5 Aku Memang Pantas Mati

Happy Reading

Semalaman Davin sama sekali tidak memejamkan matanya. Pria itu terlalu mengkhawatirkan anak perempuannya dan juga terlalu pusing memikirkan langkah apa yang harus diambilnya esok hari. Pagi itu, Davin sengaja memanggil Alex ke rumahnya pagi-pagi sekali ketika Imelda belum juga terbangun. "Alex. Temani aku memberikan pelajaran pada pria brengsek yang telah menghamili anakku. Rasanya aku ingin memecahkan kepalanya sekarang juga," seru Davin pada lelaki yang berdiri di hadapannya itu.

"Haruskah saya memerintahkan seluruh agen untuk membantu kita?" tanya Alex pada atasannya itu.

Davin memang sangat terpukul dengan musibah besar yang menimpa anak perempuannya itu, namun dia tak ingin larut dalam duka yang mendalam. "Tak perlu. Aku hanya membutuhkan kamu menemaniku, bisa saja akan terjadi pertumpahan darah yang mengerikan. Aku tak akan melibatkan mereka semua," jelasnya dengan sangat yakin. Davin berjalan ke sebuah lemari yang cukup besar, dibukanya laci itu. Pria itu mengambil sebuah senjata yang akan dibawanya mendatangi rumah Prayoga. "Bawalah senjatamu! Hal buruk bisa saja terjadi di sana." Davin kembali berjalan keluar dari ruangannya. Beberapa pengawal pribadinya sudah bersiap di depan pintu. Mereka semua bukanlah pengawal biasa, bahkan mereka memiliki ijin untuk menggunakan senjatanya.

"Tetapi, Bos. Bukankah di sana sangat berbahaya? Saya tak bisa membiarkan Anda sampai terluka," protes Alex pada atasannya. Pria itu tak akan membiarkan Davin sampai terluka sedikit pun. Alex membawa beberapa senjata yang bisa dibawanya, untuk melindungi diri dan juga atasannya.

Davin berjalan keluar dari rumahnya, tiba-tiba dia menghentikan langkahnya. "Suruh Marco mematikan seluruh CCTV di sepanjang jalan yang akan kita lalui," perintahnya pada Alex yang juga berdiri di belakangnya.

"Siap, Bos." Alex langsung menghubungi Marco secepat mungkin agar mereka segera bisa berangkat ke kediaman bos mafia itu.

Terlihat Davin sedang berbicara serius pada beberapa sosok pria yang bertubuh besar dan tinggi yang menjadi pengawal sekaligus penjaga di rumahnya itu. Sejak kematian istrinya beberapa tahun silam, Davin memperketat penjagaan di rumahnya dan juga di sekitar keluarganya. Selama ini banyak orang yang tak menyadari jika Davin adalah seorang anggota badan intelijen, yang mereka ketahui pria itu hanyalah seorang pengusaha sukses yang kaya.

"Seluruh CCTV sudah mati, Bos," cetus Alex yang sudah berdiri diantara orang-orang itu.

"Berangkat sekarang!" seru Davin pada seluruh orang yang sudah bersiap di halaman depan. Mereka semua berangkat beriringan menggunakan 3 mobil mewah warna hitam yang sedikit mencolok. Setelah beberapa menit perjalanan, sampailah mereka di depan rumah mewah yang cukup megah dengan penjagaan yang sangat ketat. "Biar aku yang turun," ucap Davin pada Alex yang terlihat akan membuka pintu mobil itu. Davin berjalan keluar di depan gerbang yang dijaga ketat itu. "Beritahu bos-mu untuk segera membuka gerbangnya sebelum aku membukanya dengan caraku," cetusnya pada dua penjaga yang berdiri di depan gerbang.

Lima menit kemudian, gerbang itu benar-benar terbuka dengan lebar. Davin kembali masuk ke dalam mobil, kemudian 3 mobil yang bersamanya tadi masuk ke dalam rumah mewah itu. Mereka semua keluar dan berdiri di sekitar Davin. "Kerjakan tugas kalian. Aku dan Alex akan masuk lebih dahulu," perintah Davin pada beberapa pengawalnya. Mereka langsung berjalan berhamburan ke segala arah, tak ada perlawanan yang cukup berarti. Sepertinya sang empunya rumah benar-benar menyambut kedatangan mereka. Davin melangkahkan kakinya menuju ke dalam rumah mewah itu, namun tiba-tiba Alex menghentikan atasannya itu.

