1 PROLOG

Sudah terlalu larut bagi seorang gadis kecil berumur sepuluh tahun yang saat ini masih membuka matanya. Netra berwana hitam itu menatap kosong ke atas. Semua benda empuk yang menopang tubuhnya untuk berbaring terasa sangat tidak nyaman.

Gelap.

Pencahayaan kecil yang bertugas untuk menerangi ruangan berukuran cukup besar sengaja dimatikan. Semua orang di ruangan tersebut sudah tertidur, kecuali dirinya.

Perlahan, sebelah tangan mungilnya Ia angkat ke atas. Menampakkan suatu benda melingkar indah di pergelangan tangan seorang gadis kecil.

Gelang warna-warni dengan charm berinisial 'GG'.

"Gina, kenapa gak tidur, nak? Gina haus?" Suara barithon berat yang tepat berada di samping telinganya sukses membuat gadis kecil bernama Gina tersebut menoleh. Tatapan matanya langsung tertuju ke arah mata sang Papa.

Gina menggeleng. Menatap lekat ke arah wajah pucat itu, semakin hari semakin tidak berwarna. Kantung mata menghiasi wajah tampan lelaki tersebut. Bibirnya kering, juga semakin berwarna putih dari hari ke hari, namun sorot mata hangat dan senyuman manis penuh kasih sayang, tidak pernah pudar untuk Ia berikan kepada istri juga anak-anaknya.

"Terus kenapa? Tidur lagi yuk, udah malem. Gak baik buat anak kecil kayak kamu." Kedua tangannya mendekap tubuh mungil tersebut dari samping. Memberikan kenyamanan luar biasa yang anehnya tetap tidak bisa membuat Gina merasa mengantuk. Fikiran berkecamuk dengan pemikiran negatif, berhasil mengalahkan semuanya.

Dengan paksa, Gina merenggangkan pelukan sang Papa. Dia meraih sebelah tangan Papanya, kemudian menautkan kedua jari kelingking mereka. Menatap lekat tepat ke arah netra yang sama persis seperti dirinya itu dengan mata membulat penuh harap.

Berharap dengan dirinya mengatakan hal ini kepada sang Papa dapat membuatnya mengantuk barang sedikit.

"Papa harus janji sama Gina, Kak Gian sama Kak Gino. Papa gak bakal kemana-mana sebelum kami bertiga berhasil ngebahagiain Papa sama Mama, ya?" Sorot mata polos yang biasa Ia tunjukkan kini diselimuti oleh sorot mata penuh permohonan. Berharap bahwa salah satu dari sekian orang yang berharga di dunia ini berjanji seperti apa yang dirinya katakan.

Sang Papa tertegun. Tidak menyangka bahwa putrinya meminta hal yang bahkan sedikit kemungkinan untuk Ia mengabulkannya. Bibirnya sedikit bergetar. Air yang tergenang di mata sayunya berusaha Ia tahan agar tidak terjatuh. Dia melepas tautan jari kelingkingnya dengan Gina secara perlahan. Memilih kembali mendekap putrinya dengan sangat erat.

"Sekarang juga Gina, Gino sama Gian udah cukup buat Papa bahagia. Nih, sekarang Papa ada disini, gak kemana-mana." Setetes air mata tanpa bisa dicegah kembali, berhasil meluncur dengan cepat melewati pipinya. Gina kembali menggeleng, kali ini gelengannya lebih kuat daripada sebelumnya.

"Bukan sekarang, tapi nanti pas Gina sama dua kakak kembar Gina udah gede, udah bisa punya uang sendiri terus nanti nikah sama pasangan masing-masing," Gina mendongak, menatap sang Papa yang balas menatapnya sendu. "jadi, sampe saat itu, Papa harus janji sama kami. Jangan kemana-mana. Jangan tinggalin anak kembar Papa sama Mama, ya?" lanjut Gina.

Ayah dari ketiga anak tersebut berusaha tersenyum. Memasang pertahanan yang sangat kuat di segala sisi ekspresi wajahnya. Tangannya menangkup lembut pipi gembul Gina, menatap lurus ke arah bola mata hitam yang menatapnya polos penuh ketulusan, harapan, dan permohonan.

Sebenarnya Ia pun tidak ingin pergi meninggalkan seluruh keluarga tercintanya. Semua ini bukan keinginannya, akan tetapi Ia bisa apa jika Tuhan sudah berkehendak?

