11 Chapter 11 - Dia Akan Menikah...

"Dera itu... sepertinya dia menyukaimu," timpal Daisy ketika mereka dalam perjalanan pulang.

Ketegangan dalam wajah Zen bisa terbaca jelas, tapi Daisy tidak tahu bahwa yang membuatnya tegang adalah Dera. Beruntungnya Zen bisa bersandiwara.

"Jangan bicara yang nggak jelas kamu, dia hanya sebatas bawahanku aja."

"Ya, itu katamu. Tapi kataku, Dera menyukaimu."

Singkat, padat dan jelas. Daisy langsung diam seribu bahasa. Hingga tiba di apartemen, ia masuk ke dalam kamarnya tanpa berbicara sepatah kata pun pada Zen. Zen membiarkannya karena ia sendiri tidak ingin rahasianya terbongkar ke telinga Daisy.

Tiba-tiba Daisy keluar sudah rapi dengan pakaiannya. "Ayo, antar aku ke kampus, hari ini mendadak ada mata kuliah yang seharusnya besok tapi dosen berhalangan datang, jadi diganti," ujar Daisy.

Zen mengangkat satu alisnya menatap Daisy. Apakah Daisy berbohong atau tidak. Daisy pun memutar bola matanya dan akhirnya memberikan bukti pada Zen. Ponselnya ia tunjukkan pada Zen dan Zen membacanya dengan cepat.

Tak pakai lama, Zen segera mengantar Daisy hingga tiba di kampus. Ramai, pikir Zen. Ia sudah yakin bahwa Daisy akan bertemu dengan Reza, mantan kekasihnya.

"Aku akan nunggu di sini," ujar Zen sebelum Daisy keluar.

"Pulang aja. Aku takut aku lama."

"Nggak. Akan lebih bahaya kalau kamu, aku tinggal."

Daisy sama halnya, tidak bisa menolak keras kepalanya Zen. Ia pun akhirnya keluar mobil dan meninggalkan Zen. Zen memperhatikannya sampai Daisy benar-benar masuk ke dalam.

Panasnya kota, membuat Zen lantas haus. Untungnya ia memarkir mobilnya dekat sekali dengan sebuah warung kecil yang menjajakan makanan dan minuman. Diputuskannya untuk memesan bakso yang bersebalahan dengan warung itu dan es teh manis segar.

Matanya tidak sekali pun menghilang dari pandangan kampus Daisy. Ia berjaga-jaga jika Daisy keluar atau semacamnya.

"Ini Mas, baksonya," ujar si penjual bakso pada Zen.

Zen berdeham dan menikmati makanannya. Hingga stau setengah jam berlalu, keramaian kembali terjadi. Ia sudah yakin bahwa itu adalah kelas Daisy yang sudah usai. Zen menunggu Daisy keluar hingga ia melihat Daisy bersama salah satu temannya yang sedang berjalan seraya mengobrol.

Sampai mobil, Daisy melambaikan tangannya pada temannya itu. Lalu, matanya menangkap Zen yang tengah duduk di warung dengan bakso yang sudah habis di hadapannya.

"Kamu mau?" tanya Zen menawarkan.

Daisy tidak menjawab, wajahnya terlihat kesal tapi ia lalu memesan satu porsi bakso untuknya.

"Enaknya, dijemput sama laki berduit, pantas aja sekarang apa-apa pakaian dan barangnya branded," timpal seorang wanita yang tiba-tiba mencibir Daisy.

Zen menoleh suara wanita itu. Sekumpulan wanita berjumlah lima orang sedang menatapnya. Daisy hanya diam tidak menjawab, Zen pun mendekat dan Daisy terkejut hingga ia harus menghentikan Zen.

"Mau juga? Kenapa nggak cari laki berduit sekalian? Oh... saya pikir mungkin nggak ada laki berduit yang mau sama mulut nyinyir. Hmm... saya ikut prihatin," cibir Zen balik.

"Zen... apaan, sih?" bisik Daisy yang sudah merangkul lengannya, memaksanya menjauh namun Zen enggan melakukan itu.

Lima wanita itu terkejut dengan balasan Zen. Tidak terima, tapi juga tidak bisa apa-apa. Apalagi mereka ditertawakan oleh beberapa laki-laki sekitar yang memang tahu sifat mereka.

"Bener tu, Mas. Mulutnya benar-benar nggak bisa dijaga kalau ngomong, heran," timpal laki-laki yang ikut menertawakannya.

