webnovel

MOON LIGHT & VALENTINE (3)

Didepan televisi yang menyala, dengan suara dari pembawa acara sebuah berita malam tanpa aku bisa menyerap apa yang sedang dia bicarakan. Mataku memang sedang melihat siaran itu, tapi pikiran ini masih memikirkan kejadian barusan. Fikiranku benar-benar tidak bisa fokus.

"Sebenarnya apa yang terjadi barusan? Apa Pak Nando juga memiliki perasaan yang sama terhadapku? Atau hanya menggodaku saja, seperti apa yang ia katakan?" batinku dalam hati.

Aku menyandarkan dan menengadahkan kepalaku di atas sofa, menatapi langit-langit kamar Pak Nando.

"Tidak...tidak...tidak...! Tidak boleh. Sadarlah Vin! Dia itu orang normal, laki-laki biasa yang sudah memiliki pacar cewek. Aku juga tidak boleh menarik orang normal kedalam dunia gay seperti diriku. Dia punya masa depan yang cerah. Menikah dan berbahagia dengan wanita yang ia cintai. Jadi sadarlah! Jangan terlalu berharap terlalu tinggi. Kalau nanti kecewa akan sakit hati seperti sebelumnya." batinku.

Aku menutupi mataku dengan tanganku sambil menghela nafas panjang.

"Kenapa aku mudah sekali jatuh hati pada orang yang jelas-jelas tidak bisa aku miliki. Aku benci perasaanku. Aku pikiranku. Aku benci diriku yang seperti ini." gumamku.

Aku bangun dari posisi bersandarku. Dengan keadaan duduk aku mengingat ada hal yang terlupakan. Aku mengambil ponsel dalam tasku. Terlintas di fikiranku, sampai saat ini aku belum memberikan kabar kepada orang rumah bahwa malam ini aku tidak pulang.

📨: "Dan, beritahu pada bunda, aku malam ini tidak bisa pulang karena ban motor bocor. Aku menginap dirumah bosku."

Aku mengirimkan pesan pada adikku secepatnya. Sebelum aku terlupa kembali.

Aku mendengar suara pintu terbuka. Mataku langsung tertuju pada pintu kamar mandi yang terbuka itu. Mataku terpana pada sosok yang keluar dari balik pintu. Sosok yang aku damba-dambakan.

Pak Nando keluar dari kamar mandi hanya dengan membalutkan handuk yang menutupi pinggang sampai atas lututnya. Tubuhnya terpampang jelas dengan pancaran dari lampu diruangan ini.

Tubuhnya yang putih mulus dengan badan kekar dan tegap. Dada berototnya yang besar padat, menjulang kedepan dengan puting berwarna pink pucat.

Pak Nando mulai berjalan kearahku. Mataku yang sedari tadi tidak bisa berkedip, kini menyusuri bagian perutnya. Perutnya yang berbentuk kotak-kotak, dengan otot yang terlatih sempurna menambah kekagumanku pada makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini.

Tetesan air ditubuhnya sehabis mandi, mengalir jatuh melintasi tengah-tengah garis di perutnya yang sixpack. Terus mengalir ke bawah sampai hilang di jurang lubang pusarnya.

"Aku ingin menjadi tetesan air itu." pikirku.

Aku tertegun melihat benjolan ditengah-tengah selangkangan Pak Nando. Benjolan itu menyundul dari dalam handuk.

"Wah besar juga milik Pak Nando." batinku kagum.

Tanpa aku sadari, Pak Nando sudah berada di depanku.

"Vin, tunggu sebentar ya! Aku ganti pakaian dulu." ucap Pak Nando.

Suara itu menyadarkanku. Sontak saja langsung aku alihkan pandanganku ke atas, ke wajahnya.

"Iya... pak!" jawabku.

Pak Nando berjalan pergi menjauh ke arah ruangan pakaiannya.

"Duh... Aku memikirkan apa sih?" batinku.

Tidak lama kemudian, Pak Nando sudah selesai berganti pakaian.

