7 6. Serangan Panik

Langit sudah berwarna gelap ketika Gina, Gino, dan Gian selesai membersihkan rumah. Mereka bertiga sedang membersihkan diri di kamar mandi masing-masing untuk menyambut sang Mama pulang dan segera membicarakan kekasih dari seorang Gino.

Saat ini Gina sedang duduk di hadapan meja riasnya. Matanya menelisik ke arah meja yang dipenuhi oleh berbagai macam perawatan wajah. Ia mengambil salah satu krim malam bermerek yang biasanya Ia pakai.

Dahi Gina sedikit mengernyit ketika krim dari skincare nya itu tidak kunjung keluar. Ditekannya wadah krim itu dengan kuat, berharap ada sesuatu keluar dari dalam sana, namun sekuat apapun Gina menekannya, krim wajah tersebut tetap tidak keluar.

Gina meletakkan kembali krim itu dengan sedikit kasar. Jantungnya berdebar saat mengingat bahwa Ia belum membeli skincare lagi. Kursi yang Gina duduki Ia geser ke belakang kasar. Tangannya membuka laci tempat biasanya dirinya menyimpan stok perawatan wajahnya disana. Dengan tergesa Ia mengorek-ngorek isi laci, namun nih apa yang Ia cari tidak kunjung ditemukan.

Ditutupnya laci itu dengan kasar. Nafas Gina mulai tidak bisa dikendalikan. Ia berdiri, menjambak rambutnya yang baru saja Ia sisir beberapa menit lalu. Matanya terpejam berusaha menghalau fikiran negatif masuk.

Masa lalunya yang buruk.

"Kalau tau diri kamu sendiri itu nggak berguna, setidaknya jangan sia-siakan wajah pemberian orang tuamu itu, Gina. Udah nggak berguna, gak ngerawat wajahnya pula. Buat apa menyandang marga Adhitama?"

Terlambat.

Perkataan itu kembali masuk dan terbayang di kepala Gina. Dengan keadaan seperti itu ditambah matanya yang mulai berkaca-kaca, Gina kembali mengambil krim wajahnya. Tangannya yang bergetar berusaha membuka tutup wadah krim secara paksa.

Wajahnya yang dipenuhi jerawat dan terlihat jelek di mata orang lain terus menghantuinya. Ia beranggapan jika dirinya tidak memakai perawatan wajahnya sekali saja, Gina akan menjadi buruk rupa. Dan Ia akan kembali diasingkan.

Seperti dulu.

Kegiatan Gina yang berusaha membuka tutup krim terhenti ketika sebuah tangan merebutnya paksa. Gina mendongak, menatap seseorang yang baru saja melakukan hal tadi.

"Ini, masih ada krim nya sedikit." Gino menyodorkan krim wajah Gina, menyuruh adik kembarnya itu untuk segera memakainya dan menenangkan diri.

Gina dengan cepat mencolek krim wajahnya. Nafasnya kembali teratur ketika krim wajah itu sudah menyentuh permukaan kulitnya. Mata Gina terpejam, berusaha menormalkan detak jantungnya lagi.

Disamping itu, Gino menatap adik kembarnya sendu. Hatinya terasa teriris melihat keadaan Gina yang seperti ini. Gino tahu semua, mengapa Gina menjadi sebegitu paniknya hanya karena satu skincarenya habis.

Paniknya Gina atas krim wajah yang habis tidak bisa dianggap remeh, akan tetapi bagaimana lagi? Yang bisa menyembuhkan mental Gina secara total bukanlah dirinya. Bukan juga keluarganya.

Bahkan Gino dan Gian lah penyebab Gina menjadi seperti ini secara tidak langsung.

Gino berniat masuk ke kamar Gina untuk memberitahukan sesuatu, akan tetapi baru saja Gino mendorong pintu kamar Gina agar terbuka, Ia dikejutkan oleh keadaan Gina yang terserang panik dengan berusaha membuka tutup krim wajah.

Setelah selesai memakai seluruh perawatan wajah yang biasa Ia gunakan pada malam hari, Gina menoleh ke arah Gino yang berdiri di sampingnya. Matanya menyelam ke dalam netra hitam Gino, disana terdapat tatapan sarat akan kekhawatiran dan kesedihan yang membelenggu ketika kakak kembarnya itu menatap dirinya.

Dan Gina tidak menyukai itu.

Lengkungan di bibir tipisnya berusaha Ia tunjukkan di depan Gino, walau saat ini tubuhnya menjadi sedikit lemas. Gino yang menangkap sinyal dari Gina agar dirinya tidak membahas hal tadi, ikut tersenyum. Setidaknya Ia tidak ingin sang adik menangis lagi karena masa lalunya.

"Ngapain masuk ke kamar Gina?" tanya Gina. Suaranya Ia usahakan agar tidak bergetar, agar Gino tidak menunjukkan tatapan seperti tadi lagi.

"Tadi Kakak chat-an sama pacar Kakak."

"Ciee, yang udah punya pacar. Setiap detik, menit, jam kabar-kabaran aja terooss." Alis Gina Ia naik turunkan, mencoba menggoda Gino yang resmi memiliki seorang kekasih.

"Dengerin dulu."