"Tunggu, Bos. Haruskah kita memanggil bantuan? Adi Prayoga sangat berbahaya, kita tak bisa hanya berdua saja di dalam," protes Alex pada pria yang berjalan di depannya.

"Aku sangat mengenal Prayoga, tidak ada yang perlu aku takutkan. Jika kamu takut, tunggu saja di luar. Aku akan masuk ke dalam sendirian," sahut Davin sambil berjalan memasuki dalam rumah dengan pintu yang sudah terbuka. Tak ingin membiarkan atasannya itu dalam bahaya, Alex memutuskan untuk tetap masuk bersama pria itu. Davin melihat sekeliling, suasana rumah cukup sepi. Hanya ada beberapa pelayan yang sedang berlalu-lalang melakukan pekerjaannya.

"Selamat datang, Mahendra." Suara yang tiba-tiba terdengar cukup jelas membuat dua pria yang baru saja masuk itu cukup terkejut. Mereka berdua secara bersamaan membalikkan badannya ke arah suara. "Sepertinya kamu sudah sangat merindukan diriku, sehingga pagi-pagi sudah singgah di gubuk ini," tambah Adi Prayoga sang empunya rumah itu.

"Hentikan omong kosong mu itu, Prayoga. Aku hanya ingin mencari pria brengsek yang menjadi anakmu itu," sahut Davin dengan suara yang sangat dingin dan wajah cukup serius.

Adi tertawa kecil melihat ekspresi wajah Davin yang penuh amarah. Dia sama sekali tak tahu alasan kedatangan pria itu ke rumahnya. "Apakah anak itu telah mengedarkan narkoba atau menjual senjata secara ilegal? Sehingga kamu akan menangkapnya," tanyanya dengan senyuman yang masih merekah di wajah pria yang cukup tampan meskipun cukup berumur.

Tak berapa lama beberapa pengawal tadi datang menghampiri Davin. "Semua sudah beres, Bos," ucap salah satu dari mereka.

"Cepat bawa kemari anakmu! Sebelum aku meledakkan istana milikmu ini," teriak Davin pada pria yang masih tersenyum menatap dirinya.

"Mahendra. Ternyata kamu masih saja kejam seperti dulu, aura dingin dalam dirimu juga tak pernah berubah." Adi mengatakan hal itu tanpa ada emosi sedikit pun. Pria itu sangat mengenal sosok Davin Mahendra, seorang anggota badan intelijen yang menutupi identitasnya dengan menjadi seorang pengusaha. Ayah dari dua orang anak yang ditinggalkan oleh istri yang sangat dicintainya. "Aku masih sangat membencimu karena kamu menjadikan istrimu sebagai umpan untuk obsesimu dalam menyelesaikan misi," ucapnya dengan suara bergetar dan terdengar cukup sedih.

Secara tiba-tiba, Davin menembakkan sebuah peluru ke sebuah guci yang terpajang di ruangan itu. "Hentikan ocehan mulutmu! Bawa anakmu sekarang juga!" Davin kembali berteriak tanpa kendali.

"Cepat bawa Brian ke sini. Sebelum rumah ini hancur tak bersisa," perintah Adi pada anak buahnya yang berdiri di belakangnya. "Kamu semakin tak sabaran, Mahendra," sindirnya dengan sebuah senyuman.

Davin tak menanggapi sindiran itu, dia hanya berdiri dengan gelisah menunggu kedatangan anak dari bos mafia itu. Tak berapa lama, datanglah Brian dengan wajah yang masih mengantuk. "Untuk apa Papa memanggilku?" tanyanya dengan setengah kesadaran di dalam dirinya. Bahkan pria itu tak sadar jika ada orang asing di rumahnya.

Dengan gerakan yang sangat cepat, Davin menarik Brian dan membuatnya berlutut di lantai sambil menodongkan senjata di kepalanya. "Apa yang sudah kamu lakukan pada Imelda?" Sebuah pertanyaan yang membuat Brian sadar dengan keadaannya sekarang. Brian menengadahkan kepalanya dan menatap Adi dengan penyesalan.

"Aku memang pantas mati, Om. Semua itu adalah kesalahanku," sesal Brian.

"Apa yang sebenarnya terjadi? Jangan bermain teka-teki denganku!" Akhirnya Adi tersulut emosi, dengan sesuatu hal yang tak dia mengerti.

"Aku akan menghabisi anakmu sekarang juga." Davin sudah bersiap menembakkan senjata yang sudah menempel di kepala Brian. Dia tak bisa mengendalikan dirinya, sedangkan Brian terlihat pasrah karena rasa bersalahnya kepada Imelda.

avataravatar
Next chapter