"Vin, ayo turun kebawah untuk makan." ajak Pak Nando.

"Baik pak!" kataku sambil meraih remote tv di meja dan mematikannya.

Aku menghampiri Pak Nando yang menungguku di pintu yang sudah ia buka. Dia berdiri dengan mengenakan kaos singlet hitam dan boxer putih. Otot lengannya yang kokoh terlihat sangat maskulin.

"Ayo pak." kataku dengan semangat.

Aku mengikuti Pak Nando dari belakang, menuruni anak tangga dan langsung menuju meja makan. Di atas meja sudah tersaji makanan lengkap dengan buah. Meja makan yang cukup sederhana dengan 4 kursi yang saling berhadapan. Aku duduk di sebelah kiri Pak Nando.

"Apa jarang yang kesini ya?" batinku.

"Mbak Mina...! Apa ini sudah semua?" tanya Pak Nando pada Mbak Mina yang masih di dapur.

"Sebentar lagi pak! Tinggal daging rendang dan sayur kuahnya belum." jawab Mbak Mina.

"Tunggu sebentar lagi ya Vin." ujar Pak Nando padaku.

"Mmm... anu pak! Maaf sebelumnya, saya rasa yang ada di meja makan sudah cukup kok pak. Sudah ada telur mata sapi, dadar jagung, tahu tempe dan bihun goreng. Takutnya merepotkan Mbak Mina pak."

"Tidak merepotkan kok mas. Jarang-jarang ada tamu Pak Nando yang datang kemari." sahut Mbak Mina dari arah dapur yang mendengar ucapanku barusan.

"Ohh... Rupanya dugaanku benar. Jarang ada orang lain yang datang ke rumah Pak Nando. Tapi bagaimana dengan keluarganya ya? Apa keluarga Pak Nando juga jarang datang kesini? Hmmm... Aku jadi kasihan sama Pak Nando. Pasti rasanya kesepian berada di rumah yang besar ini." batinku.

"Tuh... Mbak Mina saja bilang begitu. Jadi tenang saja, Mbak Mina hanya tinggal memanaskan saja. Semua sudah di masak oleh si mbok tadi." jelas Pak Nando.

"Mmm... iya deh kalau begitu. Pak Nando biasanya makan malam jam segini?" tanyaku.

"Tidak juga sih."

"Mmm... jadi Pak Nando tadi belum makan ya?"

"Iya, tadi sibuk banget soalnya. Banyak teman-teman waktu kuliah dulu datang. Jadi aku harus menemui mereka sekalian mengenang masa-masa kuliah dulu." kata Pak Nando sambil tersenyum.

"Pasti menyenangkan ya pak karena Pak Nando mempunyai banyak teman?"

"Tidak juga." jawab Pak Nando singkat.

"Kenapa begitu pak? Saya saja ingin sekali punya banyak teman seperti Pak Nando. Yang saya lihat waktu di cafe tadi, Pak Nando terlihat sangat bahagia. Bisa tertawa lepas dan bercanda dengan teman-teman Pak Nando." kataku.

Pak Nando hanya terdiam tanpa merespon perkataan ku.

Saat ini raut wajah Pak Nando sangat berbeda 180 derajat ketimbang saat di cafe tadi. Aku bisa melihat dari kedua bola matanya, ada rasa kesepian yang mendalam.

"Pak, apa saya boleh bertanya pada Pak Nando?"

"Boleh. Silahkan saja."

"Sebelumnya saya minta maaf kalau pertanyaan saya sedikit lancang. Dari perkataan Mbak Mina bahwa jarang ada tamu datang kesini, apa keluarga Pak Nando juga jarang datang?" tanyaku.

"Iya, mereka memang jarang datang kesini. Mereka semua sibuk dengan urusan perusahaan masing-masing. Hanya Kak Ditto dan nenekku saat sebelum sakit-sakitan saja yang sering datang kemari. Dulu, nenek sering mampir kesini, setelah datang berkunjung ke salah satu toko yang ia kelola di Tunjungan Plasa. Saat ini nenek sering masuk ke rumah sakit. Kalau Kak Ditto biasanya datang kesini dengan membawa pacarnya. Sekarang juga tidak terlalu sering datang karena aku tahu pekerjaannya banyak. Tugas dan tanggung jawabnya saat ini lebih banyak daripada sebelum ia dapat promosi kenaikan pangkat." cerita Pak Nando.