Zen memperhatikan mereka lebih dekat. Matanya yang elang, mengancamnya dan menerkam lima wanita itu. "Kalau sampai saya dengar dan lihat kalian begini, saya nggak akan tinggal diam."

Musik instrumen mendayu dalam mobil Zen ketika perjalanan pulang. Daisy diam dan merasa kesal dengan tingkah laku Zen yang menurutnya sudah keterlaluan. Bagi Daisy, sangat mempermalukan dirinya sekali ketika Zen memarahi lima wanita yang memang menjadi musuhnya sejak awal semester, sementara bagi Zen ia melakukannya karena kesal dengan mulut kelima wanita itu.

"Bagaimana kalau Fira nantinya labrak aku di kelas? Kamu nggak tahu betapa kejamnya mereka di angkatanku, Zen!" celetuk Daisy tiba-tiba.

Ditolehnya Daisy dan Zen menahan senyumnya. "Itu yang kamy khawatirkan?"

Daisy mengangguk. "Karena... karena mereka pernah melabrakku."

"Apa alasannya?"

Daisy tidak yakin, haruskah ia memberikan alasan Fira dulu melabraknya atau tidak. Sebab ini tentang Reza, mantan kekasihnya.

"Katakan, Daisy," perintah Zen kemudian.

"Fira... mengaku bahwa dulu... Reza adalah pacarnya, nyatanya dia hanya mengaku-ngaku. Reza bahkan udah bersamaku sejak awal semester," jelas Daisy berhati-hati.

Tak bisa Daisy pungkiri, rahang Zen menegang dan keras begitu Daisy menyebut nama Reza. Memori tentang Daisy yang lari menuju Reza dan berciuman membuatnya kaku. Daisy tahu itu, tapi ia juga tidak peduli sebenarnya dengan ekspresi Zen, hanya saja ketika mood Zen sedang tidak baik, tentu akan menimpa dirinya.

"Hal sepele. Udahlah, kamu nggak perlu cemas itu. Aku yang akan terus memantaumu," kata Zen kemudian.

"Kamu nggak bisa selalu mantau aku, Zen. Kamu kan, juga harus kerja."

"Apa gunanya anak buah kalau nggak dipergunakan?" tanya Zen kemudian.

***

Kali ini Zen mengantar Daisy ke rumahnya. Ia sedang tidak bisa memantau Daisy di apartemennya karena Zen harus mengurus sesuatu yang lebih mendesak dan membahayakan. Zen pun menitipkan Daisy pada Weiske dan meninggalkan Daisy setelahnya.

Saat sampai kantor, kehadiran Zen sudah ditunggu Kanya. Wanita yang kini menjadi mantan kekasihnya sekaligus Ibu dari darah dagingnya kini tengah menunggu Zen bersama seorang laki-laki yang duduk di sisinya.

"Ada apa, Kanya?" tanya Zen kemudian.

"Kamu telat sepuluh menit, Zen," ujar Kanya.

"Langsung pada topik aja."

Kanya melirik laki-laki di sisinya. Mengangguk dan keduanya saling berpegang tangan. Zen yang menatap itu mulai paham apa yang akan dibicarakan Kanya setelah ini.

"Kenalkan, ini Roy, pacarku," ujar Kanya mengenalkan. Zen mengangguk dan tak ingin berjabat tangan dengan Roy. Ia lebih memilih dinilai sombong dari pada bermurah hati dan disalahgunakan.

Diperhatikannya wajaha Kanya sedetail mungkin. Wajah mungil, cantik dan keras kepala yang dulunya membuat Zen jatuh cinta dan membuatnya hamil, namun tidak ingin dinikahkan, kini Zen sudah paham bahwa Kanya akan memberitakan bahwa ia dan Roy akan menikah.

"Sebenarnya aku nggak tahu apakah harus mengabarkan berita ini denganmu atau nggak, Zen," ujar Kanya seolah mengulur waktu.

"Katakan aja. Lagian di antara kita nggak ada apa-apa, Kanya."

Seolah sudah tahu, Kanya pun menelan salivanya susah payah. Zen bahkan baru sekalu ini melihat bagaimana Kanya seakan takut memberitahu Zen. Padahal beberapa hari lalu, ia datang dengan wajah liciknya untuk meminta uang pada Zen.

"Aku dan Roy..." ucapannya menggantung, membuat Zen tak tahan menunggu, hingga Zen akhirnya yang melanjutkan ucapan Kanya dan mengangguk-angguk.

"Akan menikah? Begitu, bukan? Oke. Clear!"

avataravatar
Next chapter