Dirinya tidak ingin membuat ketiga anak kembarnya juga menaruh harapan besar atas kelangsungan hidupnya. Semua sudah bekerja keras untuk ini, tetapi tidak ada yang berhasil. Semua tinggal menunggu hari. Meskipun dirinya masih sangat ingin bersama keluarganya lebih lama lagi, namun disisi lain sang Papa tidak kuat. Tubuhnya benar-benar sudah tidak bisa diajak kompromi, dirinya tidak kuat lagi.

"Papa gak bisa janji. Gimana kalau Gina, Gino, Gian aja yang jan---" Belum sempat Papanya selesai berucap, Gina menepis kasar tangan sang Papa dari pipinya.

Gina bangkit dari posisi berbaring, lalu turun dari ranjang rumah sakit yang muat ditempati oleh Gina, sang Papa dan Mamanya tersebut. Walaupun ruangan tersebut gelap, namun Gina dapat melihat cukup jelas tempat dimana kedua kakak kembarnya tertidur pulas. Ia melangkah cepat menuju ke arah sofa. Kakak kembarnya itu tertidur dengan posisi saling memunggungi, berusaha menjaga agar salah satu dari mereka tidak jatuh dari sofa yang mereka tempati.

Gina melompat, menyusup ke tengah-tengah mereka, tepat di antara Gian dan Gino. Dua orang yang mempunyai muka sama persis seperti apa yang dimilikinya. Gina tidak bisa menanggung rasa sedihnya lagi. Ia bisa dibilang masih tergolong anak-anak, tapi Gina tahu apa arti dari ditinggalkan. Gina juga cukup mengerti dengan kondisi sang Papa yang tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Gina tahu, Ia hanya mengharapkan sebuah harapan semu.

Karena ukuran sofa yang tidak muat untuk dipakai bertiga, Gina tidak berhasil menyusup di tengah-tengah kakak kembarnya. Membuat tubuh mungilnya menindih kedua sisi tubuh sang kakak.

Merasa tubuh mereka terasa tiba-tiba berat, Gian dan Gino otomatis terbangun. Melirik ke arah sesuatu yang menindih mereka.

Gian yang terbaring di bagian sisi sofa, secara reflek menurunkan sebelah tangannya ke lantai, menahan tubuhnya agar tidak terjatuh. Perlahan Ia turun dari sofa tersebut dan segera melirik dalang dari semua ini.

"Gina?" ujar Gian bingung.

Gino yang sedang mengusap matanya karena terbangun juga ikut terheran. Mengapa adik kembarnya ini secara tiba-tiba merenggut paksa tempat untuk tidur mereka yang sudah jelas memiliki ukuran yang sangat minim, bahkan untuk ditiduri oleh dua orang.

"Kamu ngapain? Tidur di ranjang sama Mama-Papa sana. Jangan disini," ucap Gian serak. Ia masih sangat mengantuk, sebab saat ini bukan waktunya anak kecil seperti mereka untuk terbangun. Gian menarik baju Gina agar sang empu yang mengganggu tidurnya turun, tanpa bertanya mengapa sang adik kembar tidur di sofa ini.

Sedangkan Gino sedikit mengernyit. Melihat Gina menangkup wajah dengan kedua tangannya, membuat Ia tahu ada yang tidak beres dengan Gina. Hidup dan tumbuh bersama bertahun-tahun membuatnya hafal apa yang terjadi dengan gadis kecil tersebut.

"Kenapa nangis?"

Mendengar pertanyaan Gino yang Dia tahu ditujukan untuk Gina membuat Gian terdiam. Tangannya yang tadi menarik baju Gina untuk turun sekarang berpindah tempat ke arah tangan Gina. Memaksa sang adik kembar membuka kedua tangannya. Memastikan apakah benar Gina sedang menangis.

"P-papa gak mau janji sama G-gina ... " Di sela tangisnya Gina berbicara. Tangannya tidak lagi menutup wajahnya. Memperlihatkan kedua  mata sembab juga pipi yang dipenuhi oleh air mata.

