61 60. Keputusan

Sesampainya di dalam rumah cukup larut, Gina melangkahkan kakinya tergesa menuju ke arah satu ruangan yang beberapa hari lalu sudah kosong.

Kamar Dokter Hani.

"Pasti disini ada." Gina segera mengeluarkan kunci yang terikat sangat banyak dari kantungnya. Tangan cekatannya memilah kunci-kunci cadangan setiap ruang yang selalu ada di masing-masing anggota keluarga Adhitama.

Gadis itu tersenyum saat menemukan apa yang ia cari, dengan cepat membuka pintu kamar Dokter Hani yang terkunci. Sebelum melangkah masuk, Gina melirik ke arah kamar Gian dan Gino yang masih dapat terlihat walau sangat jauh.

Gina menghela nafas lega saat tahu kedua kakaknya sudah sampai di rumah, kenop pintu yang ia pegang lagi-lagi menjadi sasaran cengkraman kuat dari gadis itu. Namun dapat terlihat jelas bahwa yang tersakiti bukanlah si benda mati, melainkan tangan Gina yang semakin memerah.

"Gina bakal ngelakuin apapun kak, apapun supaya kalian berdua nggak bakal tersakiti kedepannya," tekad Gina kuat. 

Dia melanjutkan lagi langkahnya ke dalam kamar yang sangat gelap, lampu kamar sengaja tidak Gina nyalakan agar tidak ada yang tahu bahwa dirinya menyelinap masuk ke dalam kamar psikiater pribadinya.

Selayaknya mata hewan nokturnal, tempat yang minim pencahayaan pun masih dapat Gina lihat. Kakinya hafal segala sudut ruangan yang biasa psikiaternya tempati jika penyakit mentalnya kambuh. 

Dan juga, kegelapan sudah menjadi teman baik Gina jika dirinya sedang tidak baik-baik saja, maka dari itu tidak ada ketakutan sama sekali dari netra hitamnya yang membesar. 

Karena menurut Gina, kegelapan lebih baik daripada orang-orang yang tidak memiliki hati.

Tangan gadis itu meraba laci meja yang ada di pojok ruangan, berniat menarik laci tersebut agar terbuka dan memperlihatkan isinya. Gina memejamkan mata sejenak, berharap besar agar sesuatu yang amat diinginkannya berada di dalam tempat itu.

"Semoga ada, semoga ada," lirih Gina berbisik. Nada suara yang sarat akan keinginan yang amat besar itu keluar begitu saja dari mulutnya.

Perlahan, Gina menarik laci meja agar terbuka. 

Seketika itu juga mata Gina terbelalak, tidak percaya atas apa yang disajikan pada indra pengelihatannya. Sungguh, Gina tidak percaya ini. Bahunya meluruh karena lega, hanya ini. Hanya ini yang ia butuhkan untuk bertahan melindungi kedua kakak kembarnya.

Gina meraup semua yang ada di dalam laci, ia masih tidak percaya Dokter Hani melupakan semuanya. Melupakan benda penting yang seharusnya psikiater itu bawa. Gina memasukan semua ke dalam kantung hoodie miliknya.

Lantas melangkah keluar kamar Dokter Hani. Sungguh Gina akan melindungi kedua kakak kembarnya sekalipun itu mempertaruhkan antara hidup dan mati.

Gina sangat yakin akan keputusannya kali ini, karena yang ia bawa dari kamar Dokter Hani adalah,

Beberapa botol obat penenang.

*****

Gina menatap lekat pantulan dirinya di depan cermin. Semalaman ia tidak bisa tidur, alhasil kantung mata besar terlihat amat nyaman berada di bawah mata Gina. Gadis itu membuka seluruh baju piyamanya, kecuali dalaman.

Ia menatap lagi ke arah cermin, kulit putihnya terlihat sangat pucat, tangan dan kakinya pun terlihat semakin kurus semenjak sang Mama pergi ke New York untuk urusan pekerjaan tepat beberapa minggu lalu.

Gina tersenyum miris, biarlah. Ia cukup paham akan keadaannya sendiri, bayangkan saja. Semenjak kejadian makan malam itu, semua terasa amat kacau. Tak lama, tawa menggelegar berasal dari satu-satunya manusia yang ada di sana.

Tidak, bukan semenjak acara makan malam itu. Akan tetapi semenjak Papanya meninggal, semua sudah terasa amat kacau. Hancur dan menyisakan luka yang teramat dalam hingga tujuh tahun setelahnya.

Lebih parahnya lagi, situasi semakin memburuk sejak malam itu. Dan semakin terasa mengerikan saat Gian dan Gino mengingkari janji mereka kepada Gina.

Gadis malang tersebut mendekat ke arah kaca sembari menyisir surai hitam bergelombang miliknya dengan sepuluh buah jari lentik.

