60 59. Awal Sebuah Tekad

AC mobil ia matikan, lantas membuka kacanya sebagai pengganti.

Gina membiarkan rambutnya tergerai berantakan diterpa angin kencang setara dengan kecepatam mobil yang ia kendarai. Ia membebaskan rambutnya, bermaksud agar dengan membebaskan jutaan helai itu, dapat juga membebaskan semua masalah miliknya.

Sekarang ia tahu mengapa Gian akhir-akhir ini selalu membawa masalah masuk ke dalam rumah. Berusaha menyembunyikan tapi terlihat, seperti sebuah wadah yang transparant. Tidak mempergunakan fungsi sebagaimana mestinya.

Kakaknya yang pertama tersebut ternyata sedang jatuh cinta, namun entah kenapa aura negatif terus keluar dari tubuh Gian.

Tanpa berfikir lama, Gina bisa berspekulasi bahwa ada masalah soal percintaan pribadi Gian. Entah apa, tapi pastinya cukup menganggu hati remaja tersebut.

Gina menghentikan mobil di tempat parkir sebuah minimarket, sesungguhnya bisa saja ia memerintahkan beberapa pegawai yang ada di rumah miliknya, tapi tentu saja Gina sangat tidak ingin bahkan sedikit membangun relasi antara dia dan pengurus rumah.

"Selamat datang, selamat berbelanja." Sambutan yang biasa disampaikan oleh kasir masuk ke dalam telinganya. Tanpa memberikan respon apapun, Gina disertai wajah datarnya melengos begitu saja, memenuhi tujuan awal dirinya kemari.

Gina terus saja mengatur pernafasannya agar normal, mengendalikan fikiran serta hati yang terus saja dilanda kegundahan yang cukup parah. Ia tidak ingin lagi menerima serangan panik di tempat-tempat umum yang nantinya akan mengundang banyak orang.

Untuk berjaga-jaga, gadis itu memasukan tangan ke dalam kantong hoodie miliknya. Melirik kesana kemari memastikan tidak ada yang melihatnya ingin mengeluarkan sebuah benda. Setelah dirasa aman, Gina mengeluarkan tangannya disertai benda yang ikut tertarik keluar.

Lagi dan lagi, obat penenang. 

Hembusan nafas lega ia keluarkan, entah apa yang akan terjadi jika dirinya tiba-tiba dilanda serangan panik, namun obat tersebut lupa untuk dibawa.

Tidak ingin membuang waktu lebih lama, Gina segera memasukkan beberapa cemilan ke dalam keranjang berwarna merah. Banyak sekali yang dia pilih tanpa menghiraukan seberapa besar uang yang harus dikeluarkan.

"Woah liat kakak itu, beli makanannya banyak banget." Suara seorang anak laki-laki membuat seluruh kegiatan Gina terhenti. Gadis itu melirik tajam menggunakan ujung matanya.

Disana terlihat beberapa anak laki-laki. Masing-masing dari mereka memegang sebuah makanan ringan malam-malam seperti ini.

"Ih iya, banyak banget. Uangnya bakal langsung abis dong kalau kayak gitu." Satu orang lagi anak laki-laki yang terlihat lebih kecil daripada yang lain menghampirinya. Dengan lancang mengacak-acak makanan ringan Gina yang bahkan keranjangnya masih ia pegang.

Merasa risih karena didekati orang baru yang ia tidak kenal, sekaligus melindungi mentalnya agar trauma masa lalu itu tidak kembali terputar, dengan kasar Gina menepis tangan anak laki-laki yang jika ditaksir memiliki umur delapan sampai sembilan tahun itu.

"Uang gua nggak bakal pernah abis, gua orang kaya. Jadi, jangan pernah maen-maen sama orang berduit kayak gua, paham?"

Seketika itu juga semua anak laki-laki yang ada disana menatap Gina terkejut diselimuti rasa takut. Gina dengan tampang datar dan nada bicara yang dingin sukses membuat mereka merinding ketakutan.

Ditambah beberapa perkataan yang sudah bisa jelas dipahami oleh mereka. Dalam sekejap setelah kejadian itu terjadi, semua anak laki-laki tersebut lari terbirit ke arah kasir untuk membayar sekaligus menghindari kakak-kakak menyeramkan, yaitu Gina.

Gina menghembuskan nafas kasar, beberapa kali ia mengucek matanya. Setiap dirinya dihadapkan dengan orang-orang baru sekaligus tempat umum yang jelas sekali banyak orang, trauma masa lalu mendorongnya untuk bersikap demikian.

Termasuk di sekolah, ia akan seperti itu kepada teman-temannya dan hanya akan bersikap seperti seorang Gina jika berada di depan Suzy. Tentunya di tempat sepi dan tidak sedang diperhatikan oleh orang.