Gian dan Gino saling bertukar pandang. Ikatan batin diantara mereka cukup kuat, kesedihan mendalam yang dirasakan oleh Gina sangat terasa oleh mereka berdua. Tidak biasanya adik kembar mereka itu menangis saat matahari sudah digantikan oleh bulan. Membuat perasaan khawatir menjalar ke seluruh tubuh keduanya.

"Janji apa?" tanya Gian.

"Janji kalau Papa gak boleh pergi kemana-mana ninggalin kita." Gina kembali berbicara dengan susah payah. Jari-jarinya mengepal kuat sampai buku-bukunya memutih, berusaha untuk menahan tangis yang semakin lama semakin keras.

Sorot mata dari kedua kakak kembar Gina berubah. Kesedihan memenuhi raut wajah Gian dan Gino, ikut merasakan apa yang Gina rasakan. Bukan hanya Gina yang ingin sang Papa untuk tetap tinggal, merekapun sama. Tapi mau bagaimana lagi. Takdir sudah berkata lain dan mereka tidak bisa apa-apa lagi.

Sebelah tangan Gian terangkat, menghapus air mata adik kembar perempuannya itu. Sedangkan Gino mengusap punggung Gina perlahan, berusaha menenangkan Gina agar Ia berhenti menangis.

"Gian, Gina, Gino," panggil sang Papa. Melihat ketiga anaknya seperti itu membuat dirinya tidak kuasa lagi menahan tangis. Hati Gian, Gino, dan Gina pun semakin teriris ketika telinga mereka mendengar suara sang Papa yang semakin serak.

"Kemari, nak." titah Papa mereka. Gian terlebih dahulu berdiri, berniat menyalakan lampu. Namun hal itu dengan cepat dicegah oleh sang Papa.

"Jangan dinyalain lampunya, nanti Mama kalian bangun." Gian yang mengerti segera berjalan menghampiri ranjang tempat Papa dan Mama mereka berbaring. Disusul oleh Gino, Ia berjalan dengan Gina yang berada dirangkulannya agar tidak terjatuh.

"Kemarikan tangan kalian yang kemarin Papa kasih gelang." Dengan patuh, ketiga anak kembar tersebut menjulurkan tangan mereka yang dililit oleh gelang berinisial. Sedikit berbeda dengan Gina, warna gelang Gian dan Gino berwarna hitam dengan charm berinisial 'Gg'.

"Maafin Papa, gak bisa nerima janji Gina," jeda sejenak, "tapi kalian pasti ngerti, bukan?" ucap sang Papa lirih. Ia menggenggam tangan mungil ketiga anak kembarnya. Meraup ketiga tangan itu menjadi satu, tenggelam di kedua tangan pucat sang Papa.

Rasa sedih memenuhi perasaan mereka. Berusaha menerima takdir yang sangat kejam memperlakukan mereka. Air mata sang Papa mengalir semakin deras, begitu pula dengan Gian, Gino, dan Gina.

"Oleh sebab itu, Papa minta kalian yang janji aja ya sama papa." Suara sang Papa yang dibuat kecil, bergetar. Sesak, melihat kedua anak laki-lakinya memeluk Gina yang kembali terisak.

Saling memberikan kekuatan kepada mereka yang ditampar keras oleh kenyataan.

"Kalian harus janji sama Papa, nanti di masa depan, kalian harus tetap bersama ya. Jangan pernah berpisah apalagi memutus hubungan persaudaraan." Tangan-tangan yang sang Papa genggam, Ia usap perlahan. Berusaha memberikan kekuatan agar ketiga anak kembarnya tersebut berhenti bersedih dan menangis.

"Dalam keadaan apapun, situasi apapun, dan sebesar apa masalah kalian, jangan pernah berpisah. Janji?"

Gina melepaskan pelukan kedua kakak kembarnya, kemudian dengan segera memeluk tubuh lemah sang Papa selembut mungkin.

Gian dan Gino yang melihat itu, segera bergabung dengan apa yang dilakukan oleh Gina. Merasakan kehangatan dari tubuh Papa mereka yang mulai dingin. Pelukan penuh kasih sayang dari anak-anak mereka kepada Papanya.

"Kami janji, Pa," ucap Gino mewakili.

Di samping tempat Papa mereka berbaring, tidak ada satupun yang menyadari bahwa Mama mereka mendengar percakapan itu dari awal hingga akhir dengan mata tertutup dan air mata yang mengalir deras tanpa suara.

avataravatar
Next chapter