2 Sebuah Kebodohan

Happy Reading

Ketika mentari mulai memasuki celah-celah, diantara tirai yang menutupi jendela kaca. Menerobos untuk memberikan cahaya terang pada setiap sudut kamar itu. Seorang wanita baru saja mengerjapkan matanya, merasakan seluruh tubuh yang remuk redam. Menahan rasa nyeri di dalam inti tubuhnya. Begitu benar-benar membuka matanya, terlukis wajah keterkejutan dan penyesalan secara bersamaan. Lebih mengejutkannya lagi ketika wanita itu melihat sosok pria yang terbaring di sampingnya.

"Sial! Bagaimana aku bisa berada di ranjang yang sama dengan pria brengsek ini," gerutu Imelda disertai kekesalan karena kebodohannya. Wanita itu baru menyadari jika dirinya sudah tak memakai apapun, benar-benar tanpa sehelai benang pun. "Bodoh!" Imelda merutuki dirinya sendiri yang begitu mudah terjebak dalam pesona Brian. Imelda mulai memunguti pakaiannya dan memakainya. Namun wanita itu tak bisa menemukan underwear miliknya. Imelda mencoba mencari di setiap sudut kamar itu, tetap saja di tak menemukannya.

Imelda berdiri di depan kaca kamar Brian, terlihat seluruh tubuhnya dipenuhi bercak merah yang menandakan betapa panasnya percintaan mereka berdua. "Terlihat sangat murahan," makinya pada dirinya sendiri. Wanita itu mencari barang-barang yang bisa dipakainya di dress room milik Brian. Imelda menemukan sebuah syal dan kacamata hitam milik pria yang masih terbuai dalam tidurnya itu. Dia pun memakainya untuk menutupi dirinya yang terlihat sangat murahan baginya.

Diam-diam Imelda menyusup keluar untuk menghindari beberapa bodyguard di villa itu. Namun sayang sekali, dia sangat tidak beruntung. Seorang bodyguard memergokinya saat hendak melewati gerbang depan.

"Tunggu, Nona. Saya bisa mengantarkan Anda pulang," seru seorang bodyguard yang cukup tinggi dan tampan.

Imelda tak mungkin menunjukkan dirinya pada pria yang menawarkan diri untuk mengantarnya itu. "Sial!" gerutunya dalam hati. "Aku bisa pulang sendiri. Lanjutkan saja tugas kalian." Imelda langsung berlari tanpa alas kaki dan menghentikan sebuah taksi yang kebetulan melewati depan villa itu. "Ke Paradise Land, Pak," ucapnya pada sopir taksi itu.

"Apa Nona baik-baik saja?" tanya sopir taksi itu dengan sangat cemas.

Imelda sedikit bingung mendengar pertanyaan sopir taksi itu. Dia sama sekali tak mengerti mengapa pria itu bertanya tentang keadaannya. "Apa aku terlihat tidak baik?" tanyanya balik.

"Maaf, Nona. Saya selalu khawatir pada setiap wanita yang keluar dari villa itu. Sudah beberapa kali saya selalu mengantarkan mereka ke rumah sakit dalam kondisi terluka parah," jelas sopir itu dengan wajahnya yang terlihat cukup cemas.

"Terima kasih atas kekhawatiran Anda. Saya baik-baik saja," jawab Imelda sedikit ragu. "Namun aku sudah kehilangan sesuatu yang sangat berharga dalam hidupku," ucapnya dalam hati. Tak ada yang ingin disesalinya, semua yang telah terjadi tak mungkin lagi dihindari. Andai waktu bisa diputar kembali, Imelda tak pernah menginginkan pertemuannya dengan Brian. Di mata Imelda, Brian hanyalah seorang pria brengsek yang sering berganti-ganti wanita. Meskipun Brian terlibat dalam dunia mafia, Imelda tak pernah membencinya karena hal itu. Dia sangat membenci Brian yang selalu terlihat bersama wanita yang berbeda setiap kali mereka berdua berjumpa.

Di villa milik Brian, pria itu baru saja terbangun dari tidurnya yang cukup nyenyak. Brian meraba-raba di sampingnya, namun tak dapat menemukan yang sedang dicarinya. Begitu membuka matanya, Brian tak menemukan Imelda di sampingnya. Pria itu langsung bangkit dari tempat tidurnya dan memakai pakaiannya. "Sial! Di mana Imelda?" gerutunya dengan wajah marah.