"Segini aja yang perlu dibeli, mbak?" tanya kasir perempuan itu ramah.

Gina menatap keranjang belanjaannya kemudian menatap lagi ke arah mbak-mbak kasir. Tatapan tajam yang ia tampilkan memberikan isyarat kepada sang kasir untuk tidak bertanya apapun lagi kemudian memberitahukan berapa harga yang harus ia bayar.

Kasir wanita yang diperlakukan seperti itu terkesiap dan langsung menghitung belanjaan Gina yang dibilang cukup banyak. Takut akan tatapan membunuh Gina yang sedaritadi pelanggannya itu tunjukan .

"Totalnya tiga ratus lima puluh ribu rupiah, ada yang mau ditam--"

"Nggak. Nih, ambil aja semuanya," potong Gina dan segera menyerahkan uang benilai seratus ribu rupiah sebanyak lima lembar.

Tanpa banyak berbasa-basi dan menghiraukan semua orang yang menatapnya intens karena sikapnya, Gina segera kembali ke dalam mobil dan menyerahkan selembar uang seratus ribu untuk parkir.

Gina mengambil rute yang berbeda dari awal ia datang ke minimarket, menghindari kemacetan yang biasanya terjadi di ibukota pada malam hari sekalipun. 

Namun, perkiraan Gina ternyata salah. Di google maps yang ia lihat ternyata baik rute awal maupun rute yang saat ini ia lalui sama-sama macet. Gina sedikit memukul setir, merasa kesal karena jauh lebih dekat rute sebelumnya daripada yang saat ini ia lalui.

Gadis cantik tersebut perlahan membuka kaca pintu mobil, menikmati angin sepoi-sepoi di malam hari. 

Namun, tiba-tiba suara teriakan seorang laki-laki menyentak Gina dari ketenangan yang baru saja singgah selama beberapa detik. 

"Udah dibilang jangan, jangan sesekali masuk ke tempat kotor kayak gitu!!!" 

"Kata aku nggak papa yang nggak papa!!, yang penting aku seneng kamu kenapa sih? Lagipula aku nggak bakal sekalipun ngelakuin hal aneh-aneh sama cowok hidung belang!!!" 

Gina menatap malas kedua manusia berbeda jenis kelamin yang dia tebak sebagai sepasang  kekasih itu, dirinya memilih memasukkan kembali kepalanya dan berniat menutup jendela mobil.

"Aku nyegah kamu dari awal, abisnya aku tau kalau apa yang kamu lakuin sekarang ini, bakal berdampak buruk kedepannya."

Seketika itu juga, Gina terdiam. 

Ucapan dari laki-laki yang terdengar jelas olehnya itu, berhasil menusuk tepat ke arah hati Gina.

Mencegah dari awal, ya? Gina menatap kosong ke depan, perkataan tersebut berhasil mengingatkannnya dengan Suzy dan sang kekasih. Padahal, dari awal Gina sudah tahu bahwa seseorang yang disukai oleh Suzy berpotensi besar membuat sahabatnya itu tersakiti.

"Kalau kemungkinan terburuk dari kebiasaan kamu ke club malam kayak gitu beneran kejadian, bukan cuma kamu yang ngerasain akibatnya. Aku juga bakal ngerasain rasa bersalah seumur hidup gara-gara nggak bertindak dari awal."

Tepat sasaran. 

Itulah yang tengah dirasakan Gina saat ini. 

Rasa bersalah karena tidak bertindak tegas dan berusaha lebih lagi agar Suzy memutuskan hubungannya dengan Buana, membuat Gina merasa sakit kala mengingat keadaan Suzy yang cukup mengenaskan beberapa waktu lalu.

Dan Gina sendiri malah membiarkan perasaan Suzy terlanjur dalam kepada seorang lelaki berengsek, juga menyalahkan gadis tersebut atas segala perilakunya menyikapi semua yang terjadi. 

Seharusnya Gina juga bertindak lebih awal. Dia menyesali keterlambatannya.

Tiba-tiba saja setir mobil yang gadis itu pegang, sang empu cengkram erat. Rahangnya terkatup rapat menahan rasa marah. Kedua netra hitamnya berkaca-kaca, terlihat seperti orang yang amat menderita.

Tetapi, tidak sampai beberapa detik ekspresi yang tadi terpatri hilang begitu saja. Digantikan dengan seringaian kejam serta alis yang menukik tajam. Tanpa melonggarkan cengkraman tangan pada setir mobil, Gina berkata,

"Pelacur sialan itu ...

... harus enyah."

avataravatar
Next chapter