Lo emang sobat terbaik," puji Zen.

Dito memberikan cengiran khas dengan tangan mengepal di dada kirinya.

***

Angin malam yang begitu merasuk ke tulang cukup membuat Zen kedinginan. Ia harus menjemput Daisy untuk membawanya pulang ke apartemennya. Kehadiran Daisy sangat membuat Zen rindu begitu dalam, padahal ia tahu Daisy tak langsung bakal menerimanya begitu saja.

"Ini, terimalah buat kamu," ujar Zen saat mereka tiba di apartemen.

Daisy menoleh ke belanjaan yang memang sedari tadi Zen bawa menuju apartemennya. Dilihatnya beberapa kantung yang bagi Daisy cukup banyak jika di hitung.

"Apa ini?" tanya Daisy yang tak ingin membukanya.

"Pakaian, buku, dan beberapa barang keperluan kamu. Ambil. Aku beli buat kamu." Nada bicara Zen begitu intim dan memerintah.

"Aku nggak mau. Lagian aku nggak minta," tolak Daisy.

"Ambil!" Zen mengancam Daisy hingga mengunci tubuh Daisy ke dinding. Menatapnya begitu serius dan nafas Daisy memburu.

Keduanya kini saling menatap dengan intim. Zen tak juga pergi dari hadapan Daisy, sementara cara Daisy menatap Zen seolah meminta untuk di cium. Begitu menggoda dan membuat Zen meneguk salivanya.

Perlahan, tanpa penolakan, Zen memajukan bibirnya. Mendaratkan bibirnya ke bibir Daisy, mengecup hingga melumat mulut Daisy lembut. Terkejut dengan respons Daisy yang membalasnya, Zen lalu memagut bibir Daisy secara brutal.

Lima belas menit seperti itu, akhirnya Zen menghentikan dirinya. Jika ia terlalu jauh, Daisy pasti akan kecewa dan menangis. Zen belum siap bercinta dengan wanita yang bahkan tak menginginkan dirinya untuk berada di dalam dirinya.

"Bawa itu ke kamarmu, lalu siapkan makan malam, aku mau mandi," perintah Zen lalu meninggalkan Daisy begitu saja ke kamarnya.

Gelisah sudah pasti. Zen tak langsung mandi melainkan mondar mandir di kamarnya karena ia baru saja mencium Daisy. Respons Daisy jelas membuatnya cukup terkesima. Daisy rupanya menyukai ciuman itu, atau bahkan memang ia nantikan setelah mereka bersama.

"Huh! Habis mencium seenaknya, bisa-bisanya dia ninggalin aku kayak gini! Nyebelin banget, sih?!" Gerutuan Daisy terdengar jelas ke kamar Zen. Zen lalu menguping di pintu kamarnya untuk mendengar lebih jelas apa yang akan Daisy katakan.

"Aduh, aku juga kenapa sih, kok mau-mau aja di cium? Malah balas juga lagi. Astaga! Kenapa aku ini?"

"Tunggu! Apa artinya aku mulai menyukainya? Lagian kenapa juga aku harus menyukainya? Ah... kenapa jadi gini, sih? Harusnya aku menolak di cium, bukan membalas atau bahkan menikmatinya. Bodoh banget sih kamu, Daish!"

Zen mengulum senyumnya. Mendengar cara Daisy mencemooh dirinya sendiri jelas sangat lucu dan menggemaskan. Apalagi setelah mendengar bagaimana Daisy mempertanyakan diririnya sendiri apakah ia mulai menyukai Zen atau tidak. Yah, setidaknya ada secercah harapan dan perasaan untuk Zen dari Daisy. Kini tinggal bagaimana Zen mengolahnya lebih lanjut dan membuat Daisy jatuh cinta terus menerus.

avataravatar
Next chapter