"Gua bakal ngelakuin apapun, ya, seorang Gina bakal ngelakuin itu bahkan kalau harus pake cara kasar sekalipun." Di tengah wajah cantiknya yang sangat terlihat seperti orang depresi, Gina menyunggingkan senyum miring.

"Apapun buat dua kakak kembar gua," ulangnya sekali lagi.

Karena tubuhnya yang lengket serta wajahnya yang perlu diberi perawatan, Gina melirik ke arah belakang. Tepat dimana bathube yang sedari tadi ia isi air sudah penuh dan siap untuk digunakan. 

Gina memejamkan mata lelah, mimik wajahnya sudah tidak seperti tadi lagi. Sekarang hanya terlihat wajah seorang remaja berumur tujuh belas tahun yang terlihat amat menyedihkan. Matanya yang sayu sang empu buka untuk melihat keseluruhan tubuhnya.

Terlihat jelas bagaimana seorang gadis yang sangat rapuh, berusaha bangkit menggunakan kedua kakinya agar tetap berdiri tegak dan bertahan akan semua badai yang mengguncang hidupnya. Takdir yang memukul kuat seorang Gina Adhitama.

Gadis itu membalikan badannya, berjalan gontai menuju bathtube untuk membersihkan sekaligus membuat tubuhnya rileks. 

Dan tepat ketika Gina berbalik, cermin besar yang tadi menunjukan sisi depan tubuhnya kini memperlihatkan bagian belakang yang terbuka.

Sisi belakang tubuh, yaitu punggungnya.

Yang dipenuhi bekas luka seperti bekas luka disayat dan dicambuk.

*****

"Kak Gian sama Kak Gino udah berangkat?" Gina melontarkan pertanyaan yang sudah tidak terhitung berapa kali gadis itu mengucapkannya.

Sudah genap seminggu ia tidak masuk ke sekolah, dan tidak ada satu orang pun yang memprotes hal itu. Lagipula, mau Gina tidak sekolah dan membolos tanpa izin pun, gadis tersebut mustahil untuk dikeluarkan dari sekolah.

Karena apa?

Karena sang Mama merupakan donatur terbesar di sekolah yang kini ia tempati, selama berpuluh-puluh tahun sekolah tersebut berdiri, hanya nama belakangnya lah yang menempati posisi pertama donatur terbesar di sekolah.

"Kalau Gian udah, kalau Gino lagi di belakang, di taman rumah." Jawaban dari Bi Mora membuat Gina mengernyit bingung.

"Ngapain kak Gino ada di taman belakang?" Tidak biasanya Gino, dirinya, maupun Gian menginjakkan kaki di taman belakang. Selain tempatnya yang jauh dari kamar mereka, taman pribadi yang terlalu sepi membuat ketiganya kerap kali merinding.

"Oh, dia lagi maen sama pacarnya," jawab Bi Mora santai. "Gina mau bibi masakin telur dadar?"

"Nggak usah."

"Loh, kok nggak usah?" 

"Nggak mau makan, mau balik ke kamar aja." Tanpa menghiraukan ekspresi Bi Mora yang menunjukkan perasaan bersalah, Gina melengos begitu saja. Kakinya melangkah mengikuti apa yang dikatakan oleh hati kecilnya.

Bukan ke arah kamar, melainkan menuju taman belakang.

Tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih, untung saja gadis seperti Gina bukanlah seseorang yang mengharuskan mengikir kuku-kuku jarinya agar terlihat cantik. Jika tidak, nasib telapak tangannya akan sangat mengenaskan dibanding sekarang.

Gina memaksakan kakinya yang terasa sedikit lemas untuk menaiki tangga menuju sebuah ruangan. Ia membuka pintu besar yang terlihat amat lama tidak dibuka. 

Bahkan saat Gina melangkahkan kakinya, suara bergema karena ruangan kosong dan hanya ada beberapa sofa dan kursi tanpa barang-barang lain, menandakan bahwa sudut lain rumah keluarga Adhitama itu jarang sekali dipijak.

Sembari berjalan, sebelah tangannya menarik sebuah kursi tunggal yang terlihat amat nyaman untuk diduduki serta senderan panjang yang bisa digunakan untuk merebahkan tubuh.

Kakinya berhenti tepat di depan sebuah jendela besar, yang teramat besar ada di sana. Dari jendela itu, Gina dapat melihat jelas sepasang kekasih sedang bersanda gurau dan terlihat amat bahagia.

Terutama kakak kembarnya.

Gina duduk seraya menyilangkan kakinya, punggunya juga ia serahkan pada senderan kursi. Sebelah sudut bibirnya terangkat menyeringai.

"Mulai sekarang juga, permainan bakal dimulai."

"Kita liat siapa pemenang sesungguhnya, Viona."

avataravatar
Next chapter