1 #1 Aku Bosan

Perkenalkan, namaku Lazu. Aku terlahir di tengah keluarga sederhana, setidaknya dulu. Pada suatu hari yang penuh keberuntungan, ketika Ayahku sedang menggali tanah untuk mengubur kucing kami yang mati keracunan, tiba-tiba saja cangkulnya membentur sesuatu.

Setelah ditelisik lebih lanjut, ternyata yang barusan dihantam ujung cangkul Ayahku adalah batu super langka yang harganya tidak ternilai. Alhasil, ratusan kolektor sontak membanjiri rumah kami demi bisa membeli batu tersebut.

Ayahku semula tidak mau menjualnya. Namun, pikirannya berubah drastis saat seorang kolektor ternama datang dan menawarkan harga yang luar biasa fantastis. Tanpa basa-basi lagi kami pun menjualnya. Dari hasil penjualan batu tersebut, keluarga kami langsung level up memasuki jajaran orang terkaya se-Indonesia. Karena Ayahku cukup berbakat dalam berbisnis, keuangan kami semakin meningkat hari demi hari.

Tepat di saat umurku menginjak 15 tahun, keluarga kami sudah berada di urutan puncak daftar orang terkaya di Indonesia, mengalahkan Presiden dan para pengusaha lain. Saat itu aku sangat senang. Aku bisa membeli apa pun yang kumau. Makanan lezat, konsol gim, pakaian bagus, sneaker keren, dan masih banyak lagi.

Namun, semua kesenangan itu berakhir pahit setelah Ayahku tewas ditembak oleh saingan bisnisnya. Ibuku yang sedih akhirnya sakit-sakitan dan ikut meninggal. Akhirnya, akulah yang menjadi pewaris tunggal seluruh kekayaan Ayahku.

Tanpa Ayah dan Ibu di sisiku, semua uang dan barang berharga di rumah seolah tidak ada nilainya. Maksudku, setiap kali aku berusaha menikmati kekayaanku, rasanya seperti ada yang hilang. Kalau begini, sepertinya lebih baik aku kembali menjadi orang sederhana saja asalkan Ayah dan Ibuku bisa hidup kembali. Sayangnya hal itu mustahil. Orang yang telah mati takkan bisa dibangkitkan lagi, 'kan?

Sekarang umurku genap 20 tahun. Bisnisku cukup baik, dan aku telah menpekerjakan puluhan pembantu di rumah. Salah satu pembantu terbaikku adalah Pak Bram. Ia adalah pria 45 tahun yang loyal dan berwibawa. Aku bahkan tak keberatan menjadikannya sebagai asisten pribadi. Selama ini dialah orang yang selalu menemaniku berbincang dan menghabiskan waktu luang. Ya, bisa dibilang kalau Pak Bram mengingatkanku pada sosok Ayah.

Akan tetapi, rasa kehilangan di hatiku tetap saja tidak bisa terbendung. Terhitung sampai hari ini, aku telah lebih-kurang 69 kali bermimpi bertemu Ayah dan Ibuku. Itu bukan sesuatu yang mudah. Pada akhirnya, akulah satu-satunya orang yang terjangkit kebosanan di tengah lautan harta yang berkilauan. Sungguh ironis.

"T-Tuan muda! S-saya tidak bisa m-melakukan ini."

"Ada apa denganmu, Pak Bram? Bukankah kita sudah sepakat?"

"T-tidak! M-mana mungkin saya mau melakukannya!"

"Ayolah. Kau tidak perlu khwatir. Aku pasti akan menikmatinya, meskipun sakit."

"A-apa Anda sudah gila, Tuan muda?!"

"Cepatlah, Pak Bram." Aku menatapnya dengan mata lesu. "Arahkan pistolmu dengan benar," kataku seraya menempelkan mulut pistol yang dipegang Pak Bram ke jidatku.

"B-bunuh diri itu dosa, lho!" protes Pak Bram.

"Siapa bilang aku bunuh diri? Dasar Pak tua pikun. Kaulah yang akan membunuhku ... atas perintahku sendiri." Aku tersenyum pahit.

"B-bagaimana jika saya ditangkap?"

"Aku telah membuat puluhan video kesaksian bahwa aku yang memintamu untuk melakukan ini. Jadi kau tinggal tunjukkan itu kepada polisi."

"A-anu, Tuan muda! S-sebenarnya kenapa Anda ingin melakukan ini?" Pak Bram membredelku dengan pertanyaan kritis.

Aku sempat terdiam, lalu akhirnya berkata: "Kenapa, ya? Mungkin karena aku sudah bosan. Itu saja."

"A-Anda yakin hanya itu?"

"Sebenarnya tidak, sih. Aku ingin hidup di dunia yang lain. Hidup di dunia yang membosankan ini, tanpa Ayah, tanpa Ibu, itu sama saja membusuk kesepian." Aku menggeram terbawa suasana. "Hey, Pak Bram! Apakah kau tidak lihat pot-pot emas di atas meja itu?! Lihatlah mereka! Seperti menertawakan kemalanganku! Semua harta di rumah ini menertawakanku. Mereka mengambil semua kebahagianku. Jadi ... CEPAT TEKAN PELATUKNYA SEKARANG!"

"B-baik! Maafkan saya Tuan muda! Maafkan saya!"

DORR!!!

Semuanya buram. Rasanya dingin, sangat dingin. Aku masih bisa merasakan diriku tumbang dan darah terciprat ke mana-mana. Ah, ternyata beginilah akhir kisah hidupku. Mati karena dipukul telak oleh kebosanan. Ke mana semua hartaku? Apakah mereka sudah tidak sudi menolongku?

Aku hanya bisa pasrah menunggu ajal tiba. Sebelum itu, izinkan aku tersenyum untuk terakhir kalinya. Hatiku rasanya lega sekali. Meski aku tidak tahu akan pergi ke mana setelah ini, tetapi hatiku benar-benar plong. Lihatlah, sekarang semuanya menghitam. Sepertinya waktumu tidak lama lagi. Baiklah, saatnya mengucapkan salam perpisahan. Selamat tinggal, Dunia.

(Bersambung)

avataravatar
Next chapter