"Apa isi chat-an nya? Pasti sayang-sayangan kan? Atau, good night babe? I love you? I Miss you? Oh ini ya pasti, aku selalu ada untukmu sayang. Ihhhhh," ujar Gina dengan nada mengejek. Bulu kuduknya berdiri ketika mengucapkan beberapa kalimat yang biasanya dilontarkan seseorang dimabuk cinta.

"Nggak kok, nggak gitu." Gino memeriksa obrolannya dengan sang kekasih beberapa menit yang lalu. Kupingnya memerah ketika menemukan beberapa kalimat yang persis diucapkan Gina.

Melihat hal itu, Gina tergelak. Tebakannya sama sekali tidak meleset. Dilihat dari telinga Gino yang berubah warna menjadi kemerahan. Ternyata kakak kembarnya yang satu ini sama saja seperti remaja pada umumnya ketika dimabuk cinta.

Warna merah di telinganya perlahan merambah ke seluruh area wajah. Gino berbalik memunggungi Gina. Berusaha menormalkan kembali perasaan malunya.

"Yaudah kalau gak mau tau. Padahal sayang banget kalau ditolak. Ck."

"Oh kakak serius?"

"Bercanda!" Seru Gino dengan nada naik beberapa oktaf. Sifat jahil Gina benar-benar tidak berbeda jauh dengan sifat jahilnya Gian. Sama-sama menyebalkan.

"Yaudah jangan ngegas. Iya-iya serius, Gina bakal nyimak." Gina mengehentikan tawanya, penasaran dengan apa yang akan Gino katakan tentang percakapan dengan kekasihnya tersebut.

"Jadi, tadi Kakak sama pacar lagi ngomongin kamu." Gino kembali terfokus dengan handphonenya. Ia mengetikkan sesuatu disana sebelum akhirnya berjongkok di depan Gina yang terduduk di kursi meja rias.

Mata Gina melotot. Perasaan itu kembali hadir, nafasnya sesak secara tiba-tiba. Jantungnya berpacu cepat dengan peluh mengalir di pelipisnya.

Gina menggeleng kuat, tidak percaya bahwa sang kakak kembar memberitahukan kepada pacarnya bahwa seorang Gina terlahir di dunia.

Gino yang tadi terfokus ke arah handphone, mengangkat kepala ke arah Gina. Terkejut melihat reaksi Gina yang seperti itu.

"Nggak, nggak. Pacar kakak orang baik." Gino menggenggam kedua tangan Gina erat. Berusaha meyakinkan Gina agar tidak panik.

"Maafin kakak, Kakak kira kamu udah ngerti kalau pacar kakak juga harus tau kalau kamu adik kembar kakak." Tangan Gino Ia ulurkan untuk menghapus air mata yang perlahan mengalir di pipi Gina.

"Beneran orang baik, kan?"

Gino tersenyum, mengangguk meyakinkan Gina. Netra hitamnya menunjukkan kesedihan yang kembali membelenggu. Hanya dirinya, Gian dan sang Mama yang tahu betapa rapuhnya Gina.

Gina akan menunjukkan sisi kasar dan kuatnya kepada orang lain, tetapi sisi manja dan rapuh hanya Gina tunjukkan kepada keluarga kecilnya. Orang-orang hanya tahu Gina memiliki sifat yang pada umumnya dimiliki orang jahat.

Teman-teman Gino juga Gian, tidak ada satupun yang tahu bahwa mereka memiliki adik kembar perempuan. Bahkan tetangga samping rumah mereka tidak tahu Gina lahir di dunia.

Itu semua disebabkan oleh Gina yang enggan menunjukkan dirinya kepada orang lain. Setiap kali kedua kakak kembarnya beserta sang Mama memaksanya untuk bersosialisasi, Gina akan berteriak marah dan menolaknya keras.

Gina selalu berkata,

"Lebih baik dianggap tidak ada sama sekali di dunia, daripada dianggap menjadi seseorang yang tidak berguna oleh orang-orang jahat."

Hanya segelintir orang yang Gina terima di hatinya. Bahkan ketika di sekolah, Gina akan sangat kasar kepada teman-temannya agar mereka tidak mendekati dirinya.

Gina membangun dinding yang teramat kokoh kepada orang lain.

"Kak Gino jangan ikutan nangis. Gina udah selesai kok nangisnya." Gino tersentak dari lamunannya. Menyentuh pipinya yang tanpa sadar sudah terasa basah. Gino tersenyum kemudian menggeleng, memberikan gestur bahwa dirinya tidak apa-apa.

"Kamu tidur aja dulu gih. Nanti dibangunin lagi kalau Mama udah pulang."

Gina mengangguk. Drinya bangkit dari kursi dan segera menuju ke arah kasur. Membaringkan tubuhnya nyaman, berusaha melupakan sesuatu yang cukup mengguncangnya hari ini.

Gino menaikkan selimut sampai sebatas leher Gina. Ia sempat mengelus rambut adiknya sebelum keluar dari kamar gadis malang tersebut. Setiap melihat Gina yang seperti itu, Gino selalu berjanji dengan tekad kuat dihatinya.

Bahwa Ia tidak akan pernah membuat Gina terluka lagi.

avataravatar
Next chapter