Pria itu langsung keluar dari kamarnya dan menemui beberapa bodyguard yang berjaga di sana. "Di mana wanita yang baru keluar dari kamarku?" tanya Brian sedikit berteriak pada pria-pria berbadan kekar itu.

"Maksud Bos wanita murahan yang semalam itu?" jawab salah satu dari mereka.

Brian justru memberikan pukulan keras pada bodyguard-nya sendiri. "Brengsek! Dia bukan wanita murahan! Sekali lagi aku mendengar kalian menyebutnya murahan, aku sendiri yang akan menembak kepala kalian satu per satu," ancamnya pada para bodyguard yang sudah dibayarnya itu. "Kemana dia pergi?" teriak Brian dengan frustasi.

"Wanita itu ... menaiki sebuah taksi yang kebetulan lewat, Bos," jawabnya dengan wajah ketakutan.

Dengan sangat marah Brian memberikan tendangan pada kaki mereka. "Kalian benar-benar tidak becus bekerja," seru pria itu sebelum kembali ke kamarnya. Kepergian Imelda yang tanpa pamit telah menghancurkan mood Brian pagi itu. Seharian pria itu terus mengamuk tidak jelas. Ada perasaan gelisah sekaligus cemas yang menyerangnya dan membuat Brian seolah sesak tak mampu bernafas. Pria itu membuang selimut yang dipakainya semalam ke lantai.

Apa yang yang baru saja dilihatnya, membuat Brian semakin frustasi. Dia melihat noda darah di atas sprei ranjang di kamarnya. "Ternyata Imelda masih perawan?" Pria itu memukuli kepalanya sendiri, dia tak mampu membayangkan bagaimana perasaan wanita itu sekarang. Brian merasa sangat berdosa mengambil kesucian wanita yang dicintainya sejak lama. Tanpa keinginan untuk beranjak dari kamarnya, Brian menarik sprei itu. Sebuah kain berbentuk segi tiga terjatuh di kakinya. "Imelda pergi tanpa memakai underwear-nya?" Brian berteriak karena kebodohannya sendiri. "Aku benar-benar seorang pria brengsek. Bagaimana aku membiarkan wanita itu pergi seperti wanita murahan." Pria itu merutuki dirinya sendiri. Merasa sangat bersalah sekaligus berdosa pada Imelda.

Dalam kemarahannya, Brian menghancurkan seluruh isi kamarnya. Dengan sangat keras dia memukul sebuah kaca di kamarnya. Darah segar langsung mengalir dari tangan Brian. Bahkan seluruh lantai di penuhi dengan tetesan warna merah yang terlihat mengerikan. Pria itu terduduk di lantai tanpa bergerak sedikit pun.

Saat kondisi kamar bos-nya menjadi sunyi, seorang bodyguard berinisiatif memeriksa keadaan pria yang menjadi bos-nya itu. Pria itu sangat terkejut melihat Brian berlumuran darah segar, secepat kilat pria itu memanggil dokter kepercayaan mereka. Kebetulan sekali dokter itu sedang berada tak jauh dari villa Brian.

Keadaan terlihat sangat mencekam, seluruh penghuni rumah tak ada yang berani membuka mulutnya. Mereka memilih diam dalam kecemasannya sendiri. Untung saja dokter itu cepat sampai di villa.

"Dokter Kevin. Mari saya antar ke kamar." Kevin mengikuti bodyguard yang bekerja di rumah sahabatnya itu.

Begitu pintu terbuka, Kevin harus mengelus dadanya sendiri. Melihat betapa hancurnya kamar milik Brian itu. "Dasar brengsek! Apa yang kamu lakukan? Kamu selalu merepotkan aku saja," gerutunya sambil menarik Brian dan mendorongnya hingga terduduk di sofa kamar itu. Kevin mengobati seluruh luka di tangan Brian. Bahkan pria itu harus mendapatkan beberapa jahitan karena kebodohannya sendiri. "Apa yang sebenarnya terjadi?" bentak Kevin sambil menancap jarum di tangan sahabatnya itu.

Namun Brian tetap saja tak bersuara, menatap kosong ranjang tempat dirinya dan Imelda menghabiskan malam yang menggairahkan.

"Dasar bodoh! Apa susahnya menjawab pertanyaanku?" Kevin semakin emosi melihat Brian yang tak meresponnya. "Lama-lama aku akan memotong tanganmu," ancamnya lagi. Kevin semakin tak mengerti dengan sahabatnya itu. Tidak biasanya Brian melakukan hal bodoh yang melukai dirinya sendiri.

avataravatar
Next chapter