"Kalau Kak Nath, bagaimana pak?" tanyaku.

"Kalau Nath hanya sekali dua kali saja. Lebih seringnya aku yang datang kerumahnya. Atau juga lebih sering kita ketemu di luar. Itu karena Nath yang sangat sibuk sebagai manager pimpinan divisi perencanaan di tempatnya bekerja. Sering juga kita jarang ketemu, seperti saat ini, dia harus berada di luar kota untuk pekerjaan yang harus dia tangani."

"Ohh jadi begitu. Oh iya pak, kalau Pak Nando butuh teman mengobrol dan teman untuk jalan keluar, Pak Nando bisa menyuruh saya datang kesini. Saya akan menjadi teman Pak Nando. Ya... itu kalau di luar jam kerja sih." kataku sambil tersenyum.

Mata Pak Nando berbinar-binar mendengar ucapanku.

"Beneran? Kamu gak bohong?" tanya Pak Nando memastikan.

"Iya, beneran kok pak. Saya kan udah bilang sendiri pada Pak Nando tadi?"

"Hmm.. oke.. oke. Kamu sudah janji loh ya!"

"Iya... pak! tapi di luar jam kerja dan kalau saya ada waktu saja loh."

"Terimakasih ya!" kata Pak Nando dengan wajah yang bahagia.

"Sama-sama pak!"

Melihat wajahnya yang yang bahagia, aku juga turut bahagia. Memang tujuanku untuk membuat Pak Nando tidak terlalu merasa kesepian. Meskipun aku tidak punya banyak teman, tapi aku tidak merasa kesepian saat berada di rumah, karena masih ada bunda dan adikku. Sedangkan pak Nando berada dirumah besar ini sendirian tanpa keluarga. Meski di rumah ini ada pembantu, tapi aku tahu kalau Pak Nando tidak bisa bercerita pada mereka. Berbeda kalau bercerita tentang masalah apapun pada keluarga sendiri.

"Pak, ini daging rendang dan capcay kuah kesukaan Pak Nando sudah jadi." kata Mbak Mina sambil menaruh makanan tersebut diatas meja makan.

"Terimakasih ya Mbak." kata Pak Nando.

"Iya, pak. Silahkan dimakan pak." kata Mbak Mina. "Silahkan dimakan mas." Mbak Mina mempersilahkan aku. "Saya permisi dulu pak. Kalau ada perlu yang lain, bisa panggil saya nanti." tambahnya.

"Iya,mbak." jawab Pak Nando.

"Terimakasih ya mbak!" kataku pada Mbak Mina.

"Sama-sama mas. Saya tinggal bersih-bersih di dapur dulu mas. Permisi!" kata Mbak Mina.

"Iya mbak." jawabku.

Mbak Mina meninggalkan kami berdua dan kembali ke arah dapur.

"Wah... Pak Nando suka capcay rupanya?"

"Iya, kenapa Vin?"

"Tidak kenapa-kenapa kok pak. Hanya saja kesukaan kita sama. Saya juga sangat suka kalau dimasakin capcay sama bunda." kataku.

"Ohh... kebetulan dong, pas dengan masakan malam ini."

"Hehe.. iya pak!"

"Ayo, makan dulu Vin keburu dingin. Nanti lanjut ngobrolnya setelah makan malam." ajak Pak Nando.

"Iya, baik pak!" jawabku.

"Makan yang banyak Vin. Tidak perlu sungkan." kata Pak Nando sambil mengambil nasi ke piringnya.

Aku hanya tersenyum malu mendengar ucapan Pak Nando, karena memang porsi makanku yang banyak, nenumpuk seperti gunung.

.

.

.

******

Next chapter